Malam tiba dan tepat di jam delapan setelah selesai makan malam, Bening menyusul bapak dan ibu yang tengah duduk bersantai di teras kontrakan mereka. Dewi saat ini, sudah terlelap tidurnya. Ini waktunya yang pas bagi bening untuk mengutarakan maksud dan niatnya.
"Bening belum tidur?" Ibu sambil menepuk sisi sebelah bangkunya sementara bapak berada di seberang mereka, sedang menikmati kopi.
"Belum ngantuk, Bu."
"Nampaknya, ada yang membuatmu gelisah, Nak. Ada apa, coba ceritakan kepada bapak atau ibu." Timpal bapak seolah paham dengan kegelisahan yang memang Bening rasakan.
"Ehmmmm..." Bening masih belum berani mengungkapkan niatnya. Ia justru memandang kedua orang tuanya bergantian, membuat mereka menjadi bingung.
"Ada apa, Ning?" Tanya ibu lembut.
"Ada yang ingin Bening sampaikan, pak, buk."
"Katakan, Nak." Sambut bapaknya
"Bening mau merantau ke Jakarta, Pak, Buk."
Seperti dugaannya, kedua orangtuanya pasti terkejut dengan keinginannya itu.
Bapak sampai meletakkan kembali cangkir
berisi kopi tanpa sempat menyeduhnya lagi.
"Buat apa, Ning. Kamu kan tahu sendiri,
Bapak sudah tidak punya uang untuk
menguliahkanmu."
"Betul, Ning. Lagipula, lbu khawatir kalau
kamu sendirian di Jakarta," sambung ibu
gusar.
Bening menatap kedua orangtuanya
dengan mata sudah berembun. la sangat
berharap mendapat izin untuk pergi.
"Bening ingin merantau bukan untuk kuliah
lagi, Pak, Bu. Bening ingin kerja, cari
pekerjaan yang layak dan bisa
mengumpulkan uang untuk membeli lagi
sawah dan rumah kita.
"Bening berharap, Ibu
dan Bapak memberikan izin Bening untuk
pergi." Tatapan Bening memelas dan penuh
harap.
"Bapak tidak bisa, Ning. Bagaimana kamu
bisa hidup di Jakarta sana sendirian. Bapak
mesti kepikiran."
"Bapakmu benar, Nak. Kami pasti akan
khawatir setiap hari. Kami tidak ingin terjadi
sesuatu padamu kalau kamu jauh dari
kami." Ibu menimpali.
Bening menggenggam jemari ibu. "Bu, di
sini, apa yang bisa Bening lakukan? Hampir
semua anak gadis di desa ini tidak bekerja.
Kalaupun bekerja, mereka memilih keluar
negeri menjadi TKW. Bening ingin
mengubah hidup kita, Bu. Dewi juga pasti
butuh biaya untuk bisa terus periksa ke
dokter. Kalau Bening tidak bekerja,
bagaimana bisa Bening membantu Ibu dan
Bapak? Izinkan ya, Pak, Bu. Bening pergi
tidak sendirian, ada Nilam juga."
lbu nampak tertunduk sedih, tak tega
Bening melihatnya, tetapi ia tetap harus
mengutarakan keinginannya. Ibu kemudian
mengangkat wajahnya, ia menatap bapak
yang juga nampak sedang berpikir.
"Bagaimana, Pak? Walau bagaimanapun,
apa yang Bening katakan ada benarnya
juga"
Bapak masih diam, tatapannya
menerawang. Gurat lelah di wajahnya terlihat semakin jelas kala ia sedangjelas sedang berpikir. Lelaki itu kemudian mengalihkan pandangannya kepada Bening.
"Kapan rencananya kalian akan
berangkat?"
Melihat secercah harapan, Bening
tersenyum.
"Senin depan, Pak. Nilam sudah mendapat
izin dari orangtuanya. Tinggal Bening saja.
Bening janji, jika nanti ada jatah cuti, pasti
akan pulang kampung"
"Kamu sudah yakin?" tanya bapak, nada
suaranya terdengar berat, tapi dia sendiri
seperti tak ada pilihan untuk menahan
Bening agar tetap di desa itu.
"Yakin, Pak" Bening menjawab mantap.
Bapak menarik nafas panjang, ia menatap
Bening dan ibu bergantian. Sebenarnya ia
ragu memberi izin, tetapi melihat tekad
Bening yang sudah begitu bulat, akhirnya
ia mengangguk. Bening tersenyum lalu
memeluk ibunya. Ia juga beranjak lalumemeluk ibunya. la juga beranjak lalu
memeluk hangat bapak yang sudah
memberinya izin untuk merantau.
Besok, ia akan pergi ke rumah Nilam,
mengabarkan hal baik ini juga sekalian
menepati janji kepada Dani untuk
menemani pemuda yang baru dikenalnya
itu untuk pergi ke air terjun.