Jason mengisyaratkanku untuk ikut masuk ke dalam kamarnya.
Nah! Pagi diawali dengan pria tampan sexy yang baru saja berciuman panas denganku, sekarang memintaku mengikutinya ke kamar.
Oh tidak, otakku benar-benar dipenuhi pikiran kotor karena Jason.
Aku menghela nafasku dalam-dalam. Meyakinkan tidak akan ada yang terjadi.
Aku segera mengikutinya masuk ke kamar, dia kembali mendekat, kemudian dia memberikanku sebuah salep.
"Karena kau akan berangkat kerja, kau harus memastikan lukanya cepat hilang," Ucap Jason dan aku menerima salep itu dengan kikuk, kemudian mengangguk.
Jason kembali meraih wajahku dengan satu tangannya yang atletis, mengusap bibirku dengan sangat hati-hati.
"Ini punyaku, sekarang."bisik Jason masih menaruh ibu jarinya di bibirku. "Kau tahu kan artinya, Livia?"
"Ini masih milikku, Mr. William"jawabku tersenyum. Hanya untuk menegaskan kalau dia belum mengatakan apa-apa soal hubungan kita yang tanpa status.
Jason malah tersenyum menyeringai ke arahku.
"Apa Joe pernah menyentuhnya?" Tanya Jason membuatku tertawa.
"Tentu saja tidak.
"
"Daniel?"
Oh ya ampun, kenapa menanyakan soal ini sih? Jason kau kembali menjadi orang yang menjengkelkan.
"Emm..."
"Tidak perlu di jawab, Miss Alisca, sebaiknya kau keluar kamarku karena aku ingin bersiap-siap" Tukas Jason dingin.
Wah, efek Daniel yang cukup mempengaruhi Jason. Harus ku jawab apa? Atau sebaiknya aku keluar saja sekarang?
"Joe tidak, Daniel juga tidak, selama ini hanya kau pria yang mencium bibirku."
Jason berbalik dan kembali menatapku dengan senyum mengejek. Sialan. Bajingan ini benar-benar membuatku selalu kalah telak.
"Benarkah? Aku sangat penasaran apa saja yang kau lakukan selama ini, Miss Alisca."
Aku mengangkat bahuku lemah, kemudian aku menjawab dengan nada malas, "Well, aku bersembunyi."
"Terimakasih, salepnya, Jason." Ucapku kemudian berjalan keluar dari kamar Jason.
Sungguh, wajahku pasti memerah. Aku segera menutup pintu kamarku dan melihat diriku sendiri di cermin.
Wajahku benar-benar memerah. Dan luka di bibirku, akan selalu membuatku ingat ciuman terhebat itu dengan Jason.
***
Pagi ini berjalan dengan sangat-sangat baik. Jason tidak menghisap darahku, karena dia bilang kalau aku belum pulih.
Aku mungkin akan merasa dua kali lipat lebih lelah. Setelah sarapan, Jason memaksa untuk mengantarkan ku.
Ya, aku sudah cukup senang dia sudah mengizinkan ku bekerja. Jadi aku tidak mau kita berdebat lagi hanya karena aku tidak ingin dia mengantarku ke tempat kerja.
Pintu lift tertutup, dan aku membetulkan kemeja flanel berwarna biru langit dengan celana bahan berwarna hitam. Ini hari pertamaku, dan aku sangat gugup.
"Livia, aku rasa kita perlu mengubah perjanjian." Bisik Jason yang berdiri di sebelah kananku.
"Mengubah?"
"Ya, kau bersikeras untuk tetap bekerja. Dan aku tidak bisa menahanmu, jadi, mungkin aku akan menghilangkan jadwal pagi."
Aku tercengang sebentar. Mulutku hampir terbuka untuk menanggapinya.
"Aku rasa satu kali sehari sudah cukup, Livia." Lanjut Jason mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Aku pikir apakah ini karena Jason tidak ingin aku kelelahan? Atau dia mulai tak begitu membutuhkanku lagi? Aku berharap hanya karena dia takut aku kelelahan.
"Oke." Jawabku pelan, menahan senyumku lagi.
"Sebenarnya, Mr. William. Aku masih sangat penasaran, kau itu jenis vampir apa?" Pertanyaan yang sangat membuatku frustrasi.
Jason melirik ke arahku, kemudian tersenyum geli.
"Kau menanyakan itu lagi."
Aku mengangkat bahuku dan menatapnya menagih jawaban.
"Tetap Miss Alisca yang selalu penasaran." Desahnya yang sepertinya frustrasi juga menanggapi pertanyaan ku yang sama. Kemudian ia membuka mulutnya lagi ketika lift terbuka, "Well, aku adalah vampir yang istimewa." Bisik Jason tertawa pelan, dan aku tak bisa menahan tawa geli yang tiba-tiba saja membuncah. David sempat melirik pada kami dan aku bisa melihat ia tersenyum simpul sambil membukakan pintu untuk kami.
***
Tepung, gula, susu, wah aku tak percaya akan kembali ke tempat seperti ini. Memasak untuk orang-orang yang akan membayarnya. Tentu setelah sekian lama, hal ini membuatku sangat bersemangat.
Dan aku rasa aku memiliki kekuatan lebih dari tubuhku. Melihat adonan roti ini mengembang dengan sempurna, dan mendapatkan pujian luar biasa dari Mrs. Petter membuatku melupakan sejenak semua kebingunganku dengan kehidupanku saat ini. Tentang Jason, vampir, dan tentang diriku sendiri.
Hingga aku baru menyadari, kalau aku melupakan tujuan utamaku. Aku terlalu terhanyut oleh perasaanku pada Jason.
Aku masih belum mendapatkan informasi cukup mengenai diriku, mengenai seperti apa diriku sebenarnya.
"Well, Liv. Bagaimana?" Tanya Daniel yang tiba-tiba saja berdiri di sebelahku. Aku sampai terkejut dia ada di dalam dapur.
"Daniel, bagaimana kau bisa masuk?" Tanyaku yang berusaha untuk tak terlihat begitu kaget.
"Ya, lebih tepatnya lewat pintu itu." Jawab Daniel menunjuk pintu dapur ini sambil tertawa. Ya ampun, aku tak sadar kalau ini jam kerjaku sudah habis dan restoran sudah mulai sepi.
"Sangat menyenangkan, Daniel." Jawabku sambil melepas celemek ku. Daniel terdiam sambil memperhatikan ku. Dan kali ini, aku tak mengerti arti tatapan itu.
"Kenapa?"
"Tidak, aku hanya merasa, kau sedikit berubah." Jawabnya membuatku terkejut dan cukup heran. Aku tak tahu yang dimaksudkan adalah perubahan positif atau sebaliknya.
"Berubah? Well, aku makan dan aku tumbuh Daniel." Sahutku, berusaha mengalihkan pembicaraannya.
"Bukan, Liv. Maksudku belakangan ini kau terlihat lebih.. cerah, dan bersemangat." Jawab Daniel tersenyum tulus. Jauh dilubuk hatiku, aku senang bisa bertemu Daniel lagi. Dia adalah orang yang sangat baik, dan dapat selalu mengerti situasi ku.
"Terimakasih, Dan." Sahutku tertawa kemudian memberinya isyarat kalau aku harus ke lokerku. Dia mengangguk dan mempersilakan ku.
Pukul 05:10 PM. Aku sudah mengganti seragam putih ku dengan kemeja satin berwarna biru navy yang dibelikan oleh Jason. Oh, maksudku Mrs. Elise yang membelinya, atas perintah Jason dan menggunakan uang Jason.
Saat mengeluarkan ponselku, ada dua sms dari Jason. Aku tertawa mengingat Jason mengganti namanya di ponselku dari Pangeran Menyebalkan ( Jason ) menjadi Pangeran Mempesona (Jason). Dia melakukannya saat ia memeriksa ponselku waktu Daniel meneleponku.
Dia tidak hanya mematikan mode silent di ponselku ternyata. Well, aku tidak keberatan jadi ku biarkan nama itu.
Dari : Pangeran Mempesona (Jason)
Apa kau sudah makan siang? Jangan lupa minum vitamin yang sudah dibawakan Mrs. Elise.
Jangan abaikan pesanku!
Aku tertawa pelan membaca pesan dari Jason yang ini. Tiba-tiba dia seperti seorang anak kecil.
Kemudian aku membaca sms yang kedua.
Dari: Pangeran Mempesona (Jason)
Apa pekerjaanmu membuatmu tak bisa memegang ponsel seharian? Kalau iya, segera hubungi aku jika sudah selesai.
Kau tahu apa yang terjadi saat aku khawatir, Miss Alisca.
Aku mengulum senyumku lagi. Ya ampun, memang menyebalkan tidak mengobrol dengannya seharian ini.
Untuk: Pangeran Mempesona ( Jason )
Mr. William aku sangat menyesal mengatakan kalau tempatku bekerja memang tidak memungkinkan untukku menggunakan ponsel.
Sekarang aku sudah selesai dan akan pulang ke apartemen.
Aku menekan opsi kirim dengan tak sabar menunggu balasan darinya. Kurang dari satu menit, dia kembali membalas sms-ku.
Dari: Pangeran Mempesona ( Jason )
Tunggu aku 15 menit lagi, aku akan menjemputmu.
Apa? Dia mau menjemput ku? Oh tidak. Daniel dan Mrs. Parker masih ada di sini. Apa yang akan mereka pikirkan kalau aku dijemput oleh mobil mewah dan pria. Aku merasa sedikit, tak enak.
Untuk: Pangeran Mempesona (Jason)
Apa kau perlu menjemput ku? Aku rasa aku bisa pulang sendiri.
Aku serius.
Kemudian Jason kembali membalas sms ku.
Dari: Pangeran Mempesona ( Jason )
Tentu aku perlu menjemputmu, Livia. Mengingat kau tidak pernah nyaman diantar pulang oleh pria lain. Dan aku tak mudah mempercayai orang, kau tahu kan?
Aku serius.
Keras kepala, arogan, menyebalkan. Dan anehnya aku masih menyukainya. Ku rasa dia menaruh semacam sihir padaku.
Aku merapikan kunciran rambutku dan memakai sedikit parfum. Kemudian aku berhenti sejenak untuk menghela nafas panjang.
Uh, Livia, kau harus tetap fokus untuk memperoleh informasi lagi.
Kemudian aku memakai sepatu kets warna putihku dan berjalan keluar membawa tas kecilku.
Saat aku keluar, aku melihat Daniel dan Mrs. Petter sepertinya sedangan memperdebatkan sesuatu.
"Ibu, cukup. Kasus ini tidak ada hubungannya dengan kita. Kita sudah membicarakan ini berulang kali" Daniel terlihat berusaha mengontrol emosinya. Ada penekanan disetiap kalimatnya. Dan aku melirik Mrs. Petter yang gelisah.
"Daniel, jika kau tak bisa menemukan, maka hal seperti ini akan terus terjadi. Aku mendukungmu dengan profesi ini karena ayahmu-"
"Ibu! Cukup."
Ku rasa mereka membuat Aline, salah satu kasir di sini terkejut. Dan karena di restoran ini sedang tidak ada pelanggan, jadi ku rasa hal itu tak membuat ibu dan anak itu terganggu. Kecuali saat mereka menyadari keberadaan ku.
Mrs. Petter terlihat salah tingkah begitu juga dengan Daniel yang bergerak mengambil minuman. Kemudian Mrs. Petter tersenyum dan segera menghampiriku.
"Hari ini luar biasa, Livia. Setidaknya ada 10 pelanggan yang menambahkan pesanan take away untuk dessert mu." Puji Mrs. Petter lagi dan lagi. Aku tersenyum senang. Awal yang bagus untukku. Mungkin walaupun tak berhasil menjadi penulis, aku memang harus berada di jalur ini. Sebagai seorang tukang masak yang akan memiliki banyak koneksi karena kehebatan ku.
"Apa kau memerlukan ku untuk lembur? Jika tidak, aku akan pulang Mrs. Petter." Ucapku tersenyum.
"Oh tidak-tidak, Livia. Ini memang sudah waktunya kau pulang. Ku harap kau besok masih datang ke sini." Ucapnya dengan sangat ramah.
"Tentu saja, Mrs. Petter." Jawabku membalas senyum keramahannya.
"Ayo, Liv.." Daniel berjalan keluar setelah mengatakan kalimat ajakan itu padaku. Apa dia berniat mengajakku pulang?
"Apa kalian baik-baik saja?" Tanyaku pada Daniel begitu kita berdua berada di luar. Aku bukan orang yang suka ikut campur urusan orang. Tapi aku sedikit khawatir dengan pertengkaran ibu dan anak yang selama ini menjalin hubungan sangat baik seperti Daniel dan Mrs. Petter.
Daniel berbalik ke arahku dan menghela nafas pelan.
"Hanya sedikit permasalahan konyol." Jawab Daniel pelan.
Aku menganggukkan kepalaku, mencoba untuk memahaminya.
"Seorang pria meninggal kemarin malam dengan kondisi yang lumayan mengerikan, ibuku mendengar beritanya dan mengatakan kalau.." Daniel menahan nafasnya kemudian menoleh menatapku. "Kejadiannya persis seperti ayahku, dan bersikeras kalau ini disebabkan oleh.. vampir."
Mrs. Petter benar-benar mempercayai peramal yang mengatakan kalau suaminya meninggal karena vampir.
Alam bawah sadarku seolah menamparku, menyadarkan ku bahwa vampir tidaklah sesempurna yang ku pikirkan, tak mempesona. Mereka pembunuh, pemburu manusia.
Bagaimana dengan Jason? Dan keluarganya? Apakah aku memiliki kemungkinan melakukan hal ini suatu saat? Apa aku mungkin saja menjadi pemburu manusia?
"Hei," Suara Jason tiba-tiba saja menyadarkanku. Aku melirik Daniel yang terlihat kaget melihat Jason berdiri di sebelahku.
"Oh, Jason. Kenalkan, ini Daniel. Temanku," Ucapku memperkenalkan Daniel. Kemudian aku melanjutkan,
"Dan Daniel. Kenalkan, ini Jason.. temanku juga."
Daniel mengulurkan tangannya dengan pandangan yang tak lepas dari Jason. Begitu juga Jason. Entah hanya perasaanku saja, tapi berdiri di antara dua pria ini dan melihat mereka saling menatap dingin, rasanya sangat menyebalkan.