Aku berjalan ke kamar mandi dan mengganti bajuku, masih terpikirkan mengenai mimpi yang terus menggangguku. Kemudian keluar dari kamar menuju ruang makan. Di sana masih ada Mrs. Elise yang menata meja makan. Aku pun segera menghampirinya.
Berharap bisa membantunya sesuatu.
Aku sebenarnya ingin menanyakan sesuatu. Tapi sangat sulit mengatakan ini pada Mrs. Elise.
Mrs. Elise telah selesai menata makanannya sementara aku kembali ke meja makan dengan satu gelas teh hangat.
Aku benar-benar penasaran dengan mimpi aneh itu. Apa itu semua hanya efek dari pikiran burukku saja? Otakku benar-benar kacau. Dibanding mencari tahu semua ini, ku rasa aku perlu berlibur.
"Kau terlihat tidak lapar, Miss Alisca." Ucap Jason menghampiriku di meja makan.
"Memang." Jawabku singkat. Kemudian menghela nafas panjang.
Baru saja aku akan mengatakan tujuanku, si diktator tampan ini sudah lebih dulu bersuara.
"Aku hanya akan menjawab pertanyaan setelah makan malam,"
Nah, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia memang seenaknya. Baiklah aku akan menunggunya selesai makan.
"Maksudku, kau juga harus makan, Miss Alisca."
Oh God, aku bahkan tak menyadari ia berpindah duduk di sebelahku. Cepat sekali pergerakannya. Jason menyodorkan piring berisi steak dihadapan ku.
"Apa kau punya masalah dengan orang yang tak mau makan?" Tanyaku sebal. Dia berlebihan dan seenaknya.
"Tidak, aku bermasalah dengan orang yang hanya menungguku makan, tapi tidak makan." Jawabnya dengan tegas.
Aku mulai meraih pisau dan garpu tanpa melirik ke arahnya. Satu potong steak berhasil masuk ke dalam mulutku. Dan aku mulai berani meliriknya. Sial. Dia sedang memerhatikanku sambil menumpu sikunya di atas meja dan menyenderkan kepala di tangan.
Aku mengambil satu potongan daging lagi dengan garpuku. Menyodorkannya padanya. Ia terlihat bingung melihatnya.
"Buka mulutmu," Ucapku. Dan aku berusaha menahan tawaku sekuat tenaga. Lebih anehnya lagi, Jason membuka mulutnya. Tadinya aku ingin mengerjainya.
Tapi dia lebih cepat menarik lengan ku dan memakan daging di garpuku. Dan aku tetap tak bisa menahan tawaku meskipun gagal mengerjainya.
Senang juga rasanya melihatnya tertawa. Benar-benar tertawa senang, seperti orang pada umumnya.
"Jason, kau bisa membaca pikiranku." Ini bukan pertanyaan, ini sebuah pernyataan yang ku simpulkan dari beberapa kejadian sejak awal pertemuanku dengan Jason.
"Tidak, Livia." Jawabnya sambil mengalihkan pandanganya pada piringnya sendiri.
Sementara aku malah menatapnya mencoba mengerti maksudnya. Dia terlihat ragu dengan ucapannya sendiri.
"Kau pikir aku mungkin akan marah dengan fakta ini. Ya, aku memang marah dan sedikit tidak nyaman, Jason. Tapi aku tidak bisa mengubahnya, kau juga." Ucapku yang kembali mengalihkan perhatianku pada piringku juga. Aku hanya ingin memastikan itu saja. Dan aku berharap Jason mau jujur.
"Baiklah, kadang, aku bisa membaca pikiranmu. Tapi itu sangat sulit, sangat.. rumit. Dan aku sering gagal."
Aku menatapnya tak percaya. Sering gagal? Jadi dia berusaha membaca pikiranku? Kenapa?
"Baiklah, lupakan. Kita mulai sesi tanya jawabnya" bisik Jason sambil berjalan meninggalkan meja makan menuju sofa.
Aku berjalan mengikutinya menuju sofa. Dan berusaha tenang. Baiklah, dia kadang bisa membaca pikiranku. Aku harus berhati-hati dan tetap berpikir kalau pikiranku adalah milikku,tidak ada yang bisa mengambilnya dariku.
"Jason, aku adalah vampir berdarah campuran. Apa aku memiliki insting berburu juga pada manusia?" Tanya ku.
Ini pertanyaan yang sangat menakutkan bagiku. Dan dari ekspresi Jason yang siap menjawab, aku semakin takut.
"Ya," Jawabnya membuatku menyesal menanyakannya. Sial. Kemudian ia tersenyum geli ke arahku, ku rasa setelah melihat ekspresiku, kemudian ia melanjutkan, "Kalian memiliki rasa haus pada darah manusia. Tapi tidak sebesar pureblood. Kebanyakan dari kalian masih bisa mengontrolnya."
Ya. Tentu aku bisa mengontrolnya mengingat selama ini aku berusaha keras menahan diriku yang ingin memakan Jason. Aku pernah merasa sangat menginginkan darah manusia saat usiaku 10 tahun. Dan itu mengerikan.
"Kau pernah merasakannya, Livia?"
"Ya. Saat usiaku 10 tahun. Dan itu sangat mengerikan. Teman ku sampai harus mengikuti terapi karena ketakutan." Jawabku merasa malu dengan diriku sendiri. Dan kali ini Jason tertawa lagi. Lebih tepatnya menertawaiku sepertinya.
"Lalu, apakah aku memiliki gigi taring yang akan muncul di saat-saat tertentu?"
"Tidak, Livia. Kau tidak akan memiliki taring" Jawab Jason dengan tenang.
Lalu bagaimana aku bisa meminum darah manusia? Maksudku, moxy ku nanti.
"Apa kelebihan yang dimiliki vampir berdarah campuran?"nyaku dan ku rasa itu membuatnya terkejut.
"Mereka, mudah berbaur dimanapun. Cerdas, sulit ditebak. Beberapa di antara mereka.. bisa membunuh vampir pureblood"
Apa maksudnya beberapa di antara kami bisa membunuh pureblood? Aku semakin tertarik.
"Hanya beberapa?"
"Ya, mengingat kekuatan pureblood berkali-kali lipat dari vampir berdarah campuran. Maka sangat sulit dikalahkan."
Baiklah, aku bisa terima. Itu masuk akal, walaupun sangat mengerikan dan tidak adil. Tentu saja! Saat aku akan mengajukan pertanyaan lagi, Jason memperlihatkan layar ponselnya yang menunjukkan stopwatch sudah melebihi 15 menit. Oh tidak, jangan berakhir.
"Aku ingin memainkan sebuah game, Jason. Apa kau memiliki waktu?" Tanyaku.
Sebelum Jason menjawabnya, kami berdua dikejutkan oleh kedatangan dua orang yang pernah ku lihat ini yang tiba-tiba saja ada di ruang tamu. Anna dan Nathan. Yap, mereka adalah vampir, tentu bisa masuk kemanapun tanpa diketahui orang-orang.
"Oh, hai. Aku tidak tahu kalian sedang mengobrol."ucap Nathan, sepertinya dia sedang meledek ke arah Jason. Aku tak mengerti.
"Livia, kenalkan ini Nathaniel, saudara laki-lakiku" Ucap Jason mengenalkan pria bernama Nathan ini padaku. Nathan segera mengulurkan tangannya padaku dengan senyum memikatnya. "Hai, Livia.." Ucap Nathan.
"Hai.."balasku berusaha menyadarkan diriku yang masih kaget.
"Dan ini, Anna. Saudara perempuanku." Lanjut Jason mengenalkan wanita cantik yang ternyata adalah saudara perempuannya. Ya ampun jelas mereka semua bersaudara. Semuanya terlihat mempesona dan mengagumkan.
"Hai, Liv. Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu."Sapa Anna sambil memelukku hangat. Wah, aku tak menyangka akan mendapatkan sambutan hangat dari dua makhluk dingin ini.
"Oke, Jason, maaf merusak rencanamu. Tapi ini sangat mendesak"ucap Anna membuatku mengerutkan dahi heran. Rencana apa yang dirusaknya?
"Jason memiliki rencana makan malam keluarga dan mengenalkan mu pada kami, Liv." Lanjut Nathan sepertinya menyadari ekspresi bingungku. Atau mungkin dia membaca pikiranku. Itu lebih buruk!
Aku baru saja akan menyahut, tiba-tiba saja ponselku berdering.
"Aku permisi," Ucapku meminta izin. Dan ku rasa ini saat yang tepat untuk pergi. Karena sepertinya mereka ingin membicarakan sesuatu yang bersifat privat. Aku berjalan menaiki tangga dan mengangkat teleponku. Ternyata dari bibi Grace.
"Livia, sweetheart. Bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja?" Tanya bibi Grace. Oh ya ampun, aku belum mengabarinya sejak kemarin. Aku benar-benar lupa.
"Ya, bibi tentu saja. Maaf aku belum bisa mengabarimu." Jawabku menyesal. Tentu saja ia akan sangat khawatir padaku. Aku menggigit bibirku kemudian mengintip mereka bertiga dari lantai atas. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, suara mereka sangat pelan.
Tapi jika ku perhatikan, Anna dan Nathan memiliki tubuh yang kurus dan sangat pucat. Mereka juga memiliki bola mata berwarna orange keemasan. Apa itu hanya lensa kontak? Dan mereka memakai warna yang sama? Lucu sekali. Dan mereka terlihat sangat muda, semua vampir memiliki wajah usia akhir 20-an ku rasa. Dan tak akan berubah walaupun sudah 100 tahun mereka berada di bumi.
Kemudian aku rasa mereka membicarakan hal yang serius.
"Livia kau masih di sana?" Tanya bibi Grace. Ya ampun aku lupa masih bertelepon dengan bibi Grace. Livia kau benar-benar!
"Ya, Aku masih disini."
"Jadi kapan kau akan berkunjung ke sini?"
"Oh, ya hari minggu ini aku akan ke sana. Aku juga memiliki janji dengan Joe dan Rachel." Jawabku dengan cepat. Kebetulan hari liburku hanya itu untuk minggu ini.
"Baiklah, kabari aku lagi, Liv. Kau tahu aku selalu khawatir." Ucap bibi Grace kembali membuatku merasa bersalah.
"Iya, tentu."
"Okay, Liv. Sampai nanti.. aku menyayangimu"
"Ya, Grace, Aku juga menyayangimu."
Lalu sambungan telepon pun berakhir.
Aku mencoba kembali menghampiri mereka. Namun langkahku terhenti di tangga saat mendengar dengan jelas suara Nathan.
Aku tak tahu mungkin ini salah satu kelebihanku, pendengaran yang tajam. Aku mendengar Nathan menyentak, "Serius? Apa Livia tidak mengatakan apa-apa padamu? Ini sudah gawat!"
Apa yang haru ku katakan pada Jason memangnya?
Sekarang aku melihat raut wajah Jason yang memerah, ia terlihat marah. Tapi kenapa?
"Nathan, tenanglah. Ku rasa Jason belum memberitahu Livia soal vampir berdarah campuran," Sahut Anna.
Ya ampun apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Kenapa membawa namaku dan mereka terlihat sangat serius.
Aku mendengar suara Jason akhirnya.
"Aku sudah memberitahunya. Tapi tidak sepenuhnya" Jawab Jason pelan.
"Jason, kau yang membawanya ke sini. Jika kau memang peduli, sebaiknya kau biarkan Livia pergi."
"Aku tidak bisa." Itu ucapan Jason yang tak ku mengerti.
"Kenapa? Kau tidak membutuhkan darahnya lagi. Jika kau terus begini, suatu saat dia mungkin akan berpikir kalau kau menahannya-"
"Berhenti." Ucap Anna membuat mereka bertiga tak ada satupun yang berbicara. Dan aku baru menyadari, Anna sudah berdiri di hadapanku dengan wajah khawatir.