"Senang bertemu denganmu, Daniel." Ucap Jason tanpa membalas uluran tangan Daniel. Kemudian ia menarik lenganku.
"Sampai nanti, Dan." Ucapku sebelum Jason benar-benar mendesakku untuk masuk ke dalam mobil. Dan hal ini membuatku sangat marah.
Kenapa sekarang rasanya aku seperti miliknya? Dan kenapa Jason selalu begini kepada teman-temanku? Aku benar-benar merasa bersalah pada Daniel atas sikap Jason.
"Jadi apa dia berusaha mengantarmu pulang?" Tanya Jason tanpa basa-basi seperti biasa. Dan dia tak terlihat merasa bersalah atas ketidakramahannya.
"Ya."
"Dia terlihat cukup berani,"
"Jason, dia temanku!" Sahutku kesal. Kenapa dia menjadi sangat menyebalkan lagi?
Aku menghela nafas panjang, dan aku tahu Jason masih memperhatikanku.
"Kau marah padaku?" Tanya Jason ketika kami memasuki lift apartemen yang sepi. Aku tak menjawab dan mencoba untuk mengontrol diriku.
"Livia, aku hanya heran kenapa kau begitu senang mengobrol dengannya."
"Karena dia temanku, Jason. Dia teman sekolahku. Dan dia tidak menyebalkan sepertimu"sergahku dan syukurlah lift ini sudah sampai di unit Jason.
"Aku menyebalkan? Maaf, Miss Alisca?" Tanya Jason berdiri di hadapanku.
"Ya."
"Well, aku menyebalkan dibanding pria brengsek yang hanya memikirkanmu telanjang di hadapannya?"
Oh Tuhan! Aku benar-benar tak habis pikir dengan Jason. Dia benar-benar keluar batas.
Aku mendorongnya minggir dan berjalan menaiki tangga. Tapi Jason kembali menahan tanganku.
"Livia, kau tidak mengerti,"
"Karena kau tidak pernah menjelaskan apa-apa padaku, Jason. Kau berulang kali menahanku untuk ini, mengaturku, semuanya, dan aku berusaha mengerti." Ucapku protes. Seolah pikiran kacau ini sudah meledak sore ini.
Jason terdiam sementara tangan kanannya mengacak rambutnya pelan. Kemudian ia duduk di tangga, kelihatan frustrasi.
Oke aku tak bisa melihatnya seperti ini. Aku akan memaksanya mengatakan sesuatu yang bisa ku mengerti.
"Jason.. jelaskan padaku, agar aku bisa mengerti." bisikku pelan sambil duduk di sebelahnya. Ia melirik ke arahku, kemudian ia memutar duduknya menghadapku.
"Kau mungkin akan memandang jijik padaku, jika kau mengetahuinya." Bisik Jason. Masih ada sisa-sisa kemarahan di matanya. Dan ia terlihat berusaha menyingkirkannya.
"Omong kosong, Jason. Kau tahu aku tak akan pernah begitu." Sahutku berusaha meyakinkan. Walaupun disisi lain, aku juga gugup atas penjelasannya, yang mungkin saja membuatku benar-benar jijik. Lalu Jason terlihat kembali menahan nafasnya dan menghembuskannya pelan dan teratur.
"Aku bisa tahu apa yang dipikirkan orang lain, Livia."bisiknya dengan suara yang sangat pelan. Sementara aku tenggelam dalam pikiranku untuk sejenak. Mengetahui pikiran orang lain? Apa dia seorang ahli psikologi? Bisa membaca orang dengan gerakan tubuh, lirikan mata, atau cara bicara?
"Membaca pikiran orang lain?"
"Benar-benar membaca pikiran orang, Livia. Seperti saat aku bertemu orang baru dan aku bisa tahu dia sedang berpikir akan makan siang dimana." Jawab Jason menjelaskan.
Aku menutup mulutku tak percaya, kaget, dan kacau. Dia benar-benar bisa membaca pikiran? Selama ini, aku selalu memikirkannya dan bahkan beberapa kali aku memiliki pikiran kotor dengannya. Ini gila! Tiba-tiba tenggorokkan kering, aku sulit menelan salivaku sendiri.
"Kau juga membaca pikiranku?" Tanyaku dengan hati-hati. Aku gugup dan rasanya aku akan bersiap kabur.
"Dari reaksimu, sepertinya kau memiliki pikiran buruk tentangku." Bisik Jason dengan tatapan tajam menyelidik ke arahku. Baiklah, dia bilang 'sepertinya' dan itu artinya, dia tak membaca pikiranku.
"Oke jadi, kau membaca pikiran Daniel juga?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan secepat mungkin. Dan aku masih agak terganggu dengan pernyataannya tadi mengenai Daniel.
"Ya. Si brengsek itu, sangat menginginkanmu. Apa kau pernah membuka semua pakaianmu di depannya?"
"Apa? Jason! Tentu saja tidak!" Sergahku dengan kesal. Kenapa pria ini selalu tanpa basa-basi? Selalu tak pernah bisa mengatakan lebih lembut atau sedikit sopan.
"Livia, dia membayangkanmu dengan sangat jelas. Otaknya benar-benar liar." Gerutu Jason menggeretakkan giginya, kemudian ia melanjutkan sambil memandangku tajam. "Kau seharusnya bersyukur, aku tidak membunuhnya saat itu juga."
"Dan kenapa kau harus melakukan itu Mr. William?"
Lagi-lagi Jason terdiam. Dan ia terlihat lucu saat kehabisan kata-kata. Rasa marahku hilang begitu saja, dan aku berusaha menahan tawaku.
"Apa kau sedang mengejekku, Miss Alisca?"
Oh baiklah, aku tak bisa menahan tawaku melihatnya kesal.
Aku buru-buru menggelengkan kepalaku.
"Ayo," Bisiknya sambil beranjak dan meraih tanganku untuk ikut bangun, "Aku ingin memakanmu." Lanjutnya sambil menggandengku ke ruangan khusus.
"Jason, kenapa kau bisa mengontrol darah yang kau hisap? Kebanyakan vampir tidak akan berhenti menghisap darah korbannya sampai mati." Tanyaku saat Jason mengikat kedua tanganku dengan tali.
Jason tak menanggapiku. Ia masih membungkuk di hadapanku sambil mengikat tali di tanganku.
"Karena aku sudah terlatih, Livia." Jawabnya singkat tanpa ekspresi apa-apa. Kemudian ia berjalan ke belakangku, menaikkan kursiku.
"Terlatih? Kau bilang belum pernah melakukan ini sebelumnya?"
"Aku bilang aku tak pernah melakukan ini sebelumnya pada seorang vampir berdarah campuran." Bisiknya sambil mengikat kain penutup mataku.
Tangannya menurunkan kemeja sisi sebelah kananku dari bahu. Kemudian ia kembali berbisik padaku, "Aku melatih diriku sendiri untuk bisa mengontrol diri dalam segala hal."
"Tapi kau tetap membiarkan mereka mati." Sahutku pelan.
"Mereka tidak sepenuhnya mati, Livia. Mereka yang menjadi mangsaku, berubah menjadi vampir dan hidup abadi." Bisik Jason mulai menghirup leherku lagi. Aku merasakan jari-jari tangannya menyusuri leherku hingga ke bahu. Bergerak lembut seperti mencekikku.
Tapi aku malah memejamkan mataku. Aku menggigit bibirku yang masih sedikit perih.
Tanganku mengepal dengan kuat. Dan Jason menarik kepalaku dengan perlahan ke belakang. Menempatkan taringnya di leherku, dan perlahan menusuknya. Aku tak bisa menahan jeritanku karena rasa sakit dan juga kaget. Tubuhku membeku saat merasakan Jason menyedot darahku. Jari-jarinya masih mengelilingi leherku.
Aku hampir tak bisa bernafas. Dan tanganku tak bisa ku tahan untuk lepas. Tali sialan ini membatasi pergerakanku.
Oke Livia berpikir jernih, dia akan merobek lehermu dengan taringnya jika kau terlalu banyak bergerak.
Sebentar lagi Livia, ayo tahan.
Kau bisa melakukan ini sebelumnya.
Alarm berbunyi. Aku kembali berusaha menahan sakit ketika taringnya di tarik keluar.
Ya ampun. Aku tak menyangka bisa menahan ini semua. Di saat orang lain mati saat berada di posisiku.
Jason membuka ikatan penutup di mataku, kemudian tali di tanganku.
Lalu ia berbisik pelan, "Livia, boleh aku menciummu?"
Oh my! Jason.. aku terlalu lemas untuk tertawa. Sungguh.
"Kenapa kau bertanya?"
"Karena bibir itu bukan milikku."
"Tapi masih spot yang ku izinkan Jason, kau lupa?"
Samar, aku melihatnya tersenyum geli. Dan itu menular padaku. Aku malu, tapi aku memang menginginkan ciumannya juga.
Lalu ia membungkuk lagi, menaruh kedua tangannya di tumpuan kursiku sementara wajahnya menggapaiku.
Aku kembali merasakan bibir lembutnya di bibirku.
Kali ini gerakannya benar-benar lembut dan ia terasa sangat hati-hati melumatnya.
Tanganku tak bisa ku tahan untuk meraih wajahnya. Bergerak ke belakang lehernya dan meremas rambut coklat keemasannya. Akhirnya! Rambut ini bisa ku pegang saat ini.
Dan bunyi ponsel sialan Jason menghentikannya. Ya ampun kenapa aku merasa seperti ini?
"Kau bisa jalan?"bisiknya.
Dan aku mengangguk. "Tentu saja aku bisa." Jawabku pelan.
"Oke, kalau begitu istirahat ke kamarmu. Temui aku saat makan malam." Bisiknya kemudian mengecup pipiku. Ia meraih ponselnya dan menjawab panggilan telepon itu.
"Ya, Lucy.. masalah? .. baiklah, hubungi Mrs. Jane. Jika perlu kita adakan meeting.."
Jason berjalan ke pintu keluar dengan ponselnya yang ada di telinga.
Kemudian ia menoleh lagi padaku, memberi tatapan seolah mengatakan 'cepat bangun dan beristirahat di kamarmu!' walaupun bibirnya masih menanggapi suara diteleponnya. Dan anehnya aku langsung bergerak untuk berdiri.
Jason akhirnya keluar ruangan sementara aku merasa sedikit linglung, kenapa sekarang tubuhku bergerak atas perintah si diktator itu? Baiklah, aku harus istirahat sebentar di kamar. Walaupun sebenarnya aku sudah tak sabar menanyakan banyak hal pada Jason.
Sebenarnya, jika dia mau merekomendasikan buku padaku soal vampir berdarah campuran, aku tak perlu menanyakan banyak hal padanya.
***
Aku berdiri lagi di sisi jalan ini. Menatap pria bermantel hitam yang masih menatapku. Entah kenapa kali ini aku mulai takut padanya.
Kemudian, aku menyadari jalanan di St. Marryn telah berubah menjadi daratan bersalju di tengah-tengah hutan. Aku melirik ke kanan semuanya pohon-pohon pinus yang tinggi, ketika aku melirik ke kiri, aku melihat sebuah danau ditengah-tengah hamparan salju.
Danau itu tak membeku sama sekali. Ini adalah tempat yang sangat asing bagiku. Aku kembali menatap pria bermantel hitam itu. Kedua matanya kini menyala merah dan bibirnya kembali tersenyum menyeringai.
Kali ini, ia tak berdiri sendiri. Ada beberapa orang yang berdiri dibelakangnya. Laki-laki, perempuan, anak kecil, mereka semua menunduk.
Pria bermantel hitam itu meneriakkan sesuatu yang tak kumengerti. Namun orang-orang di belakangnya praktis bersimpuh dan berjalan pelan-pelan menuju danau tersebut.
Pemandangan sangat mengerikan. Siapa pria bermantel hitam itu? Siapa orang-orang yang terlihat begitu patuh padanya?
Aku terbangun lagi di kamarku. Tepat pukul 08:00 pm. Ya ampun, Livia, kenapa kau memimpikan orang itu berkali-kali? Dan itu sangat menyeramkan.