"Kylie!" Robi memanggilku saat diriku terdiam beberapa detik yang lalu.
"Oh ya, kenapa?"
Aku dan Robi akhirnya sudah ada didalam boutique kak Ivan. Kami langsung di persilahkan masuk kedalam oleh beberapa pelayan. Kami juga memutuskan untuk duduk di sofa tunggu.
"Apa kamu baik-baik saja?" Suara Robi terdengar seperti tidak enak mengatakan itu.
Robi mengatakan itu karena aku tau kalau dirinya mengkhawatirkan diriku setelah pesta ulang tahunku saat itu. Robi juga datang ke acara pestaku, aku benar-benar bingung harus mengatakan apa padanya. Disisi lain, aku sangat malas membahas itu dengannya. Namun kalau aku tidak membahas dengannya nanti aku di sangka sombong atau apa.
"Aku baik-baik saja kok!" Senyuman tipis yang akhirnya aku tunjukkan pada Robi.
"Lie, jangan bersedih ya karena kamu masih memiliki aku dan sahabat-sahabat kamu yang lainnya!" Suara Robi sedang menyemangati diriku.
Mendengar kata-kata Robi membuat aku tersenyum lebar, aku seperti merasakan sesuatu pada dirinya Robi. Robi juga selalu menatapku dengan tatapan hangat. Kadang aku berpikir kenapa aku tidak bersama dengan Robi saja? Namun, mengingat semua itu membuat aku kembali mengingat masa-masa dengan Feri.
"Feri sialan," gumam aku yang langsung mengepalkan tanganku.
"Lie, kamu kenapa?" Robi menatapku.
"Haha tidak apa-apa!"
"Apa hari kamu libur? Atau ada waktu luang?" Entah kenapa Robi langsung menanyakan itu padaku.
"Sepertinya banyak waktu luang mulai sekarang namun jam makan siang ini aku mau ke kantor daddy," jelasku.
"Oh begitu!" Robi hanya menganggukkan kepalanya.
"Emangnya ada apa?" tanya aku sambil menatap Robi.
"Tidak apa-apa kok, tadinya aku ingin ..." Belum sempat Robi mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan seseorang.
"KYLIE!" Suara yang sudah sangat aku kenal.
Aku langsung bangun dari dudukku dan menatap Robi. "Robi, aku kesana dulu ya!"
"Oke siap!"
"Uangnya nanti aku ganti ya!"
"Tidak perlu di ganti tidak apa-apa kok!"
"Ah tidak mau, aku kan meminjam padamu!"
"KYLIE!" teriak seseorang itu kembali membuatku sedikit risih.
"Sudah sana temui Lauren saja!" Robi hanya tersenyum saat mendengar namaku terus-menerus di panggil.
"Oke!"
Sekilas aku menyentuh tangan Robi lalu aku melangkah pergi menuju lantai dua. Aku meninggalkan Robi sendirian di sofa tunggu itu.
"Semoga Kylie bisa kuat menghadapi semua ini," batin Robi setelah melihat kepergian Kylie dari hadapannya.
Sampai di lantai dua dan sampai didepan seorang wanita yang sedang cengengesan. Aku langsung menyodorkan black card padanya.
"Ini nona Lauren!" Suaraku terdengar seperti menggodanya.
"Hahaha thanks my best friend!" Lauren langsung mengambil black card itu dan memberikannya kembali pada kasir yang sudah pasti telah menunggu lama.
Beberapa detik kemudian.
Lauren selesai membayar semua tagihannya yang tadi di totalkan menjadi seratus juta.
"Jadi, kau beli apa saja seratus juta?" tanyaku setelah Lauren mengembalikan black card padaku.
"Gaun pengantin," jawab Lauren.
"Wah, kau mau nikah? Sama siapa!"
"Bukan aku tapi sepupuku!"
"Haha aku pikir kamu," ucapku yang langsung duduk di sofa. "Tadinya kalau kamu yang nikah akan aku biarkan saja tagihan ini dan tidak usah di bayar olehmu," sambung aku.
"Ya sudah kalau gitu aku saja yang nikah!" Lauren langsung duduk di sampingku.
"Tidak bisa begitu!"
"Hehehe!" Lauren langsung menyandarkan kepalanya pada pundakku. "Lie, hari ini ke klub yuk!" Lauren melirikku.
"Klub mana?"
"Klub yang baru launching itu loh!" Lauren mengangkat kepalanya dan mulai menceritakan klub yang di maksudnya.
"Klub yang di Jakarta Barat?"
"Bukan!" Lauren geleng-geleng kepalanya.
"Lalu dimana?" Karena aku kurang gaul dan paham masalah klub jadi aku benar-benar tidak tau.
Walaupun aku pernah ke klub namun aku tidak seperti Lauren yang sudah hafal seluruh klub di kota Jakarta ini.
"Klub yang di Bogor yang di daerah Tajur!"
"Jauh banget ke Bogor!" aku sedikit mengerutkan keningku setelah mengetahui klub itu berada dimana.
"Malam ini baru launching dan bakal ada gratis minum selama dua jam, lalu ada artis juga loh!" Suara Lauren terdengar seperti menghasut diriku.
Lauren bukan menginginkan minuman gratis, namun ia selalu ingin melihat para artis yang datang ke klub. Walaupun sebenarnya Lauren sangat mampu mengundang para artis untuk tampil di acaranya. Tapi Lauren lebih suka yang gratis saja.
"Artisnya cewek apa cowok?" tanyaku yang mencoba meyakinkan.
"Cowok dong," jawab Lauren dengan sangat semangat.
"Baiklah, mau kesana jam berapa? Terus sama siapa saja?"
"Jam tujuh saja, ya seperti biasa sama James!"
"Oke, tapi jemput aku ya!"
"Siap nona Kylie!"
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku setelah Lauren berhasil menghasut diriku untuk pergi ke klub. Namun, sebenarnya aku juga sudah lama tidak ke klub. Apa lagi saat ini pikiran aku sangat kacau, aku butuh klub untuk menghibur diriku sendiri.
***
Pukul 12 siang di sebuah rumah kecil dan sangat sederhana. Ada tiga orang laki-laki yang baru saja selesai makan siang.
"Mas, kalau masih sakit sebaiknya istirahat saja," ucap Heru sambil menatap Agus.
"Tidak, aku sudah sembuh!" Agus mencoba bangun dari duduknya namun ia kembali duduk di kursi.
Juna langsung menahan tangannya Agus dan berkata. "Mas, sudah istirahat saja di rumah. Aku dan mas Heru bisa menggantikan pekerjaan mas!" Suara Juna terdengar sangat mengkhawatirkan Agus.
Agus, Heru dan Juna adalah kakak-adik. Mereka anak laki-laki yang sangat kuat dan pekerja keras, mereka juga sudah terlahir dari rakyat susah namun terus berusaha bekerja.
"Kalian jangan bekerja, biarkan aku saja yang bekerja!" Agus sangat tidak ingin kedua adiknya bekerja untuk menggantikan dirinya.
"Mas, tapi lihat kondisi mas sekarang bagaimana!" Heru menatap seluruh tubuh Agus yang lemah dan tidak berdaya.
Sudah satu minggu Agus tidak bekerja di restoran karena demam, ia juga tidak pergi ke dokter karena tidak ada uang untuk berobat. Sebenarnya bukan tidak ada uang, lebih tepatnya tidak ada uang lebih untuk berobat. Karena Agus sudah memperhitungkan seluruh pengeluaran tiap bulannya, ia harus benar-benar mengirit setiap harinya untuk bisa membiayai kedua adiknya. Walaupun kedua adiknya sudah tidak bersekolah, namun Agus tidak ingin adiknya bekerja keras seperti dirinya.
"Mas, tadi ponsel mas berdering ada panggilan tidak terjawab dari mas Soni," celetuk Juna sambil menatap kakak tertuanya, Agus.
"Kalau Soni telepon lagi sebaiknya langsung jawab saja, karena aku tidak ada pulsa untuk menghubunginya," ucap Agus.
"Baik mas!" Juna menganggukkan kepalanya.
"Kenapa mas Soni menelepon?" Heru menatap Agus dan Juna secara bergantian.
"Waktu itu Soni bilang kalau ada lowongan pekerjaan di perusahaan apa ya, aku agak lupa!" Agus mencoba mengingat-ingat perusahaan itu.
"Ajak aku ya mas, kalau mau melamar kesana!" seru Heru.
"Tidak perlu, biarkan mas saja yang ..."