Wancana ke Jakarta

Wancana ke Jakarta

"Sini, Ning. Dari tadi aku tungguin loh." Nilam melambai melihat Bening yang sudah masuk ke dalam pagar bambu yang mengelilingi kediamannya.

"Maaf, Lam. Tadi aku ke sawah dulu, antarkan makan buat bapak."

"Ya udah, gak papa. Kita ngobrol di kamarku aja." Nilam menarik tangan Bening, membawanya menuju kamar sahabatnya itu. keduanya kini duduk di atas karpet, bersila.

"Jadi kamu udah beneran yakin mau ikut aku ke Jakarta, Ning?" tanya Nilam dengan tampang serius. Bening menganggukkan kepalanya. Ia sudah tekad akan pergi ke Jakarta. Tabungannya yang tak seberapa akan dijadikan bekal sebagai ongkos juga mungkin mencari kos murah di Jakarta kelak.

"Aku udah yakin, Lam."

"Kamu udah ngomong sama paman dan bibi?" tanya Nilam menyebut kedua orang tua Bening.

Bening tak langsung menjawab tapi kemudian dia menggelengkan pelan. Ia mungkin kesulitan mendapatkan izin itu dari kedua orang tua nya. Namun, Bening akan mencoba bicara baik-baik dan memberi pengertian kepada mereka.

"Loh, kok belum? Kamu kalau mau merantau, harus dapat izin dari orang tua. Aku tidak berani bawa kamu kalo gak ada izi dari paman sama bibi"

"Aku coba ngomong sama mereka malam ini, Lam. Sebenarnya sudah dari kemarin mau bilang, cuman karena Dewi masih dalam masa pemulihan, aku gak mau bikin bapak sama ibu jadi kepikiran. Malam ini waktu yang pas, Dewi udah lebih baik."

"Aku mengerti. Semoga bibi dan paman kasih izin ya, Ning." Nilam menggenggam jemari Bening.

Bening mengangguk pelan. Ia sendiri masih belum yakin. Namun, ia pasti bisa memberi pengertian kepada kedua orangtuanya malam nanti. Bening benar-benar sudah bertekad akan merantau ke kota orang. Meski banyak pula temennya yang lain mengajak untuk ke luar negeri dan jadi TKW, tapi Bening menolak. Lebih baik ke Jakarta saja, tidak keluar dari negeri sendiri. Mau pulang kampung pun tidak terlalu repot kelak.

Akhirnya, Bening pamit kepada Nilam untuk pulang setelah mengobrol banyak hal termasuk pembicaraan mengenai

Dani yang ternyata saat ini sedang kuliah di Jakarta tetapi sekarang sedang libur semester dan memilih pulang kampung. Dari pembicaraannya dengan Nilam, Bening sedikit banyak jadi tahu, kalau Dani adalah idola di desa mereka. Apalagi setelah banyak orang tahu, bahwa pemuda itu seorang mahasiswa di universitas ternama di Jakarta, universitas yang sempat menjadi tujuan Bening selepas lulus sekolah.

Sepanjang perjalanan pulang, Bening menendang pelan kerikil-kerikil yang bertebaran. Tak sengaja pula, salah satu kerikil yang ia tendang itu mengenai seseorang. Seseorang itu tampak mengaduh.

"Maaf, Bang, aku tak sengaja." Bening lekas menghampiri pemuda yang baru Saja mampir dalam pikirannya.

Dani menatap Bening dengan senyuman. Ia sedikit menunduk karena Bening lebih pendek dari nya. Harum shampo murah menguar dari rambut Bening yang lebat, menggelitik sisi dewasa Dani yang usianya kini sudah menuju menuju dua pulu tahun.

"Eh, kamu lagi." Dani menyapa Bening yang masih tertunduk malu dan tak enak.

"Maaf, Bang,"ulang Bening. Dani tertawa lalu mengusap rambut Bening gemas, membuat gadis itu gelagapan dan menghindar.

"Kalo yang kamu lempar itu batu gunung, baru aku marah," ujar Dani yang tak ayal membuat Bening tersenyum pula. Dani terpesona, menatap kecantikan alami dari sosok gadis desa itu.

tetap saja, aku tidak enak." Bening berjalan perlahan dengan Dani yang mengiringi di sampingnya.

"Ya udah. kamu pengen aku maafin gak?" tanya Dani membuat penawaran. Satu alisnya terangkat, membuat Bening terpesona sesaat.

"Gimana caranya?" tanya bening polos

"Ada air terjun di sebelah desa kita. Aku pengen kesana sana besok, kamu bisa temenin aku kan?"

Bening tampak menggigit bibirnya perlahan, nampak berpikir. Ia tidak pernah berduaan dengan lelaki.

"Aku bukan orang jahat kok," ujar Dani seolah tahu apa yang sedang Bening pikirkan.

Mendengar itu Bening jadi tak enak. Akhirnya dia mengangguk.

"Kita ketemu di jalan ini ya. aku tunggu jam sepuluh pagi."

Bening mengangguk lagi kemudian keduanya berpisah karena Dani akan bertemu dengan teman-temannya. Ia melambai kepada Bening yang hanya tersenyum tersipu. Bening tersenyum lagi, hatinya berbunga-bunga, mungkinkah dia jatuh cinta?