STRANGER DANGER

Jason mengetahui keanehanku. Aku menatapnya tak percaya, kali ini aku memberanikan diri untuk menatapnya dengan kesal.

Aku baru saja mengaguminya. Aku beranjak dari sofa empuk yang nyaman ini tanpa sepatah katapun. Berusaha berjalan cepat dengan sepatu hak tinggi sialan ini menuju pintu keluar.

"Miss Alisca,"

Aku terkejut bukan main. Sungguh. Jason menarik lenganku dan menekan tubuhku ke dinding.

Punggungku terasa sedikit sakit. Namun secepatnya menghilang karena tatapan Jason yang aneh. Tatapan yang membuatku benar-benar tidak bisa bergerak.

Jason bahkan tak berkata apa-apa. Kedua matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ku artikan. Ia mencengkram kedua bahuku seolah memastikan kalau aku tidak bergerak sedikitpun.

Kemudian kepalanya mulai menunduk, terus menunduk sampai aku bisa merasakan nafasnya di leherku. Dan hidungnya menyentuh curuk leherku, rasanya sangat dingin.

Jantungku semakin berpacu dengan keras. Apa yang dilakukannya?

Kemudian, tiba-tiba saja ia menjauh. Aku sempat terkejut melihat wajahnya yang berubah sangat pucat.

Kemudian aku menutup mulutku tak percaya melihat gigi taringnya yang runcing. Sejak kapan? Ya ampun, kakiku lemas.

"Mr. William.." Suaraku pelan seolah tenggelam dikegelapan malam.

Raut wajahnya terlihat marah, dan memerah. Aku bisa melihat urat di sekitar pelipisnya.

"Miss Alisca, David akan mengantarmu pulang." Ucapnya dengan tegas tanpa menatapku lagi. Ia bahkan menjauhkan diri.

"Tidak perlu, aku-"

"Kau tidak akan bisa pulang tanpa David, Miss Alisca."

"Sebenarnya aku bersama-"

"Miss Alisca." Kali ini nadanya jelas seperti memerintah dan marah. Jujur saja aku sangat takut.

Baiklah aku tidak perlu menyahut dan segera keluar dari ruangan ini. Entah pulang dengan David atau tidak, yang terpenting adalah aku menjauh dari pria ini.

Jujur saja otakku benar-benar mau meledak. Jiwa ku terguncang. Begitu banyak pertanyaan yang ada dikepalaku.

Sambil menaiki lift, aku mencoba menelepon Rachel. Tapi tidak juga diangkat. Kemudian aku menelepon Joe. Syukurlah dia segera mengangkatnya.

"Joe, kau masih di aula?" Tanyaku begitu ia mengangkat teleponnya. Aku keluar dari lift menuju lobi hotel.

"Apa? Aku sudah pulang, Livia sayang. Aku sudah bilang kan, hanya menampakkan wajah lalu pulang." Jawab Joe sambil tertawa.

Aku mendengus kesal. Itu memang rencana kami sejak awal.

"Kenapa Liv? Apa kau baik-baik saja?"

"Ya, sekarang aku bingung akan pulang naik apa. Aku masih di sini, Joe."

"Oh sial, Liv. Aku pikir kau sudah pulang dengan Mr. William. Bagaimana bisa Liv?" Tanya Joe membuatku teringat kembali pada pria mempesona yang sangat misterius itu.

"Bagaimana bisa kau berpikir aku akan pulang bersamanya, Joe?" Tukasku kesal.

"Ya, Well, Rachel menceritakan kejadian kalian saat mengantar bunga. Dan ku pikir hubungan kalian berlanjut." Jawab Joe terkekeh tanpa merasa bersalah. Oh Tuhan, ini benar-benar menyebalkan.

"Oke, Liv, darling. Aku akan menjemputmu sekarang di sana."

"Tidak perlu Joe. Kau tidak mungkin kembali ke London. Aku akan menelepon Rachel lagi. Dia menginap disalah satu hotel ini. Sampai jumpa."

Aku mengakhiri telepon dengan Joe. Sekarang masalahnya, aku tidak mungkin mengganggu Rachel dan pacarnya. Sialan. Yang tersisa hanyalah, mobil Mercedez-Benz warna hitam yang menungguku di depan hotel dengan David yang berdiri di sisi pintu mobil sambil memerhatikanku.

Apa aku benar-benar akan diantarkan pulang? Lalu bagaimana aku mengatakannya?

"Miss Alisca," Sapanya dengan tenang dan senyum keramahan sambil membukakan pintu mobil.

"Apa.. Mr. William mengatakan sesuatu?" Tanyaku ragu-ragu. Hanya ingin memastikan saja sebenarnya.

"Ya, Miss Alisca. Mr. William memintaku untuk mengantarkanmu sampai ke rumah." Jawabnya.

"Tapi, rumahku berada di Manchester."

"Tentu, Miss Alisca."

Baiklah, tidak ada pilihan lain. Aku masuk ke dalam kursi penumpang mobil ini. Sangat lucu jika dipikir ucapan Jason tadi seolah sihir untukku.

"Kau tidak akan bisa pulang tanpa David, Miss Alisca."

Ya memang, entah itu sihir atau sebuah ramalan. Aku mulai berpikiran buruk.

Mungkin saja dia juga yang membuat Joe meninggalkanku disini, dan Rachel yang tidak mengangkat teleponku.

Itu sangat konyol. Tidak mugkin dia melakukan hal itu. Dan sekarang otakku mulai berpikir, Mr. William itu apa?

Dari taringnya yang tiba-tiba saja muncul itu jelas bahwa dia adalah seorang vampir.

Benarkah? Vampir yang hampir menyobek-nyobek leherku. Apa karena itu dia mengetahui tentangku?

Apa karena kita sama-sama vampir? Tidak mungkin aku juga seorang vampir! Aku tidak pernah berkeinginan untuk merobek leher manusia dan menyedot darahnya.

Aku juga tidak terganggu oleh sinar matahari. Aku masih bisa makan-makanan yang umum.

Dan aku tidak memiliki taring! Tunggu, apa taringku juga akan muncul kalau aku mendekati leher orang lain?

Tidak. Aku bukan vampir. Aku adalah manusia biasa yang memiliki kebiasaan aneh. Apa salahnya meminum darah hewan? Ku dengar di beberapa negara juga ada orang-orang yang mengolah darah hewan sebagai makanan. Aku pastikan tidak akan bertemu denganmu lagi Mr. William.

***

Pukul 07:30 pagi. Tubuhku rasanya sangat lemas. Aku berusaha untuk melupakan kejadian tadi malam. Malam yang indah sekaligus mengerikan.

"Liv!"

Aku terperanjat kaget saat Valerie tiba-tiba saja membuka kamarku dengan keras. Aku tidak mengerti kenapa anak ini suka sekali membuatku kaget.

"Katakan, jadi siapa yang mengantarkanmu semalam dengan mobil mewah itu?" Tanya Valerie dengan tidak sabar.

Kadang, ia sama seperti adiknya si Joshua itu. Sama-sama tidak mau menyerah dalam sebuah pertanyaan.

"Bukan siapa-siapa, Val." Jawabku berusaha tenang.

"Tidak mungkin, Liv. Pria itu bahkan membukakan pintu mobil untukmu. Kau tidak berkencan dengan pria tua itu kan?" Tanya nya penuh selidik dan tatapan menghakimi padaku.

Aku juga menyadari paman George dan bibi Grace mengintip dari balik pintu kamarku.

"Tidak, Val. Sungguh, aku tidak sedang berkencan dengan siapapun. Mobil itu.. hanya fasilitas dari Mrs. Lily." Jawabku berbohong.

Setidaknya aku yakin jawaban ini bisa menekan rasa penasarannya yang sudah meluber seperti vla vanilla di atas puding.

"Sejak kapan Mrs. Lily memberikan fasilitas mewah itu?"

Aku menghela nafas panjang kemudian keluar dari kamar menuju meja makan. Tentu saja Valerie masih mengikutiku. Grace dan George terlihat pura-pura sibuk di sini.

Sementara Joshua, aku yakin masih tidur, karena hari ini sekolahnya libur.

"Mrs. Lily meminjami mobil pacarnya, untuk mengantarku dan Rachel pulang." Jawabku sangat berharap si cerewet Valerie akan berhenti bicara.

"Oh," Jawabnya kemudian duduk disebelahku.

Syukurlah dia akhirnya berhenti.

"Bagaimana pestanya semalam, Livia?" Tanya paman George.

"Cukup menyenangkan." Jawabku sambil mengoleskan selai strawberry di atas roti.

"Apa kau berdansa dengan seseorang? Ya ampun sayang, pasti pria itu sangat terpukau padamu" Komentar bibi Grace tertawa.

'Kau sangat cantik, Miss Alisca'

Kalimat itu terngiang lagi di benakku. Ya ampun, apa aku benar-benar menyukainya? Tapi pria itu adalah vampir!

Tiba-tiba mata ku beralih pada Valerie yang sudah berpindah ke sofa ruang tengah. Aku segera menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Hey, Val. Apa kau masih membuat penelitian soal Vampir?" Tanyaku hati-hati. Valerie melemparkan tatapan aneh kearahku. Aku tahu, aku sangat aneh menanyakan masalah ini.

"Aku hanya ingin bertanya sesuatu yang mungkin bisa menjadi bahan penelitianmu."

Valerie tertawa geli kemudian mengubah posisinya menjadi duduk bersila.

"Oke, apa itu?" Tanyanya dengan berlagak sok' paling tahu soal vampir.

"Apakah, vampir bisa memangsa vampir lainnya?" Tanyaku.

"Memangsa untuk makanan, tidak. Memangsa untuk membunuh, ya." Jawab Valerie dengan sangat tanggap. Waw. Anak ini lumayan juga. Walaupun aku sendiri tidak begitu mempercayainya.

"Memangsa untuk membunuh?"

"Ya, biasanya mereka akan saling membunuh untuk memperebutkan wilayah, kekuasaan, atau makanan. Tapi itu hanya vampir kuno. Jaman sekarang, sepertinya tidak ada vampir yang seperti itu."

Oke, seharusnya Jason tidak memiliki insting berburu padaku kan? Kecuali aku bukanlah vampir.

Sudah kubilang, aku bukan vampir. Dia yang vampir. Itulah alasannya kenapa ia berniat menghisap darahku tadi malam.

Ah sial. Kenapa aku harus menyukai pria ini?

Aku menaiki bis menuju toko Lovely Lily Flowers, dengan headset yang terpasang ditelingaku, memainkan lagu Sam Smith, Dancing With Stranger.

Lagu yang menjadi favoritku akhir-akhir ini. Liriknya memang tidak terlalu terpengaruh pada liriknya.

Kecuali dibagian Dancing With Stranger. Setelah kejadian semalam, aku mulai menaruh perhatianku pada bagian lirik itu. Mengingat betapa menyenangkannya berdansa dengan orang asing yang mempesona - dalam artian sebenarnya.

Bukan hanya penampilan, tapi cara bicara, dan tingkah laku, memperlihatkan kalau dia benar-benar pria mahal. Tapi mengerikan.

Satu kata tambahan lagi, mengerikan.

Tidak ada tujuan lain baginya selain menginginkan darahku. Tapi kenapa harus aku? Apa dia makhluk tak berperasaan? Dia tidak terlihat begitu.

Tapi, aku yakin, entah sudah berapa banyak manusia yang mati akibatnya. Mungkin sekumpulan orang-orang hilang yang tidak memiliki keluarga untuk mempedulikannya?

Ah! Dia memilihku karena berpikir aku tidak punya keluarga yang akan mengkhawatirkanku atau melaporkan ke polisi saat aku tiba-tiba menghilang karenanya.

Ya ampun, Livia, pikiranmu kemana-mana.

Hari ini aku benar-benar tidak bersemangat ke tempat kerja. Tapi yah, Joe sudah menyambutku dengan senyum lebar dan seragamku - hanya berbentuk celemek berwarna merah muda.

Bahkan Rachel berdiri dibelakang Joe. Tunggu! Bukankah seharusnya hari ini ia libur?

"Livia, sweetheart!" Pekiknya membuatku terkejut akan sikapnya. Rachel jarang sekali berperilaku seperti ini.

Berseri-seri berlebihan, kecuali di momen-momen tertentu, terutama diluar tempat kerja.

Biasanya ia akan terlihat serius di tempat kerja, dan sangat profesional. Tapi hari ini, mungkin karena dia tidak memakai seragam kebangsaan kami.

"Selamat pagi," Sahutku sambil memakai celemek milikku yang sedari tadi dipegangi oleh Joe.

Aku bergerak untuk mengisi absen kedatanganku dengan kartu, dan mereka berdua masih mengikutiku. Oh Tuhan, apa lagi?

"Kau terkenal sekarang!" Seru Joe membuatku memutar mataku menatapnya.

Belum sempat aku bertanya lagi, Rachel dengan sangat semangat menyodorkan padaku ponsel miliknya.

Aku yakin aku menganga saat ini, kedua mataku tak berkedip beberapa saat. Dalam waktu kurang dari 24 jam, sudah banyak artikel yang membahas soal wanita misterius bertopeng yang berdansa dengan si konglomerat Jason J. William!

Ya ampun, satu sisi dari diriku merasa senang, tapi disisi lain sangat khawatir.

Oke, tenang Livia. Wajahmu tidak dikenali. Aku harus berterimakasih pada topeng itu.

"Itu hanya dansa biasa, kalian tahu kan? Aku rasa terlalu berlebihan kalau sampai dimuat diberita." Ucapku beralih untuk mengecek bunga-bunga yang akan diantar pagi ini.

"Ya, dan menjadi tidak biasa jika dilakukan oleh Jason J. William"

"Tepat. Apapun yang dilakukan pangeran itu akan selalu menjadi tak biasa" Lanjut Rachel menyambung pernyataan Joe barusan.

Tepat! Memang tidak biasa! Bagaimanapun dia seorang vampir. Aku ingin meneriakkan ini pada mereka berdua.

"Jadi, sampai mana hubungan kalian? Aku melihat kalian berdua keluar aula setelah dansa panas kalian. Apa kalian menyewa kamar?" Tanya Rachel dengan tak sabar. Seperti biasanya.

"Apa? Tidak!" Tukasku dengan cepat. Berdansa dengan pria asing sudah cukup melewati batasanku.

Mana mungkin aku menginap di hotel dengan pria asing juga. Dan, melakukan hal yang paling kuhindari.

"Lalu kalian kemana??" Tanya Joe terlihat sangat penasaran.

"Ke ruang kerjanya" Bisikku dengan malas. Sangat malas membahas soal ini lagi. Mengingatkan kembali tragedi menyenangkan sekaligus mengerikan itu.

"Oh Tuhan! Sudah ku bilang pria itu benar-benar hot!" Sahut Joe membuat reaksi yang sangat diluar dugaanku.

Begitu juga dengan Rachel yang menutup mulutnya dengan tatapan tak percaya ke arahku, sekaligus kaget ku rasa.

"Liv, kalian benar-benar melakukan itu di ruang kerjanya? Sial, aku harus mencobanya."

"Rachel stop, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku dan dia hanya mengobrol, dan kita tidak ada hubungan apa-apa, sungguh." Jawabku dengan tegas. Menatap mereka, memastikan kalau mereka mengerti maksudku.

"Miss Olivia Jasmine Alisca?" Tanya seorang pria bertopi hitam yang memakai kaos seragam hitam dan celana bahan berwarna krem.

"Ya," Jawabku melangkah menghampiri pria yang membawa sebuah kotak kecil.

"Kiriman paket dari Mr. William. Tolong tanda tangan di sini, Miss Alisca" Ucapnya kemudian menyodorkan sebuah papan dengan kertas.

Aku menandatanganinya kemudian pria itu memberikan kotak tersebut padaku.

Aku membuka kotak kecil berwarna silver itu dengan penasaran. Ya ampun, apa dia sangat menyukai warna perak?

Saat aku membukanya, isinya ternyata topeng perak yang tadi malam ku pakai.

Kemudian di dalamnya terdapat sebuah kartu bertuliskan.

Dear, Miss Alisca.

Aku merasa menyesal atas pertemuan terakhir kita yang sangat buruk.

Aku mungkin membuatmu sedikit tersinggung. Jika kau memiliki waktu untuk mengobrol denganku, aku akan senang jika kau mau menemuiku di kantorku.

Simpanlah benda ini, aku tidak akan membiarkanmu melupakan dansa kita tadi malam.

Jason J. William,

CEO The Larkshire Company

Aku tidak bisa menahan senyumku.

Walaupun aku tidak begitu mengerti apa maksudnya dia tidak akan membiarkanku melupakan dansa kita tadi malam.

Oh tidak, Livia, ingatlah. Dia hanya berusaha merayuku.

Lihat apa yang akan dilakukannya nanti. Dan, apa aku harus menemuinya? Lupakan. Jika dia benar-benar menyesal, seharusnya dia yang berusaha menemuiku!

"Bukankah itu topengmu tadi malam?" Tanya Rachel. Aku mengangguk untuk menjawab, kemudian membawa kotak tersebut ke dalam tasku.

"Seorang Jason J. William hanya mengirimkan topeng seperti ini?" Tanya Joe seolah tak terima. Begitu juga denganku yang tak terima ucapannya.

"Kau tidak tahu ini lebih berarti bagiku," Balasku dan Joe hanya terkekeh kemudian mencibirku.

Aku serius. Topeng ini, dan kartu ucapannya, membuatku tak bisa berhenti tersenyum. Entah karena ini yang pertama untukku, atau memang ada pengaruh lain padanya.

Baiklah, lupakan Jason. Aku tidak akan menemuinya, karena aku takut dia akan menyerangku lagi. Dan kemarin, cengkramannya sangat kuat, deru nafasnya memabukkan, dan lain waktu, mungkin aku akan sangat lemah hingga ia berhasil menghisap darahku.

"Livia, apa pesanan untuk Mr. Petter sudah siap?" Tanya Caroline, salah satu staf lainnya yang bekerja disini. Aku buru-buru tersadar dan segera menghampirinya untuk memberikan catatanku.