Rachel menjemputku tepat waktu dan kita berdua langsung meluncur ke Darling Coffee Shop yang berada di sebelah toko bunga kami. Karena aku sudah sangat lapar.
"Waw, Livia. Apa yang terjadi? Kau terlihat sangat lahap, dan bersemangat?" Ledek Rachel sambil menambahkan salad oil di atas sayurannya. Kemudian menyeruput lemon squash pesanannya.
Aku tertawa pelan kemudian mengedikkan bahu sambil menghabiskan potongan hamburger di dalam mulutku.
"Apa ini karena Mr. William? Ya ampun Liv, aku sangat khawatir... Tapi lihatlah, tanganmu hanya diperban, dan seorang Mr. Jason James William menggendongmu sampai ke mobil." Ucap Rachel tertawa lalu memasukkan potongan selada ungu ke dalam mulutnya.
Aku sendiri masih tak percaya, semua ini tak pernah ada di kamusku sebagai penggemar film dan cerita fiksi horor.
Seharusnya aku biasa saja dengan kejadian ini, tapi jiwa wanita dilubuk hatiku tetap tersanjung dengan perlakuannya.
Walaupun aku terus mengelak.
"Rachel, aku tidak tahu ada apa denganku. Tapi ku rasa dia memang orang yang berlebihan. Dan dia hanya ingin mengerjaiku" Jawabku seolah mengeluarkan semua kalimat-kalimat penolakan dalam diriku.
"Serius? Apa kau pikir seorang Mr. William akan membuang waktunya dengan gadis asing?"
Oh tidak. Rachel benar. Untuk apa? Dan dia mengetahui namaku. Lalu bagaimana dia bisa menghampiriku saat kejadian itu padahal seingatku dia berjalan keluar ketika kami berpapasan di lift. Apa dia benar-benar berbalik dan.. mengikutiku? Konyol.
"Tapi, Liv. Ku dengar dia dijuluki Pangeran tampan yang misterius. Aku tak tahu secara jelasnya. Semoga saja bukan hal yang buruk."
Oh aku meragukan hal itu. Dia jelas terlihat orang aneh yang memiliki kebiasaan aneh. Tunggu, apa aku sedang membicarakan diriku sendiri?
"Lupakan saja, Rachel. Aku tidak mau waktu makanku diganggu dengan orang aneh itu" Ucapku kesal. Kesal karena tak bisa mengerti sikap orang ini. Padahal membaca karakter orang lain adalah keahlianku sebelumnya.
"Maksudmu orang aneh yang mempesona?" Ledek Rachel sambil tertawa. Ya aku tahu dia benar-benar meledekku. Karena ia tidak pernah melihatku seperti ini pada pria.
Dan aku berterus terang padanya kalau aku tidak pernah menjalani hubungan seperti orang-orang pada umumnya. Walaupun aku pernah menyukai seseorang. Dan aku meninggalkannya.
Karena, kita berbeda. Aku tahu ada yang aneh dariku. Dan kita berdua berbeda.
"Hai ladies, ingat besok malam ada acara ulang tahun Mrs. Lily? Bagaimana menurut kalian?"
Aku sangat kaget saat Joe tiba-tiba saja duduk di sebelahku dengan aksesoris mencoloknya. Ya ampun, apa dia tidak kerepotan dengan gelang-gelang itu?
"Hai tampan, bagaimana menurutmu?" Tanyaku meledek Joe. Joe sempat tercengang denganku dan melirik ke arah Rachel yang hanya tertawa.
"Oh Tuhan, katakan. Apa dia sedang demam? Chel, dia baru saja menghinaku" Tukas Joe dengan sangat men-drama. Ya ampun, ini bukan pertama kalinya aku meledek orang.
Tapi aku hanya merasa tidak memiliki selera humor yang sama dengan mereka.
"Oke. Aku pasti akan datang, dan Joe, ingat perjanjian kita soal gaun yang kau pilihkan" Ucap Rachel meminum kembali lemon squash miliknya.
Sementara Joe, dengan sangat feminimnya mengangkat sendok es krimnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Itu tidak masalah, Chel. Lalu bagaimana denganmu, Miss aneh?" Tanya Joe penuh penekanan seolah membalas ledekan ku yang tadi.
Aku tertawa dan lagi-lagi mengedikkan bahuku tidak tahu. Dengan cepat Joe menekan salah satu bahuku, mengingatkan kalau seorang wanita tidak bagus mengangkat bahunya. Oh Tuhan.
"Aku sudah katakan padamu, Joe. Tidak akan berguna mengajaknya." Ucap Rachel menatapku. Dan dari nada bicaranya, aku sadar betul kalau ucapannya seolah menantangku untuk menyanggah pernyataannya.
Tapi itu tidak akan berhasil. Aku tak akan pergi ke pesta semacam itu.
"Sayang sekali.."
"Kau yakin Liv? Ku dengar, pesta ulang tahun Mrs. Lily akan diselenggarakan di Larkshire hotel. Dengan gedung aula termurah itu" Ucap Rachel.
Oh, tidak dengan hotel itu lagi. Tapi apa maksud Rachel mengatakan itu? Apa dia benar-benar membuat kesimpulan kalau aku menyukai Mr. William?
Lupakan. Lagi pula pria yang memiliki mata indah dan wangi menggoda itu tidak mungkin akan ada di sana setiap saat.
"Ayolah, Livia sayang.." Bujuk Joe. Matanya berkedip beberapa kali seperti boneka. Sangat lucu. Aku hampir tertawa kalau saja Rachel tidak merusak ekspresi lucu Joe dengan menepuk pipi Joe sambil mencibir.
***
Aku tercengang ditempatku saat melihat gadis menyebalkan bernama Valerie tertidur di kamarku dengan beberapa barangku yang bergeletak dimana-mana.
Aku mencubit pipi tirusnya hingga ia meringis dan terbangun.
"Ah, sial kau Liv!" Protes Valerie yang dengan malas beranjak dari tempat tidurku.
"Apa yang kau lakukan di kamarku? Dan barang-barangku. Ya Tuhan, kau benar-benar!" Omelku dengan kesal sambil memunguti buku, syal berwarna coklat, dan pulpen-pulpenku.
"Hey, Liv. Aku penasaran kenapa kau dan Daniel berpisah?"
"Apa maksudmu Val? Kau tahu kan dia pindah ke London." Jawabku sambil membuka jaketku dan menggantungnya.
"Aku tahu, tapi hubungan kalian berakhir."
Aku tertawa pelan kemudian menaruh kembali bingkai fotoku bersama Daniel saat SMA ke dalam laci mejaku.
"Aku tidak memiliki hubungan apapun dengannya kecuali, sahabat" Jawabku jujur.
Aku menyukai Daniel. Tapi Daniel mengatakan soal cinta. Dan aku tidak tahu apapun soal itu.
Aku juga tidak ingin Daniel tahu soal keanehanku, yang mengerikan, atau menjijikan. Meminum darah hewan.
"Lalu kenapa kau tidak berpacaran? Aku bisa mengenalkan padamu beberapa cowok keren." Celoteh Valerie entah untuk keberapa kalinya.
Aku menghela nafas panjang kemudian menatap kearahnya.
"Cowok keren seperti, Kevin-mu?"
Kevin, si pria bertubuh kurus yang sangat pandai bermain gitar, memiliki rambut pirang yang sedikit lepek dan pakaian yang terlihat kesempitan. Aku tak mengerti kenapa pria seperti itu malah digilai para remaja jaman sekarang.
"Oke, tinggal beritahu saja kriteria pria yang kau mau Liv!" Jawab Valerie dengan tidak sabar.
Aku bahkan tidak menduga akan ada pembicaraan seperti ini lagi malam ini.
Dengan orang yang sama. Si Valerie menyebalkan.
"Pria yang ada disini." Ucapku sambil menunjukkan sebuah buku novel favoritku yang ber-cover hitam ini.
Valerie mendesah frustasi menatapku. Dan aku hanya tertawa.
Berulang kali ia menanyakan hal yang sama, dan berulang kali akupun menjawab dengan hal yang sama.
"Peter, hanyalah tokoh fiksi, Olivia Jasmine Alisca-"
"Jangan sebut namaku!" Protesku dan Valerie segera mengatupkan mulutnya menyerah.
Ia berjalan gontai menuju pintu kamarku, kemudian berbalik.
"Beritahu aku jika kau sudah menemukan kriteria yang realistis" Bisiknya kemudian keluar dari kamarku.
Peter memang hanya tokoh fiksi. Tapi aku sangat menyukainya. Dia manis. Dan ini satu-satunya novel romantis yang kusukai.
Aku membuka laptopku berniat untuk melanjutkan novelku. Malam ini mungkin aku bisa melanjutkan lebih banyak karena besok adalah hari liburku.
Tapi, tiba-tiba saja ponselku berdering dan itu dari Joe. Apa aku baru saja meninggalkan sesuatu?
"Livia sayang.. maaf mengganggumu malam-malam. Tapi ini sangat, sangat, sangat penting. Kau sudah lihat pengumuman di grup chat?"
Aku menghela nafas panjang. Aku belum sempat membuka ponselku sejak sampai di rumah tadi.
"Belum, Joe. Apa sesuatu yang penting?"
"Oh Tuhan, aku sudah menduganya. Sudahlah, intinya Mrs. Lily menyuruhku membuatkan absen untuk orang-orang yang datang ke acara ulang tahunnya" Jawab Joe membuatku membulatkan kedua mataku kaget.
Aku berusaha mencerna ucapannya barusan.
"Joe, tidak mungkin. Untuk apa?"
"Ayolah, Mrs. Lily menyewa gedung aula hotel termahal ke 5 di London. Dan dia tidak mau tamu yang datang sedikit. Dan ku rasa, akan banyak tamu-tamu penting kali ini" Jawab Joe. Aku mendesis kesal.
Jika saja naskahku sudah berhasil diterbitkan dan aku menjadi penulis terkenal, mungkin aku tidak perlu terlibat dengan semua ini.
"Livia? Kau dengar? Sudahlah, Liv. Pesta ini hanya berlangsung beberapa jam dan kau bisa kabur ditengah-tengah acara. Hanya perlu menunjukkan wajahmu padanya. Ku mohon selamatkan aku dari amukkan dia, oke?"
Joe mematikan teleponnya sebelum aku menjawab. Datang ke pesta? Itu benar-benar bukan diriku.
Baiklah, mungkin Joe benar. Hanya perlu datang, mengucapkan sedikit basa-basi, lalu pulang.
Dan aku harus menyenangkan Valerie agar dia mau meminjamkan gaunnya padaku.
***
Aku dan Rachel menumpang mobil Joe untuk sampai di Larkshire hotel.
Untungnya, mereka berdua menjemputku tepat waktu sebelum Valerie mendandani ku habis-habisan. Tadinya aku ingin meminjam gaun berwarna hitam.
Tapi Valerie malah memakiku karena gaun itu ia gunakan saat pemakaman. Dan dia benar, aku juga akan mendapat makian dari Mrs. Lily jika memaksa memakai gaun itu.
Lalu, Valerie memaksaku untuk memakai gaun berwarna kuning cerah. Ya ampun, aku tak tahu kalau warna ini terlihat cocok denganku.
Padahal aku benci warna secerah ini.
Rambutku di ikat kepang setengah. Memakai sedikit bedak dan lipgloss. Tapi Joe yang gemas malah memaksaku memakai lipstik berwarna merah. Oh ya ampun, bahkan lipstik ini susah sekali di hapus.
Rachel hanya menertawakanku.
"Kau memakaikan lipstik dengan warna seorang pelacur" Protesku dengan sangat kesal bahkan saat mobil ini sudah sampai di depan hotel.
"Bukan pelacur, Livia. Tapi sexy." Jawab Joe yang di setujui oleh Rachel dengan cepat.
Mereka keluar dari mobil sementara aku masih berpikir apa seharusnya aku menunggu saja di mobil.
Tapi Rachel malah menarikku keluar.
"Tenang saja Livia, aku akan mengenalkanmu banyak minuman enak di dalam." Kata Rachel tertawa.
"Aku terkejut kau tidak membawa pacarmu ke sini" Ucapku mencoba mengalihkan pikiran tidak nyamanku dengan penampilanku sendiri saat kita memasuki lobby hotel.
"Anggap saja ini adalah sebagian dari pekerjaan kita, Liv. Dan aku tidak mau melibatkan pacarku dalam hal ini." Jawab Rachel terlihat profesional seperti biasanya. Aku cukup terkesan.
"Tapi ku dengar, Mark menyewa salah satu kamar disini. Jadi mungkin aku tidak ikut pulang denganmu dan Joe" Lanjut Rachel sambil melirik Joe yang hanya mengedikkan bahu.
"Ya, terserah kau saja Miss Harvey." Jawab Joe kemudian menekan tombol lift.
Aku berdiri tegap. Entah mengapa aku merasa gugup mengingat kembali saat pintu lift ini terbuka seperti kotak hadiah dan di dalamnya aku menemukan pria itu. Jason J. William.
Namun ketika pintu lift terbuka, hanya ada tiga orang asing yang keluar, aku tak menemukan Jason didalamnya. Mana mungkin.
Lalu aku kembali masuk ke dalam lift dengan ocehan Rachel dan Joe yang terdengar menyenangkan.
Saat sampai di pintu gedung aula, kami disambut oleh dua orang penjaga yang berdiri di sisi pintu masuk. Yang satu adalah pria bertubuh tinggi dengan setelan jas rapi berwarna hitam, sementara satunya lagi perempuan cantik berambut hitam yang memakai gaun berwarna biru laut yang panjang.
Ia menyodorkan kami papan berisi pilihan topeng. Oh, ternyata pesta topeng. Sangat konyol untuk acara ulang tahun seorang wanita berusia hampir 50 tahun.
Aku mengambil topeng berwarna perak dengan sedikit bulu-bulu di bagian ujung sebelah kiri, dan tali tipis dibelakangnya.
Sementara Rachel memilih topeng dengan gagang penyangga. Topengnya berwarna merah muda dengan pernak pernik, sangat cocok dengan gaunnya.
Tidak banyak pilihan warna topeng disini yang bisa menyesuaikan dengan gaunku. Jadi ku pikir warna perak adalah yang paling netral.
Sebelum kami masuk, aku lihat si penjaga wanita sempat tersenyum geli ke arah Joe. Yah, orang ini berulah lagi dengan mengambil topeng milik wanita. Padahal si penjaga pria itu sudah menyodorkan padanya pilihan topeng untuk pria.
Rachel tertawa sambil menarik Joe segera masuk dengan topeng warna merah menyala pilihannya. Aku juga tertawa sambil memakai topeng itu dikepalaku dan mengikuti mereka.
Syukurlah, setidaknya sebagian wajahku tertutupi topeng. Tepatnya hanya kedua mataku dan sebagian hidung.
Mrs. Lily sudah berdiri di panggung dengan seorang pria seumurannya yang terlihat gagah dan cukup tampan.
Waw. Inikah alasan tergelarnya pesta luar biasa ini?
"Dia pria yang akan menikah dengan Mrs. Lily. Keren bukan?" Bisik Rachel sambil mengambil minuman.
"Aku dengar dia seorang pengusaha kaya. Perusahaan di bidang pariwisata seingatku." Lanjut Rachel.
Sementara Joe sudah menghilang. Ia terlihat menghampiri seorang wanita dan pria yang berada di sisi gedung lain.
"Tunggu, Joe bilang akan ada yang menulis daftar kedatangan tamu." Ucapku yang baru menyadarinya.
Kami memang menunjukkan kartu undangannya. Tapi kami tidak diminta menulis nama atau apapun.
"Oh ayolah, kau benar-benar percaya Mrs. Lily menyuruh hal gila itu? Kami hanya ingin kau bersenang-senang disini, Liv.." Jawab Rachel tertawa kemudian memberikan segelas wine padaku.
Kemudian terdengar lantunan musik jazz ku rasa. Sangat lembut dan menyenangkan.
"Nah, ku rasa sudah waktunya menari." Ucap Rachel bersemangat. Dan memang iya, beberapa lampu diredupkan, berganti dengan lampu kelap-kelip yang indah.
Beberapa orang terlihat mulai berdansa di tengah-tengah aula.
Kemudian ada dua pria bertopeng yang menghampiri kami dan mengajak kami berdansa.
Kedua pria ini sudah mengawasi kami sepertinya.
"Ladies," Ucap salah satu dari mereka sambil mengulurkan tangannya. Dengan senyum manisnya, Rachel menyambut uluran tangan itu.
Tapi tidak denganku.
"Ayolah, Liv. Hanya berdansa." Ucap Rachel membujuk.
"Ya, gadis cantik sepertimu tidak mungkin hanya diam disini kan?" Ucap pria yang mengulurkan tangannya padaku.
Dia tersenyum manis menatapku. Aku bukan tipe orang yang suka mengecewakan orang lain.
Tapi kali ini, aku tidak bisa. Aku tidak bisa berdansa dan tidak mau.
"Maaf, aku rasa aku akan disini saja." Jawabku dengan sopan dan senyum ramah. Pria itu mengedikkan bahu dan menarik kembali tangannya.
"Oke" Jawabnya. Kemudian mengajak perempuan yang berdiri tak jauh dariku. Syukurlah perempuan itu menerima ajakannya.
Dan Rachel melambaikan tangannya padaku sebelum ia ke tengah aula untuk berdansa. Aku hanya tersenyum.
Aku juga melihat Joe berdansa dengan seorang laki-laki.
"Tidak berdansa?"
Aku hampir terjatuh tersandung ujung meja saat melihat seorang pria tinggi dengan tubuh atletis yang saat ini berdiri di hadapanku.
Mana mungkin aku bisa melupakan bibir merah mudanya, dan kedua mata indah yang sebagian tertutupi oleh topeng berwarna hitam.
Setelan formal seperti biasanya. Kemeja biru tua dengan jas berwarna hitam, dasi yang juga berwarna hitam senada dengan celana bahannya, juga sepatunya yang mengkilat.
Jason mengulurkan tangannya padaku dengan tatapan yang terus membekukanku.