LAKI-LAKI MISTERIUS

"Daniel?"

Daniel segera menarikku ke dalam pelukannya dengan ekspresi yang sangat antusias. Kemudian melepaskan pelukannya dengan tangan yang masih memegangi lenganku.

Aku sama antusiasnya dengan Daniel. Tapi aku merasa sedikit aneh dengan tangan Daniel yang memegangi lenganku, jadi aku buru-buru melepaskannya dan bergerak menyelipkan rambutku ke belakang telingaku berusaha mengelak.

"Aku tak menyangka kau ada di sini, Liv. Dan aku bisa bertemu denganmu." Ucap Daniel sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jeans yang dipakainya.

"Aku juga, Daniel."

"Apa kau mau minum kopi?"tanya Daniel. Kopi lagi? Aku sudah cukup kenyang dengan itu. Tapi aku tidak bisa menolak tawaran Daniel. Apalagi aku senang bertemu dengannya lagi. Aku ingin mengobrol lagi dengannya, dan Daniel terlihat tak begitu mempermasalahkan kejadian dulu, saat aku menolaknya.

Aku masih merasa tak enak dengannya.

"Ya, tentu saja, apa kau punya waktu?"

"Tentu Liv.. baiklah, bagaimana kalau cafe yang di sana?" Tanya Daniel menunjuk ke belakang tubuhku. Aku berbalik dan tak melihat lagi mobil Mercedes hitam Jason.

"Gritel Coffee Shop?" Tanyaku

"Ya."

Uggh, baiklah. Tidak ada tempat lain di sekitar sini dan aku tak tahu. Aku belum pernah tinggal di London sebelumnya.

***

Aku tak menyangka obrolan ku dan Daniel berjalan kembali seperti dulu. Dan dia menceritakan semua yang ia lakukan di London. Ia mengatakan kalau saat ini ia menjadi anggota resmi detektif di kantor kepolisian pusat. Aku tak menyangka Daniel yang dulu sangat penakut ini sekarang menjadi tim detektif kepolisian.

"Lalu, apa yang kau lakukan di London, Liv?" Tanya Daniel membuatku jadi sedikit canggung. Aku menggigit bibirku kemudian terkekeh.

"Ya, aku baru saja pindah ke London. Aku sedang mencari pekerjaan baru disini." Jawabku sedikit malu. Tentu saja, aku tidak memiliki pekerjaan sekarang. Dan bukan apa-apa. Tapi kalau aku tahu akan bertemu Daniel, mungkin aku menerima tawaran Jason dan mengatakan pada Daniel kalau aku seorang chef di hotel terkenal itu.

Well, aku tidak sungguh-sungguh. Aku tetap tidak mau bekerja di salah satu perusahaan milik pria itu.

"Oh, Liv. Apa kau masih di bidang masakan?" Tanya Daniel. Aku mengangguk ragu lalu tertawa pelan.

"Ya, begitulah. Walaupun aku tak yakin."

"Omong kosong, Liv. Memasak adalah passion mu ku rasa." Sahut Daniel tersenyum lebar. Aku tertawa mendengar pernyataannya yang tak berubah sejak dulu.

Daniel menaruh cangkir kopinya di atas meja kemudian mengubah duduknya menjadi lebih tegap. Ia menatapku serius untuk beberapa saat.

"Sebenarnya, Liv. Ibuku memiliki restoran di sekitar sini."

"Oh benarkah? Jadi tadi kau baru saja mengunjunginya?"

Daniel mengangguk kemudian menepuk kedua tangannya di hadapanku. Kemudian ia melanjutkan ucapannya yang tadi,

"Bagaimana jika kau menjadi salah satu chef di sana Liv? Jika kau ingin, aku akan mengantarmu ke sana sekarang."

Nah ini berita bagus. Kebetulan aku sudah siap dengan segala dokumen yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan.

Akhirnya aku mengikuti Daniel menuju restoran lokal milik ibunya, Mrs. Petter. Sejak ayahnya meninggal, aku ingat Daniel selalu menceritakan ibunya yang berusaha keras untuk melupakan kejadian buruk yang dialami mereka.

Dan aku juga ingat, sesuatu yang membuatku akhirnya menjauh dari Daniel. Seseorang mengatakan kalau jasad ayahnya menghilang, kemudian orang yang merupakan paranormal itu mengatakan kalau Mr. Petter meninggal karena vampir.

Saat itu, aku yang masih kebingungan dengan jati diriku, merasa menolak, tapi nyatanya aku tak bisa mengabaikan kelakuan anehku yang menyukai darah. Aku tak ingin Daniel mengetahui hal itu. Walaupun berulang kali Daniel mengatakan kalau ia tak percaya.

Jika Daniel melihatku meminum darah, entah apa yang ada dipikirannya.

Dan sekarang, bagaimana kalau dia tahu kalau aku adalah bagian dari salah satu makhluk itu.

Mrs. Petter menyambutku dengan senang hati. Dia memelukku dengan bersemangat dan menanyakan kabarku. Kemudian Daniel menjelaskan maksudnya membawaku ke sini.

"Aku senang jika kau mau bergabung disini, Livia." Ucap Mrs. Petter sambil menyodorkan segelas lemon squash yang tadi diantar oleh salah satu pelayannya. Aku tersenyum senang melihat reaksi mereka.

"Aku berterimakasih jika kau mau menerimaku, Mrs. Petter. Aku pastikan kalau aku tidak akan membuat dapurmu berantakan." Ucapku yang membuat Daniel melirik ke arahku. Dia terlihat kaget sepertinya dengan reaksiku. Aku mengerti, mungkin karena dulu, aku jarang sekali bercanda.

"Aku percaya padamu, Livia. Daniel pernah mengatakan kalau kau pandai membuat roti?"

Aku tersenyum malu sambil menundukkan kepalaku.

"Jadi, Livia. Jika kau berminat, besok pagi datanglah ke sini, jam kerjamu dari pukul 09:00 pagi sampai 05:00 sore. Dan akan bergilir jika diperlukan, bagaimana menurutmu?" Tanya Mrs. Petter.

Ini sangat luar biasa. Aku tak tahu ini sebuah kebetulan atau memang takdir, aku bisa langsung mendapatkan pekerjaan ini, dengan jam kerja yang sesuai. Jason pasti - uggh! Kenapa aku masih memikirkannya?

"Baiklah, Mrs. Petter. Terimakasih banyak.." Ucapku tersenyum antusias.

Selanjutnya aku kembali mengobrol dengan mereka berdua. Mrs. Petter menanyakan soal kabar Grace dan George. Ia juga menceritakan bagaimana Daniel keras kepala untuk mengikuti pelatihan kepolisian.

Dan aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 18:30. Ya ampun, aku lupa waktu.

"Aku harus pulang sekarang, sekali lagi terimakasih Mrs. Petter." Pamitku, dan Mrs. Petter kembali memelukku.

"Biar ku antar, Liv. Mobilku ada di sana."

"Daniel, tidak perlu repot. Aku tinggal tak jauh dari sini." Ucapku berusaha menolak dengan halus. Aku tak mungkin membiarkan Daniel mengetahui kalau aku tinggal di apartemen mewah, milik seorang vampir.

"Tak apa, Liv. Aku senang bisa mengantarmu." Jawab Daniel dengan antusias seperti biasa. Aku kembali tersenyum padanya.

"Tidak usah, Daniel. Aku ingin pergi ke suatu tempat dulu." Jawabku berbohong. Daniel sempat menatapku. Aku yakin dia ingin bertanya kemana dan dengan siapa aku pergi. Oh aku kenal sekali tatapan itu, tatapan yang selalu ia berikan sejak dulu.

Tapi aku mencoba mengabaikannya dan berjalan menjauh sambil melambaikan tanganku.

"Sampai besok, Liv!" Pekiknya hingga membuat beberapa orang di sekitar sini menoleh padanya. Aku tertawa pelan kemudian menyebrangi jalanan yang mulai familiar bagiku.

Apartemen Jason ada di tengah-tengah kota London yang besar. Aku tidak akan kesulitan untuk menemukannya. Kemudian aku merasakan seseorang sedang menatapku di sebrang jalan. Seorang pria bermantel hitam dengan topi fedora yang juga berwarna hitam.

Pria itu bertubuh besar dan tinggi.

Walaupun ia berdiri di sebrang jalan sana, aku bisa melihat kedua matanya seperti mengawasiku. Pandangannya tak lepas dariku. Ia berjalan menyebrangi jalanan dan tatapan itu semakin mendekatiku.

Tatapan dingin yang kejam di bawah cahaya lampu-lampu jalanan. Aku mengedipkan mataku untuk memastikan apakah orang itu benar-benar sedang tersenyum menyeringai ke arahku? Dan dia memiliki taring. Tenggorokanku terasa tercekat, entah karena apa.

Sebuah benturan keras menyadarkanku. Ketika suara klakson terdengar bersahut-sahutan. Sebuah mobil yang baru saja menyerempet tubuhku berhenti, dan orang-orang mulai membantuku berdiri.

"Astaga! Nona, kita perlu ke rumah sakit," Ucap seorang wanita bertubuh gempal yang mengendarai mobil tersebut. Ia terlihat panik melihat kaki dan tanganku yang berdarah.

Aku sendiri malah belum merasakan sakit, aku hanya merasa kepalaku pusing dan linglung. Aku tidak perlu ke rumah sakit. Aku harus pulang sekarang sebelum pukul 19:00.

"Aku baik-baik saja, bolehkah aku menumpang untuk pulang?" Tanyaku pada wanita itu. Lagi pula ini semua salahku yang berdiri terlalu ke pinggir jalanan. Dan ya, pria yang ku lihat tadi sudah menghilang. Kepalaku benar-benar pusing.

"Kau yakin, nona?"

"Ya, maafkan aku ma'm."

***

Pukul 19:20 malam aku sampai di apartemen. Aku berterimakasih pada wanita itu. Dan tiba-tiba saja mobil Mercedes hitam Jason berhenti di depan. David keluar dan buru-buru menghampiriku.

"Miss Alisca, kita perlu ke rumah sakit."

Oh ayolah, kulit kaki dan tanganku hanya tergores aspal. Walaupun mengeluarkan darah, setidaknya kaki ku tidak patah.

"David, aku sangat lelah. Aku akan masuk saja." Ucapku dengan tatapan memohon. Aku sedikit melirik ke belakang dan tak menemukan Jason. Apa dia sedang menungguku di dalam?

"Aku bisa jalan sendiri, David. Terimakasih." Ucapku tertawa saat David hendak menggendongku. Tidak mungkin aku membiarkan David menggendongku ke dalam. Walaupun tubuhnya tegap, tetap saja dia pria berusia 50 tahunan. Dan lagi, aku tidak nyaman di gendong.

Selama ini dalam hidupku, hanya Jason yang dengan tidak sopannya menggendongku. Dan aku menyukainya.

"Mr. William, ya, Miss Alisca sudah sampai di apartemen. Baik, sir..." Ucap David yang melaporkan kepulanganku pada Jason melalui telepon. Ya, aku seperti buronan sekarang.

Semoga saja Jason tidak sedang menyiapkan amarahnya padaku karena aku terlambat pulang.

Saat aku keluar dari lift dan memasuki apartemen Jason, Mrs. Elise langsung menghampiriku dan membawakan tas juga jaketku.

"Duduklah, Miss Alisca. Aku akan menyiapkan air hangat untukmu. Apa kau baik-baik saja?"

Aku tertawa kecil melihat Mrs. Elise yang terlihat panik melihatku. Ia menuntunku untuk duduk di sofa.

"Jason, dimana?" Tanyaku pada David yang mengambilkan kotak P3K.

"Mr. William mencari mu, Miss Alisca... selama satu setengah jam ini, dia sedang dalam perjalanan ke sini." jawab David membuatku terbelalak kaget. Jantungku rasanya melompat keluar. Benarkah Jason melakukan itu?

"Jadi, sejak tadi kau dan Jason mencariku di luar?" Tanyaku.

"Aku sudah meyakinkan Mr. William untuk menunggu saja, tapi Mr. William memaksa untuk mencari juga, Miss Alisca." Jawab David menaruh kotak P3K itu di atas meja.

Aku menggigit bibirku, kemudian bangkit untuk mengambil ponselku di tas. Ya Tuhan! Dia meneleponku 17 kali dan mengirim sms 20 kali.

Sungguh, aku harap ponselku rusak saat ini agar bisa memberikan alasan yang mungkin bisa dimaafkan.

Baiklah, aku harus membersihkan luka-luka ku dulu sebelum dia pulang.

"Apa ponselmu kehilangan fungsinya Miss Alisca? Apa kau tersesat di tengah hutan hingga tidak bisa melihat jam dan mengangkat telepon?!"

Ow, aku terlambat. Kedengarannya Jason sangat marah. Habislah kau, Livia. Perlahan, aku berbalik dan tak berani melihatnya. Apa yang harus aku lakukan? Tidak pernah ada yang marah seperti ini padaku.

"Jason, aku minta maaf.."

Jason berdiri di hadapanku. Ia mencengkram kedua bahuku. Dan aku mendongakkan kepalaku untuk melihat reaksinya. Ternyata dia sedang memerhatikanku, lalu tangan dan kakiku. Tatapannya mulai melembut. Melelehkan jiwaku yang sempat membeku karena ketakutan.

"Apa yang terjadi?" Tanyanya sambil menaruh telapak tangannya di puncak kepalaku dengan terus menatapku.

"Aku, kurang hati-hati. Dan sebuah mobil menyerempetku." Jawabku pelan. Aku benar-benar malu! Karena kecerobohanku, ini semua terjadi.

"David, siapkan mobil. Kita ke rumah sakit-"

"Jason, ku mohon. Aku tidak perlu ke rumah sakit. Aku hanya ingin istirahat." Jawabku benar-benar lelah. Kepalaku juga pusing. Dan masih sedikit ketakutan soal pria bermantel hitam itu.

Ku lihat Jason lagi, rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu. Ku harap dia tidak kembali marah. Wajahnya benar-benar berubah menjadi sangat menakutkan jika sedang marah.

"Aku minta maaf.." Bisikku lagi pelan, karena aku benar-benar merasa bersalah.

Jason kemudian berusaha menggendongku, tapi aku mundur. Dan Jason kembali memaksa menggendongku. Kali ini aku tak bisa menolaknya.

"Siapkan makan malam untuk Livia." Ucap Jason pada Mrs. Elise. Kemudian ia menggendongku menaiki tangga menuju kamarku. Ia membaringkan ku di atas tempat tidurku. Kemudian ia menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Ia melepaskan sepatuku.

"Jason aku bisa sendiri,"

Tapi Jason mengabaikannya. Dia juga tak menjawabku. Apa dia marah?

Dia berjalan keluar kamar tanpa sepatah katapun. Sementara aku menyenderkan kepalaku di bantal.

Ya ampun, aku benar-benar kacau. Dan sekarang Jason marah padaku.