KEANEHANKU DIKETAHUI

Dia menggenggam telapak tanganku dengan lembut, mengajakku menari di lantai dansa - tanpa permisi. Dan aku tak memiliki kekuatan untuk menolaknya. Maksudku, aku tidak mau menolaknya.

Tatapanku tak pernah lepas darinya. Aku tidak bisa berdansa. Tapi aku mengikuti gerakannya.

Dia mengangkat tangannya yang masih menggenggam tanganku sehingga aku berputar dihadapannya, kemudian mengulurkan tanganku sehingga tubuhku menjauh lalu berputar lagi ke arahnya.

Dia menuntun tangan kananku untuk berpangku pada bahunya yang bidang. Tangan kirinya di pinggangku. Sementara tangan kiriku dan tangan kanannya masih saling menggenggam.

Aku rasa aku sedang bermimpi. Atau melamun. Atau apapun yang mengatakan kalau ini semua tidak nyata.

"Kau sangat cantik, Miss Alisca." Bisiknya pelan. Suaranya lembut dan maskulin.

Wajahku memanas, aku menunduk malu. Dan aku tak bisa menahan senyumku. Aku bahkan tak bisa bernafas.

Aroma ini muncul lagi, tenggorokan ku sangat kering. Dan aku menghentikan dansaku. Perasaan ini muncul lagi, aku belum pernah seperti ini.

Tubuhku benar-benar memanas. Aku butuh darah. Oh tidak, kenapa ini terjadi disaat yang tak tepat.

Aku memandang Jason lagi, rambut coklat keemasannya terlihat sangat rapi. Tapi kali ini Jason terlihat.. sangat menggoda.

"Apa kau baik-baik saja, Miss Alisca?"

Pipiku memanas saat Jason menyentuhnya. Aku rasa, wangi menggoda itu semakin dekat. Dan aku meraih tangan Jason yang berada di pipiku, menggenggamnya dan.. menghirupnya.

Memang, ku rasa Jason memiliki darah yang manis. Yang tak pernah bisa ku bayangkan rasanya. Aroma yang bisa memabukkan orang aneh sepertiku. Aku ingin..

"Miss Alisca?"

Aku membuka mata dan menyadari diriku sendiri yang sedang menggenggam telapak tangan Jason di depan wajahku dengan mulut yang terbuka. Sial.

Aku segera melepaskan tangan Jason dan berdiri menjauh. Nafasku terengah-engah. Bahkan aku tak berani menatap Jason. Apa yang sebenarnya terjadi padamu Livia.

"Aku minta maaf Mr. William." Bisikku masih belum berani menatapnya.

Masih belum ada jawaban darinya, jadi aku berusaha untuk meliriknya.

Dan ternyata dia masih diam sambil terus menatapku dengan tatapan yang membekukkanku.

"Ku rasa kau perlu menenangkan diri, Miss Alisca" Ucapnya kemudian mengulurkan tangannya padaku.

"Ikutlah denganku," Bisiknya. Dan aku menyambut tangannya tanpa pertanyaan apapun.

Dia menggenggam tanganku dan menggandengku menuju pintu keluar aula ini. Kemudian ia membukakan pintu untukku dan kembali menggandeng tanganku menuju lift.

"Maaf, Mr. William. Kita akan kemana?" Tanyaku lift menuju lantai teratas gedung ini. Aku tak tahu ada apa disana. Dan kenapa juga aku mengikuti orang asing ini?

Bodohnya aku.

"Ke ruang kerjaku, Miss Alisca." Bisik Jason ketika lift terbuka.

Di depan, ada sebuah meja resepsionis ku rasa, dan dibelakangnya ada dua wanita cantik dengan rambut digelung rapi. Mereka berdiri ketika melihat Jason masuk.

Tapi ku rasa mereka terlihat kaget.

Well, baguslah. Setidaknya aku merasa aman. Kalau-kalau pria asing ini macam-macam. Aku bisa berlari keluar dan meminta bantuan.

Salah satu dari mereka membukakan pintu menuju ruang kerja Jason. Kemudian aku hampir ternganga melihat betapa luasnya ruangan ini.

Aku tak percaya ruangan sebesar ini hanya ditempati oleh satu orang. Sangat membuang-buang tempat. Ada sofa berwarna putih yang cukup panjang membentuk huruf U mengelilingi sebuah meja kecil terbuat dari kaca yang terlihat mahal.

Bahkan furniture disini semuanya ku rasa bernilai banyak. Lukisan-lukisan besar yang cukup menarik terpajang di dinding.

"Silakan duduk, Miss Alisca." Bisik Jason saat aku masih mengagumi ruangan ini.

Aku duduk di salah satu sisi sofa dengan hati-hati. Sementara Jason terlihat sedang menyiapkan sebuah minuman dari dalam kulkas besarnya yang ada disudut ruangan.

Ya ampun, bahkan benda itu tak terlihat seperti kulkas. Sangat elegan dan cocok di taruh di ruangan ini.

"Jadi, Mr. William. Apakah kau mengenal Mrs. Brown?" Tanyaku yang baru menyadari bagaimana bisa orang hebat seperti Jason berada di pesta itu.

"Tidak," Jawabnya pelan. Aku mengatupkan mulutku. Melumat bibirku gelisah. Benar juga, bagaimana mungkin dia mengenal Mrs. Lily. Lalu kenapa dia bisa ada di pesta itu?

"Sebenarnya, Miss Alisca. Aku diundang oleh Mr. Harison, karena aku adalah pemilik saham dari perusahaan pariwisatanya. Aku sudah memberikan kata sambutanku sebelum kau datang" Jawab Jason sambil berjalan menghampiriku dan membawakan dua gelas red wine ku rasa.

Ia menaruhnya di atas meja lalu duduk dengan berwibawa di sofa ini. Ya ampun, pesonanya memang layaknya seorang pangeran.

Benar juga, aku, Rachel, dan Joe datang terlambat karena perjalanan kami paling jauh dan juga drama yang dibuat Joe saat memaksa ku memakai lipstik sialan ini.

Tidak ada obrolan lagi, dan aku mulai gugup. Jadi aku segera menyambar minuman ini.

Dan ya ampun, rasanya nikmat. Aku rasa aku mengenal ini.

"Lebih baik Miss Alisca?"

Aku tidak percaya apa yang baru saja Jason berikan padaku. Tidak mungkin. Bagaimana bisa dia tahu? Ini darah rusa.

***

Jason mengetahui keanehanku. Aku menatapnya tak percaya, kali ini aku memberanikan diri untuk menatapnya dengan kesal.

Aku baru saja mengaguminya. Aku beranjak dari sofa empuk yang nyaman ini tanpa sepatah katapun. Berusaha berjalan cepat dengan sepatu hak tinggi sialan ini menuju pintu keluar.

"Miss Alisca,"

Aku terkejut bukan main. Sungguh. Jason menarik lenganku dan menekan tubuhku ke dinding.

Punggungku terasa sedikit sakit. Namun secepatnya menghilang karena tatapan Jason yang aneh. Tatapan yang membuatku benar-benar tidak bisa bergerak.

Jason bahkan tak berkata apa-apa. Kedua matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ku artikan. Ia mencengkram kedua bahuku seolah memastikan kalau aku tidak bergerak sedikitpun.

Kemudian kepalanya mulai menunduk, terus menunduk sampai aku bisa merasakan nafasnya di leherku. Dan hidungnya menyentuh curuk leherku, rasanya sangat dingin.

Jantungku semakin berpacu dengan keras. Apa yang dilakukannya?

Kemudian, tiba-tiba saja ia menjauh. Aku sempat terkejut melihat wajahnya yang berubah sangat pucat.

Kemudian aku menutup mulutku tak percaya melihat gigi taringnya yang runcing. Sejak kapan? Ya ampun, kakiku lemas.

"Mr. William.." Suaraku pelan seolah tenggelam dikegelapan malam.

Raut wajahnya terlihat marah, dan memerah. Aku bisa melihat urat di sekitar pelipisnya.

"Miss Alisca, David akan mengantarmu pulang." Ucapnya dengan tegas tanpa menatapku lagi. Ia bahkan menjauhkan diri.

"Tidak perlu, aku-"

"Kau tidak akan bisa pulang tanpa David, Miss Alisca."

"Sebenarnya aku bersama-"

"Miss Alisca." Kali ini nadanya jelas seperti memerintah dan marah. Jujur saja aku sangat takut.

Baiklah aku tidak perlu menyahut dan segera keluar dari ruangan ini. Entah pulang dengan David atau tidak, yang terpenting adalah aku menjauh dari pria ini.

Jujur saja otakku benar-benar mau meledak. Jiwa ku terguncang. Begitu banyak pertanyaan yang ada dikepalaku.

Sambil menaiki lift, aku mencoba menelepon Rachel. Tapi tidak juga diangkat. Kemudian aku menelepon Joe. Syukurlah dia segera mengangkatnya.

"Joe, kau masih di aula?" Tanyaku begitu ia mengangkat teleponnya. Aku keluar dari lift menuju lobi hotel.

"Apa? Aku sudah pulang, Livia sayang. Aku sudah bilang kan, hanya menampakkan wajah lalu pulang." Jawab Joe sambil tertawa.

Aku mendengus kesal. Itu memang rencana kami sejak awal.

"Kenapa Liv? Apa kau baik-baik saja?"

"Ya, sekarang aku bingung akan pulang naik apa. Aku masih di sini, Joe."

"Oh sial, Liv. Aku pikir kau sudah pulang dengan Mr. William. Bagaimana bisa Liv?" Tanya Joe membuatku teringat kembali pada pria mempesona yang sangat misterius itu.

"Bagaimana bisa kau berpikir aku akan pulang bersamanya, Joe?" Tukasku kesal.

"Ya, Well, Rachel menceritakan kejadian kalian saat mengantar bunga. Dan ku pikir hubungan kalian berlanjut." Jawab Joe terkekeh tanpa merasa bersalah. Oh Tuhan, ini benar-benar menyebalkan.

"Oke, Liv, darling. Aku akan menjemputmu sekarang di sana."

"Tidak perlu Joe. Kau tidak mungkin kembali ke London. Aku akan menelepon Rachel lagi. Dia menginap disalah satu hotel ini. Sampai jumpa."

Aku mengakhiri telepon dengan Joe. Sekarang masalahnya, aku tidak mungkin mengganggu Rachel dan pacarnya. Sialan. Yang tersisa hanyalah, mobil Mercedez-Benz warna hitam yang menungguku di depan hotel dengan David yang berdiri di sisi pintu mobil sambil memerhatikanku.

Apa aku benar-benar akan diantarkan pulang? Lalu bagaimana aku mengatakannya?

"Miss Alisca," Sapanya dengan tenang dan senyum keramahan sambil membukakan pintu mobil.

"Apa.. Mr. William mengatakan sesuatu?" Tanyaku ragu-ragu. Hanya ingin memastikan saja sebenarnya.

"Ya, Miss Alisca. Mr. William memintaku untuk mengantarkanmu sampai ke rumah." Jawabnya.

"Tapi, rumahku berada di Manchester."

"Tentu, Miss Alisca."

Baiklah, tidak ada pilihan lain. Aku masuk ke dalam kursi penumpang mobil ini. Sangat lucu jika dipikir ucapan Jason tadi seolah sihir untukku.

"Kau tidak akan bisa pulang tanpa David, Miss Alisca."

Ya memang, entah itu sihir atau sebuah ramalan. Aku mulai berpikiran buruk.

Mungkin saja dia juga yang membuat Joe meninggalkanku disini, dan Rachel yang tidak mengangkat teleponku.

Itu sangat konyol. Tidak mugkin dia melakukan hal itu. Dan sekarang otakku mulai berpikir, Mr. William itu apa?

Dari taringnya yang tiba-tiba saja muncul itu jelas bahwa dia adalah seorang vampir.

Benarkah? Vampir yang hampir menyobek-nyobek leherku. Apa karena itu dia mengetahui tentangku?

Apa karena kita sama-sama vampir? Tidak mungkin aku juga seorang vampir! Aku tidak pernah berkeinginan untuk merobek leher manusia dan menyedot darahnya.

Aku juga tidak terganggu oleh sinar matahari. Aku masih bisa makan-makanan yang umum.

Dan aku tidak memiliki taring! Tunggu, apa taringku juga akan muncul kalau aku mendekati leher orang lain?

Tidak. Aku bukan vampir. Aku adalah manusia biasa yang memiliki kebiasaan aneh. Apa salahnya meminum darah hewan? Ku dengar di beberapa negara juga ada orang-orang yang mengolah darah hewan sebagai makanan. Aku pastikan tidak akan bertemu denganmu lagi Mr. William.

***

Pukul 07:30 pagi. Tubuhku rasanya sangat lemas. Aku berusaha untuk melupakan kejadian tadi malam. Malam yang indah sekaligus mengerikan.

"Liv!"

Aku terperanjat kaget saat Valerie tiba-tiba saja membuka kamarku dengan keras. Aku tidak mengerti kenapa anak ini suka sekali membuatku kaget.

"Katakan, jadi siapa yang mengantarkanmu semalam dengan mobil mewah itu?" Tanya Valerie dengan tidak sabar.

Kadang, ia sama seperti adiknya si Joshua itu. Sama-sama tidak mau menyerah dalam sebuah pertanyaan.

"Bukan siapa-siapa, Val." Jawabku berusaha tenang.

"Tidak mungkin, Liv. Pria itu bahkan membukakan pintu mobil untukmu. Kau tidak berkencan dengan pria tua itu kan?" Tanya nya penuh selidik dan tatapan menghakimi padaku.

Aku juga menyadari paman George dan bibi Grace mengintip dari balik pintu kamarku.

"Tidak, Val. Sungguh, aku tidak sedang berkencan dengan siapapun. Mobil itu.. hanya fasilitas dari Mrs. Lily." Jawabku berbohong.

Setidaknya aku yakin jawaban ini bisa menekan rasa penasarannya yang sudah meluber seperti vla vanilla di atas puding.

"Sejak kapan Mrs. Lily memberikan fasilitas mewah itu?"

Aku menghela nafas panjang kemudian keluar dari kamar menuju meja makan. Tentu saja Valerie masih mengikutiku. Grace dan George terlihat pura-pura sibuk di sini.

Sementara Joshua, aku yakin masih tidur, karena hari ini sekolahnya libur.

"Mrs. Lily meminjami mobil pacarnya, untuk mengantarku dan Rachel pulang." Jawabku sangat berharap si cerewet Valerie akan berhenti bicara.

"Oh," Jawabnya kemudian duduk disebelahku.

Syukurlah dia akhirnya berhenti.

"Bagaimana pestanya semalam, Livia?" Tanya paman George.

"Cukup menyenangkan." Jawabku sambil mengoleskan selai strawberry di atas roti.

"Apa kau berdansa dengan seseorang? Ya ampun sayang, pasti pria itu sangat terpukau padamu" Komentar bibi Grace tertawa.

'Kau sangat cantik, Miss Alisca'

Kalimat itu terngiang lagi di benakku. Ya ampun, apa aku benar-benar menyukainya? Tapi pria itu adalah vampir!

Tiba-tiba mata ku beralih pada Valerie yang sudah berpindah ke sofa ruang tengah. Aku segera menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Hey, Val. Apa kau masih membuat penelitian soal Vampir?" Tanyaku hati-hati. Valerie melemparkan tatapan aneh kearahku. Aku tahu, aku sangat aneh menanyakan masalah ini.

"Aku hanya ingin bertanya sesuatu yang mungkin bisa menjadi bahan penelitianmu."

Valerie tertawa geli kemudian mengubah posisinya menjadi duduk bersila.

"Oke, apa itu?" Tanyanya dengan berlagak sok' paling tahu soal vampir.

"Apakah, vampir bisa memangsa vampir lainnya?" Tanyaku.

"Memangsa untuk makanan, tidak. Memangsa untuk membunuh, ya." Jawab Valerie dengan sangat tanggap. Waw. Anak ini lumayan juga. Walaupun aku sendiri tidak begitu mempercayainya.

"Memangsa untuk membunuh?"

"Ya, biasanya mereka akan saling membunuh untuk memperebutkan wilayah, kekuasaan, atau makanan. Tapi itu hanya vampir kuno. Jaman sekarang, sepertinya tidak ada vampir yang seperti itu."

Oke, seharusnya Jason tidak memiliki insting berburu padaku kan? Kecuali aku bukanlah vampir.

Sudah kubilang, aku bukan vampir. Dia yang vampir. Itulah alasannya kenapa ia berniat menghisap darahku tadi malam.

Ah sial. Kenapa aku harus menyukai pria ini?