KEKHAWATIRAN JASON

Aku kembali membuka mataku saat pintu kamarku terbuka lagi. Dan Jason datang membawa kotak P3K.

Ia meraih tanganku, tapi aku menahannya. Jason menarik tanganku hingga membuatku meringis sedikit kesakitan, tapi selebihnya karena kaget.

Kemudian Jason membersihkan luka ku dengan alkohol dan mengolesnya dengan salep yang membuatnya terasa tak perih lagi.

Ia beralih pada kaki sebelah kiriku dan melakukan hal yang sama. Membersihkan dengan alkohol, sangat hati-hati kemudian mengolesi dengan salep.

"Aku tidak apa-apa, Jason." Bisikku pelan.

Aku terkejut bukan main saat Jason memelukku dengan erat. Dia merengkuh tubuhku, menaruh tangan kirinya di belakang kepalaku, sementara tangan kanannya melingkar di sekitar punggung atasku.

Kemudian Jason melepaskan pelukannya. Dia meraih kedua tanganku dan mencengkramnya kuat, wajahnya memerah, tatapannya lurus ke arahku.

"Jangan lakukan ini lagi, Livia." Bisiknya dengan penuh penekanan. "Aku mohon, hubungi aku kapanpun kau membutuhkanku."

Kenapa kedua mataku memanas? Aku merasa ada air di dalam mataku.

Tanganku bergerak untuk menggenggam tangan Jason. Aku tak tahu apa yang ku rasakan ini benar atau tidak. Tapi aku bisa merasakan betapa khawatirnya Jason. Aku tak peduli dia melakukannya karena takut kehilangan makanannya atau benar-benar mengkhawatirkanku.

Jason meraih tanganku yang masih menggenggam tangannya, kemudian ia mencium tanganku sangat lembut dan cukup lama. Aku bisa merasakan bibirnya yang lembut itu di kulit tanganku. Dan aku tak bisa menahan senyumku.

"Tidurlah, nanti aku akan meminta Elise untuk mengantarkanmu makanan." Ucap Jason setelah melepaskan tanganku.

"Ini sudah lewat dari jam perjanjian, apa kita tidak ke ruangan itu?" Tanyaku karena ku rasa Jason perlu untuk menghisap darahku. Walaupun sudah lewat satu jam.

"Aku tidak akan melakukannya sampai kau pulih, Livia." Bisiknya sambil memainkan beberapa helai rambutku yang menempel di sisi wajahku.

"Benarkah? Apa kau bisa?"

"Untuk itu kau harus cepat pulih, Livia." Jawab Jason tertawa pelan.

Kemudian ia mengecup keningku lagi sebelum akhirnya berjalan keluar kamarku.

Kenapa rasanya pusingku hilang? Aku malah semakin bersemangat sekarang. Yah, aku membiarkan Jason menjungkirbalikkan perasaanku lagi seperti rollercoaster.

Ah aku lupa menceritakan soal pekerjaan baruku. Apa aku harus mengatakannya? Sepertinya begitu. Lagi pula, aku meninggalkan tas dan ponselku di bawah.

Perlahan, aku berjalan keluar kamar untuk ke lantai bawah.

Dan aku mendengar suara orang lain di ruang tengah. Kalau aku tidak salah, suaranya seperti pria yang bernama Nathan itu. Langkahku semakin maju, dan aku mendengar suara seorang wanita juga.

Aku membungkuk dan berjongkok disisi tangga untuk mendengarkan percakapan mereka.

"Dia sedang beristirahat di kamarnya. Ku rasa tidur."

Aku mengintip sedikit, yang tadi itu suara Jason. Ada dua orang asing yang sedang berdiri bersama Jason.

Seorang pria yang ku yakini bernama Nathan, tubuhnya lebih tinggi sedikit dari Jason, kurus, rambutnya berwarna hitam cerah.

Sementara satunya lagi seorang wanita yang lebih pendek dari Jason. Tubuhnya ramping, rambutnya berwarna pirang yang dikepang satu. Wajahnya benar-benar cantik.

"Tenanglah, Jason. Kau tidak bisa terlalu menekannya" Ucap wanita berambut pirang itu.

"Anna, aku sudah berusaha. Tapi sore ini dia benar-benar membuatku khawatir. Jika aku lebih cepat menemukannya, mungkin dia tidak akan terluka." Tukas Jason. Dari nada suaranya dia benar-benar marah. Aku menggigit bibirku merasa bersalah lagi.

"Oh, Jason. Kau terlalu berlebihan. Sejak kapan kau menjadi orang yang mudah panik?" Nah, kali ini Nathan yang bicara. Sekarang nada suara Nathan terdengar lebih bersahabat dari sebelumnya ketika ia bertengkar dengan Jason.

"Nat, aku serius. Jika terjadi sesuatu padanya, aku akan melempar diriku sendiri ke Eternal Lake." Jason terdengar semakin marah ku rasa. Sementara dua orang lainnya malah tertawa pelan mendengarnya. Eternal Lake? Apa lagi itu?

"Hei, ponselmu menyala. Sepertinya ada panggilan telepon."

"Jas, kau ganti ponsel? Seingatku ponselmu berwarna hitam."

Oh tidak! Sepertinya itu ponselku. Pantas saja telepon dari Jason sejak tadi tidak terdengar. Aku lupa kalau aku mengaktifkan mode silent saat wawancara pekerjaan dengan Mrs. Petter tadi siang. Siapa yang meneleponku? Apa salah satu perusahaan yang aku lamar? Apa aku harus berlari ke sana? Aku malu.

"Baiklah, Jas. Karena gadismu sudah baik-baik saja, pencarian telah berakhir, jadi aku bisa kembali bertugas."

Aku mendengar Nathan mulai pamit pada Jason. Aku kembali mengintip, Nathan menepuk bahu Jason.

"Well, aku sangat ingin bertemu dengan Livia. Tapi aku mengerti kondisinya, mungkin lain kali aku akan menengoknya." Ucap Anna kemudian memeluk Jason, "Dan memberitahunya tentang kau." Lanjut Anna dengan nada mengejek.

Sebenarnya siapa dia? Ada hubungan apa mereka berdua?

Mereka berdua kemudian keluar menuju lift meninggalkan Jason. Baiklah, aku segera berjalan dengan tertatih-tatih menuruni tangga untuk mengambil ponselku.

"Oh, sudah membaik, Miss Alisca?" Tanya Jason masih memegangi ponselku.

Siapa yang meneleponku? Dan kenapa Jason terlihat tak suka?

"Ya, sudah jauh lebih baik sekarang. Dan aku.. sedikit lapar." Jawabku berbohong, karena sebenarnya perhatianku hanya tertuju pada ponselku.

Bagaimana aku bisa mendapatkan ponselku kembali?

"Apakah itu ponselku?" Tanya ku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

Jason melirik tangan kanannya yang menggenggam ponselku.

"Ya, aku sudah memeriksanya dan masih berfungsi dengan baik, Miss Alisca. Hanya saja mode silent sudah ku matikan." Jawab Jason sambil memberikan ponselku.

Nada bicaranya penuh penekanan di akhir kalimatnya, seolah membentakku yang mengaktifkan mode silent di ponselku. Ku rasa dia masih marah karena teleponnya tak kuangkat. Oke, aku harus memeriksa ponselku terlebih dahulu.

"Dan, tadi seseorang bernama Daniel, sudah meneleponmu sebanyak dua kali. Ada sms yang belum terbuka, tapi ku rasa dia menanyakan apakah kau sudah sampai rumah atau belum." Jason menatapku tajam. Kedua matanya seolah dikunci untuk hanya menatapku.

Aku menggigit bibirku kemudian mengangguk. Kenapa rasanya canggung? Memangnya kenapa kalau Jason tahu Daniel meneleponku?

Aku menaruh ponsel ku lagi ke dalam tas kemudian duduk di kursi meja makan.

Jason terlihat cemberut dan mengalihkan pandangannya dariku.

"Aku bertemu dengan Daniel tadi siang," Kataku pelan. Entah mengapa aku merasa harus menjelaskan ini pada Jason, walaupun aku tak tahu dia akan peduli atau tidak.

"Daniel, temanmu saat di SMA?"

Bagaimana dia bisa tahu? Atau, Valerie bercerita macam-macam pada Jason saat ia menjemputku pagi itu?

"Err.. ya.."

"Jadi itu yang membuatmu pulang terlambat?" Tanya Jason seolah sedang menyindir atau mengintrogasi ku.

"Secara teknik ya," Jawabku pelan. Melihat ekspresinya yang berubah dingin, aku buru-buru melanjutkan, "Tapi karena urusan pekerjaan. Maksudku, tadi siang aku interview di sebuah restoran, dan restoran itu adalah milik ibunya Daniel. Jadi, kami bertiga mengobrol."

Entah kenapa aku merasa harus menjelaskan lebih lanjut tujuanku bertemu dengan Daniel.

Jason bergerak untuk duduk di hadapanku dengan tatapan kesal. Ya ampun, kenapa lagi?

Kemudian memejamkan matanya sejenak, ia terlihat sedang mengontrol dirinya sendiri ku rasa. Ya, memang seharusnya Jason mengontrol emosinya yang berlebihan kepada apapun, termasuk aku.

"Lalu kenapa si Daniel bodoh itu tidak mengantarkanmu pulang? Kau tidak mungkin terserempet mobil." Tukas Jason sepertinya berniat sekali memarahi Daniel. Karena aku.

"Aku menolaknya." Jawabku dengan cepat. Jason kembali menatapku dan kali ini tatapannya menyiratkan keheranan.

"Aku tidak pernah nyaman diantarkan pulang oleh pria, kecuali Joe.." Lanjutku menjawab keheranannya barusan.

"Dan aku," Celetuknya dengan dingin dan angkuh.

"Ya, dan kau." Sahutku kemudian tertawa pelan. Jason meremas tanganku sebentar, kemudian ia beranjak menuju dapur, berbicara sebentar dengan Mrs. Elise kemudian kembali ke ruang makan membawa sebuah piring dan gelas berisi darah.

Perutku sangat mual. Aku sudah makan cukup banyak di restoran Mrs. Petter. Tapi jika aku menolak, Jason pasti akan memelototiku.

Ini sepertinya ikan salmon yang di grill dengan salad oil, dan dihidangkan dengan salad Thousand Island.

"Lalu?" Tanya Jason membuatku dengan bodohnya menatapnya bingung.

"Pekerjaannya?" Tanya Jason memperjelas. Aku buru-buru mengangguk pelan.

"Oh ya, aku di terima menjadi koki di sana. Jam kerjaku dari pukul 09:00 pagi sampai 05:00 sore, jika tidak ada perubahan." Jawabku berusaha tenang. Kemudian aku meraih gelasku dan menengguk habis darah yang sepertinya masih darah burung.

"Habiskan makananmu, lalu kembali istirahat. Aku masih harus mengerjakan sesuatu." Ucap Jason seperti memerintah seorang anak kecil. Begitu Jason berbalik, aku segera mengambil tissue dan memuntahkannya dari mulutku. Aku tidak suka ikan.

"Livia.."

Aku terkejut hingga aku terbatuk-batuk ditempat saat Jason tiba-tiba berbalik lagi ke arahku. Ya ampun ikan ini bahkan tak memiliki tulang, tapi kenapa aku masih harus tersedak! Aku benar-benar benci ikan!

"Kau baik-baik saja?" Tanya Jason sambil menyodorkan air minum padaku.

"Ya, aku hanya sedikit tersedak.." Jawabku pelan. Aku melirik Jason yang malah menatapku aneh. Aku buru-buru membuang tissue ke tempat sampah.

"Besok kau mulai bekerja?"tanya Jason dengan tatapan tajamnya padaku.

"Ya, pukul 09:00."

"Tidak." Sahut Jason kemudian kembali berbalik meninggalkan ruang makan. Aku berusaha mengejarnya dengan kakiku yang masih terasa perih.

"Jason!" Panggilku.

Akhirnya Jason berhenti melangkah dan menatapku yang mencoba menyusulnya.

Aku berhenti melangkah dan menatapnya dengan tatapan memohon.

"Aku sudah terlanjur janji dengan Mrs. Petter. Akan sangat tidak sopan jika tiba-tiba aku membatalkannya, kau paham kan?"

"Livia, jika kedua kaki mu patah, apa kau masih memikirkan soal kesopanan?" Sergah Jason membuatku menunduk. Dia mulai marah lagi, dan jujur saja aku takut jika melihatnya seperti ini.

Tapi kau tidak boleh lemah Livia. Jangan biarkan diktator ini menguasaimu lagi. Aku menghela nafas panjang, berusaha mengumpulkan keberanianku dan menatapnya dengan jarak sekitar 5 meter diantara kami.

"Jason.."

"Tidak ada negosiasi, Miss Alisca. Besok, atau tidak selamanya."

"Jason, ini adalah kesempatan untukku, mungkin aku tidak akan mendapatkannya lagi." Ucapku mencoba membujuknya.

"Kau memiliki banyak kesempatan, Miss Alisca." Sahut Jason dengan nada yang sangat tidak ramah. Tapi ekspresinya membuatku semakin kesal hingga aku merasa lebih berani.

"Tapi aku menginginkannya." Jawabku tegas. Dan di luar dugaan, Jason tak menyahut apa-apa lagi. Ia hanya diam sambil menatapku sebentar kemudian kembali melanjutkan langkahnya menaiki tangga.

Jantungku rasanya sudah kembali berdetak normal. Aku bisa merasakan kemarahannya. Dan aku merasa sangat bersalah atas ini.

Sebenarnya apa yang dipikirkannya? Apa yang membuatnya begitu padaku? Aku berharap dia memiliki alasan yang sangat kusus padaku. Sekarang aku mungkin tak akan bisa tidur dengan tenang.

Bagaimana menjelaskan pada Jason kalau aku sudah benar-benar baik-baik saja? Aku yakin Jason memiliki alasan lain kenapa dia khawatir berlebihan padaku.

Atau, apakah Jason mengetahui soal laki-laki berjubah hitam yang tadi mengawasiku? Tatapannya sangat tajam dan kedua bola matanya menyala.

Sejujurnya aku sempat berpikir apakah dia seorang vampir? Tapi untuk apa aku takut jika Jason saja menggigitku dan aku masih tetap hidup? Dan untuk apa Jason khawatir mengenai itu?

Aku mulai membaringkan tubuhku di atas tempat tidur dan berusaha memejamkan mata. Mungkin besok akan menjadi hari yang lebih berat. Aku harus membujuk Jason agar mengizinkanku bekerja. Aku tidak bisa terus di dalam apartemen ini dan berpikiran yang tidak-tidak.