"Sepertinya Kylie menuju boutique Ivan, coba cari disana!" David sedikit meninggikan suaranya.
Asep menganggukkan kepalanya lalu berlari untuk mengejar anak majikannya. David langsung mengambil ponselnya yang ternyata ada panggilan masuk.
"Halo!" Suara David terdengar gelisah.
"Apa Kylie ada di rumah?" tanya si penelepon.
David langsung mengerutkan keningnya lalu melihat ponselnya untuk mengetahui siapa yang menelepon, dan setelah mengetahui siapa yang menelepon. David kembali menempelkan ponsel di telinganya.
"Untuk apa kau menanyakan anakku, Dewi!" Suara David kini menjadi ketus. "Bukannya kau sudah bahagia dengan laki-laki tua itu!" David benar-benar kesal dengan Dewi.
Dewi Maesaroh adalah istri David sekaligus ibu kandungnya Kylie. David masih tidak habis pikir dengan Dewi yang benar-benar meninggalkan dirinya hanya demi laki-laki tua.
"Sekarang bukan saatnya kita membahas itu!" Dewi malah protes dengan apa yang di katakan oleh David.
"Lalu, apa yang ingin kau bahas!" David berucap semakin kesal.
Namun saat ini David benar-benar tidak bisa mengobrol dengan Dewi di telepon. Karena David harus mengetahui Kylie ada dimana dan dengan siapa dia.
"Aku ingin ..." Dewi belum sempat membahas apa yang ingin ia katakan namun David sudah menyela perkataannya.
"Saat ini aku sangat sibuk, lain kali saja kalau mau membahas laki-laki tua." David hendak ingin mematikan teleponnya, namun ia kembali berbicara lagi. "Aku sudah siapkan data perceraian kita lalu aku sudah memberikan sedikit saham aku padamu karena aku akan membawa Kylie bersamaku!" tegas David.
"TIDAK BISA! AKU INGIN MEMBAWA KYLIE BERSAMAKU!" Dewi berteriak membuat David sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya.
"You crazy! Kau salah tapi tidak sadar diri, apa hidup kamu sudah benar-benar baik untuk mengurus Kylie!" David berbicara tanpa berpikir panjang.
Seketika hening dan tidak ada percakapan apapun lagi. David langsung melangkah pergi dari ruang makan dengan langkah yang tergesa-gesa.
"Aku tau aku salah, tapi aku tidak bisa memberikan Kylie padamu!"
Mendengar itu membuat David menghentikan langkahnya dan berkata. "Kenapa tidak bisa? Aku ayah kandungnya Kylie dan kamu ..."
"Kylie bukan anak kamu, David!" Entah apa yang merasuki Dewi, bisa-bisanya dia mengatakan itu pada David.
David mengepalkan tangannya dan berkata. "Oh benar, Kylie bukan anakku karena kau hanya seorang jalang murahan!" Suara David terdengar sangat menghina Dewi, lalu David mematikan teleponnya.
David melemparkan ponselnya kelantai dengan sangat keras membuat ponsel itu ancur berantakan. David langsung mengepalkan tangannya dan memukul tembok yang ada di belakangnya.
"Dasar wanita sialan!" David akhirnya mengumpat.
David langsung melangkah pergi begitu saja setelah memukul tembok, namun ada seseorang yang mengikuti langkahnya.
"Tuan David!" Suara seseorang yang sudah tidak asing lagi di telinganya David.
David menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Saat David melihat seseorang itu, lalu seseorang itu membungkukkan badannya dengan sangat sopan pada David.
"Ada apa, bi Ani?" David menatap seseorang itu.
Seseorang itu adalah bi Ani, lalu bi Ani menatap tangan kanannya David. "Maaf tuan, itu tangannya luka!" Suara bi Ani terdengar sangat mengkhawatirkan lengannya David.
David langsung melirik kearah tangan kanannya yang di maksudkan oleh bi Ani. Saat David melihat tangan kanannya sendiri, ia melihat tangan kanannya sudah mengeluarkan banyak darah segar. David hanya menghela nafas panjang setelah melihat darahnya sendiri yang benar-benar berceceran dimana-mana.
"Bawakan obat ke ruang kerja saya!" titah David pada bi Ani.
"Baik tuan!" Bi Ani bergegas pergi untuk mengambil obat untuk tangannya David yang luka.
David langsung melangkah pergi menuju ruang kerjanya, ia seperti tidak merasakan apapun saat tangannya penuh luka seperti itu.
***
Sampai di boutique kak Ivan. Aku keluar dari taksi namun aku sangat lupa kalau tidak membawa uang cash.
"Aduh pak maaf, pakai ini bisa tidak?" tanya aku sambil mengeluarkan black card dan mengulurkannya pada supir taksi itu.
"Maaf nona, tidak bisa," jawab supir itu.
"Aduh!"
Aku langsung tepok jidat dan sangat bingung harus bagaimana, mana tadi di rumah aku langsung pergi begitu saja.
"Mungkin Lauren bawa uang cash sedikit," gumam aku yang langsung mengambil ponsel dan menghubungi Lauren.
Namun saat aku ingin menghubungi Lauren, tiba-tiba saja sudah ada seseorang berdiri di sampingku.
"Lie, kenapa diam disini?" tanya seseorang itu.
Aku langsung menatapnya. "Oh, Robi!" aku langsung mematikan teleponku yang sepertinya sudah terhubung pada Lauren. "Ini, aku tidak bawa uang cash," jawab aku dengan menundukkan kepalaku.
"Oh, berapa totalnya?" Seseorang yang di panggil Robi itu langsung mengeluarkan dompetnya.
"Jadi lima puluh ribu," ucap aku dengan suara pelan.
"Ini pak!" Robi langsung memberikan uang pada supir itu.
Saat supir itu ingin mengambilnya, ia mengatakan. "Tuan maaf, apa ada uang pas saja? Saya baru sekali keluar!" Supir itu terlihat bingung karena sepertinya ia benar-benar tidak ada uang kembalian.
"Ya sudah pak, semuanya saja untuk bapak!" Robi kembali menyodorkan uang pecahan seratus ribuan itu pada sang supir.
"Aduh tuan, jangan begitu!" Supir taksi itu sudah pasti tidak akan mau menerimanya.
"Pak sudah, ambil saja ya!" Robi tersenyum pada supir taksi itu.
"Tuan, ikhlas kan?" Supir taksi itu terdengar seperti gelisah menerima uang dari Robi.
"Insyaallah ikhlas!" Robi tersenyum setelah mengatakan itu.
"Baik tuan, saya ambil!" Akhirnya supir taksi itu mengambil uang yang Robi berikan.
Selesai memberikan uang itu, akhirnya supir taksi pergi lalu aku menatap kearah Robi.
"Ketemu Lauren bakal aku ganti ya!" ucap aku sambil menatap Robi dengan wajah tidak enak.
"Santai saja!" Robi tersenyum padaku.
Robi adalah teman kuliahku namun kami tidak terlalu dekat seperti aku dengan James atau Lauren. Karena Robi sudah memiliki kekasih yang sangat overprotektif membuat Robi menjaga jarak denganku. Namun Robi sangat baik padaku dan selalu membantu aku disaat aku membutuhkannya.
"Tumben pagi-pagi kesini?" tanya Robi.
Aku dan Robi mulai jalan kedalam boutique kak Ivan. Kami berjalan sambil mengobrol.
"Ini, Lauren minta tolong padaku," jawabku.
"Oh begitu." Robi sepertinya bingung harus membahas apa lagi.
Aku dan Robi seperti sepasang kekasih yang sedang canggung setiap kali kami bertemu.
"Kamu sendiri ngapain kesini?" aku berbalik tanya pada Robi.
"Biasa, aku mengecek gaun untuk pacarku," ucap Robi dengan wajah datar.
Entah kenapa wajah Robi selalu seperti itu ketika membahas kekasihnya. Aku sangat merasakan kalau Robi dan kekasihnya seperti ada masalah.
"Gaun prewedding ya!" aku mencoba menghibur Robi dengan meledeknya.
"Haha bukan, gaun untuk pesta ulang tahunnya," ucap Robi dengan pelan.
Mendengar pesta ulang tahun membuat diriku mengingat sesuatu. Aku langsung menghentikan percakapan kami.
"Kylie!" Robi memanggilku saat diriku terdiam beberapa detik yang lalu.