ORANG ASING

Langkahku semakin cepat berlari menerobos kerumunan dan melihat seorang wanita bergaun hitam menggores lehernya hingga berdarah sambil menangis. Aku tak mengerti kenapa orang-orang ini malah diam.

Sementara aku lebih cepat menghampiri wanita itu mencoba merebut pisaunya saat wanita itu kembali mencoba menggores lehernya.

Tapi aku tahu, aku terlalu gegabah, dan aku bukan seorang profesional. Jadi aku harus menahan mata pisaunya dengan tanganku karena wanita itu terus berontak histeris.

Rasanya sangat perih ketika aku harus menarik mata pisau itu dari tangan wanita itu dan beberapa orang mulai membantuku menarik wanita yang memiliki luka kecil dilehernya ini.

Tubuhku terhuyung kebelakang hingga terjatuh dengan mata pisau yang ku genggam, hingga telapak tanganku mengeluarkan cukup banyak darah.

Aku tahu seseorang berlari cepat kearahku. Ditengah keributan ini, aku cukup terkejut saat si pria bermata indah itu yang menghampiriku dan meraih tangan kananku yang berdarah.

Ya ampun, aku tak pernah merasa seseorang menatapku secara intens seperti ini. Ia semakin mendekati telapak tanganku ke wajahnya.

Menatapnya dengan seksama. Dan aku merasakan aneh saat tangannya menyentuh tanganku.

Ku rasa dia bukan sedang memerhatikan lukaku. Tapi, apakah ia sedang menghirup telapak tanganku? Oh tidak, dia malah menggenggam tanganku kuat-kuat hingga aku meringis kesakitan dan segera menarik tanganku darinya.

Kemudian, tiba-tiba saja tangannya merengkuh tubuhku.

Dia menggendongku!

Oh ya Tuhan. Aku tahu tubuh atletisnya mampu mengangkatku. Hanya saja, untuk apa?

Dan sekarang, aku merasa benar-benar ada yang aneh dari diriku. Aku ingin menempelkan hidungku di lehernya.

Oh Tidak! Apa ini sebuah pikiran kotor? Ya ampun aku ingin segera melompat dari gendongan pria asing yang sangat mempesona ini.

Tapi, berada di tumpuan kedua tangan berisi yang keras ini membuatku tak bisa mengelak.

"Aku.. bisa jalan." Ucapku dengan sangat susah payah. Seperti ada batu besar ditenggorokan ku saat ini. Menyebalkan.

Pria ini hanya melemparkan tatapan tajam lagi padaku. Hal itu berhasil membuatku diam tanpa protes.

"Aku tahu, Miss Alisca." Jawabnya tersenyum menyeringai. Apa itu? Aku benci senyum itu. Tapi kenapa bibir pink penuh itu membuat senyum seringai sangat indah? Tunggu, dia tahu namaku? Serius? Bagaimana bisa?

Kami sampai di lantai dasar, dan darah ditanganku terus keluar. Aku menaruh telapak tanganku di pangkuanku agar tak mengotori setelan mahal pria ini.

"David, Rumah sakit Santa Tiara, pesankan ruang perawatan kelas 1. Aku ingin Dokter Swift."

Aku sempat melongo ketika kami sampai di depan lobby, sudah ada sebuah mobil Mercedes-Benz hitam yang menunggu dengan seorang pria bertubuh tinggi tegap, memakai setelan kemeja putih, jas hitam senada dengan dasi dan celananya.

Pria bermata indah yang menggendongku ini berkata pada pria itu, yang dipanggilnya David. Ku rasa ia seorang supir pribadi.

David sudah membukakan pintu mobil di bagian kursi penumpang. Dan pria bermata indah ini membantu tubuhku memasuki mobil dengan hati-hati, bahkan ia menaruh telapak tangannya di atas kepalaku agar tidak membentur pintu mobil.

Ya ampun rasanya jantungku benar-benar bergejolak lebih parah dari sebelumnya.

Ia membuka kancing jas berwarna peraknya kemudian masuk juga ke dalam mobil, duduk disampingku. David kembali menutup pintu mobil kemudian masuk ke kursi kemudi.

Ia hendak menjalankan mobilnya sebelum aku berhasil mengeluarkan suaraku.

"Tunggu. Aku tidak tahu kalian siapa. Aku bisa mengobatinya sendiri, terimakasih" Ucapku dengan tegas.

"Tenanglah, Miss Alisca. Kami hanya akan membawamu ke rumah sakit." Jawab pria bermata indah itu dengan tenang sambil menurunkan jok yang ku duduki hingga aku harus menyender dan sedikit meluruskan tubuhku.

"Oke, bisa kalian jelaskan siapa kalian? Dan kenapa kalian harus membawaku ke rumah sakit?" Tanyaku karena jawaban dari si mata indah itu belum membuatku puas. Dan aku masih tidak bisa menghilangkan kecurigaanku.

"Aku Jason J. William. CEO The Larkshire Company." Bisik si pria bermata indah itu terus menatapku tanpa terganggu dengan apapun.

Suaranya benar-benar memiliki getaran seorang pria dewasa yang sexy. Ya, kelihatannya dia masih muda. Mungkin usianya sekitar akhir 20 tahunan? 30? Atau mungkin lebih. Tapi, aku yakin keluarganya mewarisi kekayaan yang sangat banyak padanya.

Kali ini ia kembali tersenyum menyeringai ke arahku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada dipikirannya.

"Baiklah, kau bertanggung jawab atas kejadian ini. Tapi bagaimana dengan wanita yang menggores lehernya itu?"

"Sudah ditangani oleh staf hotel. Ambulans sedang menuju ke sini." Jawab pria bernama Jason itu dengan tegas. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah David.

"Baik, sir." Jawab David seolah memahami arti pandangan Jason itu, kemudian melajukan mobilnya.

Wow. Benar-benar hebat. Seorang manusia diintruksikan hanya dengan sebuah tatapan.

Tapi bagaimanapun, luka di telapak tanganku, apa sangat mengharuskan ku pergi ke rumah sakit? Dengan ruang perawatan VIP? gila.

Bagaimana aku akan membayar rumah sakit itu? Oh tidak. Mrs. Lily tidak akan mau menggantinya.

"Begini, Mr. William. Aku harus kembali ke toko sebelum bos ku benar-benar marah. Tidak perlu khawatir, kejadian ini tidak akan membuat reputasi hotel mu buruk. Terimakasih" Ucapku berusaha menolak. Sebelum mobil nyaman ini berjalan semakin jauh.

"Aku membiayai semua tagihan rumah sakit, Miss Alisca. Lagi pula aku tidak perlu khawatir mengenai reputasi hotelku. Sudah ada Mrs. Jane yang mengurusnya," Jawab Jason dengan tenang.

Kemudian ia beralih menatapku lagi dengan tatapannya yang tajam, "Tapi saat ini kau sedang terluka, Miss Alisca."

Kedua mulutku mengatup pelan. Dengan susah payah aku menelan salivaku. Ada apa ini? Kenapa rasanya tenggorokanku sangat kering?

Sikapnya benar-benar sopan tapi perkataannya benar-benar menyiratkan keangkuhan dan kesombongan.

Aku bergerak semakin memepet ke pintu mobil untuk menjauhi Mr. Sangat mempesonakan ini. Sungguh, ada keinginan luar biasa dari dalam diriku.

Pria ini beraroma manis seperti saat aku mengunjungi toko kue di dekat sekolah. Sangat menyengat dan menggoda.

Aku menahan nafas. Ya ampun, otakku benar-benar akan meledak.

Apa rumah sakit masih jauh?

"Kau baik-baik saja Miss Alisca?" Bisiknya sambil meraih kembali tanganku yang luka dengan perlahan.

Aku hanya mengangguk tanpa menjawab. Aku benar-benar tidak bisa bergerak karena tatapannya.

Akhirnya mobil sampai di rumah sakit super besar ini. Begitu berhenti, David segera membukakan pintu mobil untuk Jason.

Aku buru-buru membuka pintu sendiri dan keluar sebelum ia datang dan kembali menggendongku. Namun aku salah mengambil langkah karena terburu-buru hingga aku hampir terjatuh. Dan ajaibnya, Jason sudah menangkapku sebelum bokongku benar-benar menghantam aspal.

Kemudian ia memapah tubuhku ke atas sebuah kursi roda. Ya ampun! Aku hanya kena goresan pisau di tangan. Kenapa saat ini aku seperti seorang korban tabrak lari?

"Dokter Swift sudah menunggu di ruang rawat satu, Mr. William."ucap seorang wanita berpakaian formal dibalut jaket khas dokter itu kemudian mendorong kursi rodaku.

Aku berharap Jason tidak perlu ikut. Tapi ternyata dia tetap mengikuti.

Begitu sampai di ruang perawatan besar dengan satu ranjang yang sangat empuk, dan fasilitas lengkap termasuk sofa, TV, lemari, kamar mandi, AC, kulkas kecil, penghangat ruangan, oh ya ampun, ini terlihat seperti kamar hotel dari pada kamar rumah sakit.

Aku ingin menginap disini. Tapi ayolah, tanganku hanya terluka sedikit.

Dokter Swift yang menanganiku pun terlihat sangat profesional. Wajahnya tampan dan putih bersih. Rambutnya berwarna coklat pendek. Terlihat berkelas.

Dia juga menjelaskan kalau luka di tanganku memang cukup dalam, tapi tidak terlalu parah dan tidak ada kerusakan serius. Sudah ku bilang!

"Apa aku bisa pulang sekarang?" Tanyaku dengan tidak sabar. Aku tidak membawa tas atau ponsel. Bagaimana dengan Rachel?

"Kau boleh segera pulang, Miss Alisca. Jika kau merasa pusing atau tidak nyaman, segera hubungi aku kembali" Ucap dokter Swift tersenyum ramah. Aku mengangguk dengan yakin.

"Kau yakin, Miss Alisca?" Tanya Jason sebelum dokter Swift pergi keluar.

"Sangat yakin, Mr. William." Jawabku berusaha turun dari ranjang empuk yang sangat nyaman ini, sementara Jason terlihat mengobrol sebentar dengan dokter Swift yang berjalan keluar.

Kemudian ia kembali berbalik. Tatapannya kembali padaku.

"Terimakasih, Mr. William. Aku akan pulang sekarang." Ucapku berusaha menatap matanya. Aku berusaha keras untuk terlihat tegas.

Dia sudah berhasil menyeretku ke rumah sakit ini. Dan aku tidak mau dia menahan ku untuk pulang.

"Baiklah, aku harap kau segera pulih, Miss Alisca." Sahut Jason dengan santainya. Waw. Benar-benar tidak tertebak. Tunggu, bagaimana aku pulang?

"Apa aku perlu mengantarmu, Miss Alisca?" Tanya Jason. Ya ampun, dia ini pria yang terlalu peka atau memang bisa membaca pikiranku? Oh, atau dia seorang pria yang cerdas? Tapi membayangkan satu mobil lagi dengannya, aku tidak bisa mengontrol diriku lagi.

Dan dia masih menatapku dengan tajam. Berhenti Livia! Menunduk!

Tidak, jangan. Kau terlihat lemah.

"Miss Alisca.."

"Panggil Livia saja.."

"Apa kau sudah memutuskan pulang dengan apa?" Tanya Jason lagi membuatku ingin menggeram kesal.

Tapi aku berusaha menahannya. Aku tidak mau terlihat menyebalkan di hadapan orang baru. Apalagi, pria ini sudah menolongku- walaupun berlebihan.

"Aku, akan meminta temanku menjemput. Apa kau keberatan jika aku meminjam ponselmu?"

"Apa jaminannya kalau temanmu akan sampai disini tanpa terlambat?" Tanya Jason sambil membukakan pintu kamar ruangan ini, tangannya terjulur seolah mempersilakan aku untuk keluar lebih dulu.

Ya ampun, tidak ada yang pernah memperlakukanku seperti ini. Apa dia sedang menggodaku? Tapi untuk apa?

"Dia akan sampai disini, Mr. William" Jawabku berusaha sabar.

Aku juga penasaran apa dia akan melakukan hal yang sama pada Rachel? Secara fisik, jelas Rachel lebih segala-galanya dariku.

Akhirnya Jason meminjamkan ponselnya padaku. Dan aku melirik tangan kanannya yang sudah bersih dari darahku. Aku tidak mengerti juga, kenapa dia repot-repot mengotori tangannya dengan menggenggam tanganku yang sedang terluka. Walaupun aku menyukainya.

Tidak ada yang pernah menggenggam tanganku sekuat itu. Sampai seperti ada aliran listrik yang mengerikan.

"Hallo, Rachel, ini aku... iya, tenanglah.. nanti akan kuceritakan, tolong jemput aku di Rumah Sakit Santa Tiara sekarang.. apa? Oh baiklah.." Percakapan singkat itu berakhir dengan keputusan kalau Rachel akan menjemputku sekitar 20 menit lagi.

"Temanku akan menjemput, mungkin sekitar 20 menit lagi. Terimakasih, Mr. William." Ucapku sambil mengembalikan ponselnya dan tersenyum tulus walaupun aku yakin akan terlihat sangat kaku. Setidaknya aku berusaha untuk bersikap ramah.

"Oke." Bisiknya. Matanya masih menatapku. Aku tak bisa menatap senyum yang keluar begitu saja dari wajahku. Aku suka dengan caranya menatapku.

"Sampai bertemu lagi, Miss Alisca." Katanya sambil tersenyum, kemudian berjalan menghampiri mobil Mercedes-Benz hitamnya yang sudah menunggu dengan David yang segera membukakan pintu untuk Jason.

David, pria yang ku pikir berusia 50 tahunan itu tersenyum ramah ke arahku. Dan aku membalasnya dengan ramah.

Pengalaman yang sangat menyenangkan bertemu denganmu, Mr. William. Tapi tentu saja kita tidak akan bertemu lagi.

Tidak mungkin