Hotel

"Aku benci dengan semua ini," ucapku yang tiba-tiba saja menangis.

"Lie, kamu kenapa!" Robi merangkul pundakku.

Tiba-tiba saja aku menyandarkan kepalaku di dada bidangnya Robi. Aku juga langsung memeluknya dengan erat. Aku tidak menghiraukan orang-orang melihat tingkahku, tapi saat ini aku hanya membutuhkan seseorang yang mampu memelukku dalam kesedihan aku saat ini. Tidak lama kemudian, Robi membalas pelukanku dengan membelai rambutku.

"Menangis lah kalau kamu mau menangis, aku akan pura-pura tidak mendengar dan melihat," bisik Robi di telingaku.

Suaranya Robi sangat lembut dan mulutnya sangat wangi mint, tubuhnya Robi juga sangat wangi. Pantas saja kekasihnya sangat protektif padanya, Robi adalah laki-laki yang sangat sempurna.

"Robi, apa kamu bisa menemaniku malam ini?" tanyaku sambil berbisik di telinganya.

"Menemani? Kemana?" Robi berbalik tanya padaku, kami berinteraksi saling berbisik karena didalam klub ini sudah sangat berisik.

"Aku ingin memesan hotel denganmu," jawabku.

"Lie, sadarlah!" Robi pasti terkejut saat diriku mengajaknya ke hotel.

Aku menggenggam tangannya dengan mesra. "Aku tidak akan melakukan apapun, aku hanya ingin rebahan dikamar dan ditemani oleh laki-laki!"

Robi terdiam dan wajahnya terlihat bingung, aku sangat yakin kalau Robi tidak akan mengiyakan apa yang aku katakan.

Namun, beberapa saat kemudian. "Oke, aku akan menemani kamu!"

Sontak kedua mataku membulat dan sangat melotot. Aku tidak menyangka kalau Robi akan mengiyakan apa yang aku inginkan, padahal aku saat ini aku sedang bercanda padanya.

***

Pukul 11 malam.

David baru saja sampai di sebuah Apartemen mewah di pusat kota Jakarta. Sudah pasti ia menemui seorang wanita yang bernama Vanya.

"Akhirnya suamiku datang juga!" Seorang wanita dengan nada suara yang sangat manja dan sedikit sensual.

Wanita itu langsung menutup pintu Apartemen dengan sedikit agresif. Wanita itu juga langsung mendekap tubuhnya David hingga ke tembok.

"Vanya, berhentilah!" David mencoba menjauhkan wanita itu agar pergi dari hadapannya.

"Apa milikmu stidak rindu dengan milikku?" Vanya menyentuh miliknya David tanpa rasa malu.

Bodohnya. Miliknya David malah sudah mengeras entah sejak kapan. Vanya hanya menahan tawa melihat ekspresi David yang wajahnya agak memerah.

"Aku kesini hanya untuk melihat keadaan kamu!" David langsung mengalihkan pandangan dan berjalan menuju ruang tengah.

Vanya hanya tertawa kecil lalu mengikuti langkahnya David dari belakang. Sampai di ruang tengah, mereka duduk di sebuah sofa yang sangat empuk dan pastinya mahal.

"Kau ini berat!" David protes saat Vanya tiba-tiba duduk di pangkuannya.

"Tubuhku dengan Dewi sama, bahkan lebih kecil aku dari pada dia!" Vanya mengomentari bentuk tubuh istrinya David yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya.

David hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan, ia malas kalau Vanya sudah membandingkannya dengan Dewi.

Perlahan-lahan Vanya membuka kancing bajunya David satu persatu. "Sepertinya malam ini aku tidak izinkan kamu pulang!" Vanya sangat tidak mau diam duduk di pangkuannya David, bahkan ia seperti menggoyang-goyangkan tubuhnya dan seperti sengaja menggesek miliknya pada miliknya David.

David menahan tangannya Vanya. "Aku tidak bisa inap, karena anakku masih ada di luar."

"Kylie ada diluar? Tumben? Kemana dia?" Vanya sepertinya sangat suka kalau David membahas anak semata wayangnya itu.

"Biasa, main sama James dan Lauren," ucap David.

"Tumben banget, jadi kapan aku akan di pertemukan dengan Kylie?" Pertanyaannya Vanya membuat David sedikit berpikir keras.

David masih terdiam dan tatapannya kosong, karena Vanya malas di cuekin. Vanya melepaskan bajunya David.

"Hei, Vanya!" David sedikit meninggikan suaranya saat mengetahui bajunya sudah di lepaskan oleh Vanya.

"Habis kamu diam saja!" Vanya cemberut.

"Dasar kau gatal sekali sih!"

"Tidak baik mengatakan aku gatal! Aku gatal sama kamu saja bukan sama yang lain!" Vanya menegaskan.

"Terserah!" David tidak mau memperpanjang percakapan ini.

Wajah David terlihat sedikit runyam, ia sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Apa pekerjaan kamu ada masalah?" tanya Vanya sambil menatap David.

"Tidak ada," jawab David dengan gelengan kepalanya.

"Ayo kita buat adik untuk Kylie!" Vanya mengatakan itu seolah tidak ada rasa malu.

"You crazy!" David memindahkan Vanya duduk di sampingnya. "Aku kesini ingin menegaskan padamu kalau Kylie..."

"David, Kylie itu anakku bukan anakmu dengan Dewi. Apa kamu tidak..."

"STOP! Aku tidak mau ada orang yang mendengar, apa lagi Kylie yang mendengar!" Kedua mata David memerah seperti menahan sesuatu.

Vanya hanya menghela nafas dengan perlakuan David padanya. Vanya seperti tidak bisa berkutik lagi.

"Vanya, kau harus terima. Kylie itu benar-benar anakku dengan Dewi bukan anak kita!" David seperti ingin menjelaskan sesuatu.

Namun, Vanya hanya tersenyum miring dan berkata. "Haruskah kita melakukan tes DNA?" Pertanyaan Vanya semakin membuat David terdiam dan berpikir keras.

David sangat yakin kalau Kylie adalah anaknya dengan Dewi. David sangat tau karakter Vanya seperti apa.

"David, maafkan aku yang dulu pernah meninggalkan anak kita!" Vanya menggenggam erat tangannya David.

Vanya adalah wanita masa lalunya David, dulu mereka saling mencintai dan sempat memikirkan pernikahan. Namun, sayangnya. Mereka berdua tidak bisa bersama karena Vanya memiliki tujuan yang berbeda dengan David. Namun, entah kenapa sekarang ini Vanya malah semakin mengejar David.

***

Pukul 8 pagi.

Di sebuah hotel mewah yang sangat wangi dengan aroma-aroma terapi. Sinar Matari juga sudah menyinari kamar itu.

"Silau sekali," gumam aku dengan khas bangun tidur.

Perlahan-lahan aku mengusak mataku dan mencoba membuka mataku. Lalu, aku melihat sosok laki-laki yang sudah duduk di sampingku.

"ASTAGA!" Sangat terkejut saat seseorang itu memberikan senyuman manis padaku. "Ro ... Robi, kenapa kamu disini?" tanyaku dengan sangat gugup.

Robi masih tersenyum dan pakaiannya masih memakai pakaian piyama. Perlahan-lahan aku mengalihkan pandanganku kearah sekitar. Aku juga langsung menatap tubuhku yang terbalut dengan selimut tebal berwarna putih.

"Semalam kamu yang minta kesini," jawab Robi dengan santai, lalu ia membelai rambutku dan menyentuh daguku.

"Meminta?" Sekilas aku melirik kearah pakaianku yang berserakan dilantai, aku melongo tidak percaya kalau pakaian aku ada disana.

Aku langsung menyentuh diriku didalam selimut tebal, ternyata aku tidak memakai sehelai benang apapun di tubuhku ini.

Aku menelan ludah dengan susah payah, lalu aku berkata. "Ro ... Robi, semalam kita ngapain ya?" tanyaku dengan wajah pucat.

"Ngapain ya?" Robi seperti berpikir. "Apa kamu lupa semalam kita ngapain?" Robi menyentuh lehernya sendiri.

Aku langsung melihat lehernya Roni yang memiliki beberapa tanda merah disana. Aku mengerutkan keningku dan mengatur nafas.

"Hahaha, aku ingat!" Mencoba mengingat tapi. "Haha, sepertinya aku lupa," ucapku dengan menggaruk kepalaku.

"Tidak apa kalau lupa, kita bisa mengulangnya suatu saat nanti!" Robi menatapku dengan tatapan aneh.