"Livia.."
"Aku minta maaf," Ucapku buru-buru berlari ke kamar dan menguncinya.
Selama ini aku merasa bodoh. Aku pikir aku akan mendapatkan informasi banyak darinya. Dan aku terlalu mempercayai Jason.
Padahal sebelumnya aku tak pernah mempercayai siapapun. Sekarang, aku yakin Jason memang tidak ingin memberitahuku. Walaupun mungkin aku akan selalu dalam bahaya. Dia adalah pria egois, arogan, dan tidak berperasaan. Selama ini dia hanya mementingkan kepentingannya. Tidak kepentingan ku sama sekali.
"Livia.." Aku mendengar Jason menggedor pintuku. Dan aku tak menyahut sama sekali.
Aku terkejut saat Jason merusak pintu kamar dengan tangannya. Dasar pureblood yang angkuh! Aku berjalan menuju kamar mandi dan menguncinya, lagi-lagi mengabaikan panggilannya.
"Jason, beri dia waktu sebentar. Kau tidak bisa begini." Itu suara Anna. Dan aku bersyukur masih ada yang waras disini. Aku tahu Jason marah, atau khawatir, aku tak tahu mana yang lebih dominan. Tapi aku juga marah.
Sangat marah pada diriku sendiri yang mempercayai orang ini.
Dia memanfaatkan aku yang tak tahu apa-apa tentang diriku. Sampai sekarang pun aku tak tahu. Dan dia tak membutuhkan darahku lagi, kenapa? Lalu dia menahan ku disini tanpa memberikanku penjelasan apa-apa.
Jika ini bukan malam hari, aku pasti sudah kabur dari sini. Entah kemana saja. Walaupun sebenarnya aku tak ingin.
Ini benar-benar di luar dugaanku. Dan aku takut, selama ini Jason menahanku karena kepentingannya juga.
Dia seorang pureblood. Apa yang akan dilakukan seorang pureblood menahan seorang vampir berdarah campuran?
Otakku benar-benar dipenuhi pertanyaan-pertanyaan bodoh ini hingga tanpa sadar aku menangis. Selama hidupku, rasanya aku tak pernah menangis. Besok aku harus cepat-cepat pergi ke tempat kerja tanpa menghiraukannya.
Dan semoga saja dia mengikuti saran Anna untuk memberiku waktu berpikir. Walaupun aku tak tahu apa aku harus tetap disini, atau sebaiknya aku pergi dan tak akan kembali.
***
Jam alarm ku berbunyi pukul 06:00 tepat. Aku tak menyangka terbangun di atas tempat tidur dengan selimut. Padahal seingatku, aku masih berada di dalam kamar mandi semalam.
Mungkin aku berjalan saat tidur. Aku terbangun saat tengah malam dan berjalan ke tempat tidurku.
Dan aku memarahi diriku sendiri karena berusaha mengelak dari fakta bahwa Jason yang mendobrak pintu kamar mandi dan membawaku ke tempat tidur. Aku tak mungkin mendobrak pintu kamar mandi hingga rusak begini.
Sekarang kamar ku - yang sebenarnya bagian dari apartemen Jason, memiliki dua pintu yang rusak parah. Aku tak perduli, dia orang kaya dan semua ini ulahnya.
Aku cepat-cepat mandi dengan kondisi yang tak tenang karena pintu sialan ini rusak. Aku hanya bisa mengganjalnya. Kemudian, aku memakai celana jeans hitamku, kemeja berwarna krem, dan sepatu kets warna putih.
Jason sudah berulang kali mengajakku belanja. Dan aku menolak. Nah, mengingat ini, aku semakin yakin dia memiliki sebuah rencana untuk mengorbankanku mungkin. Entah untuk apa, tapi mimpi buruk ku mungkin saja berkaitan.
Oh Tuhan, hatiku sakit jika semua itu ternyata benar. Aku hanya sempat berpikir mungkin saja, aku menyayanginya, dan Jason pun sebaliknya. Tapi jika pikiran buruk ku menang, aku tak tahu harus bagaimana.
Aku menyambar tas kecilku dan berjalan keluar dengan kedua mataku yang masih bengkak dan panas, walaupun aku berusaha menutupinya dengan bedak. Itu tak banyak membantu.
Aku menuruni tangga, dan melihat Jason kembali berdiri di balkon ruang makan sendirian. Tanpa Celestron AstroMaster mahalnya. Aku menggigit bibirku, ayo Livia abaikan.
Tapi aku ingin mendengar penjelasannya. Itu lebih logis, daripada terus menerus menghindar tanpa tahu apa-apa.
Tapi apa bisa aku percaya? Aku tak pernah tahu konspirasi apa yang sedang dilakukannya.
"Katakan saja, Livia. Aku tak selalu bisa membaca pikiranmu,"
"Berhenti disitu."ucapku dengan tegas ketika Jason bergerak menghampiriku. Baiklah aku akan bicara tanpa perlu tatapan darinya. Itu akan mengacaukan pikiranku.
Jason tak bergerak dari tempatnya, walaupun ia masih menatapku. Tatapan khawatir. Khawatir aku akan pergi dan dia tak mendapat keuntungannya mungkin.
"Livia, tolong jangan pergi. Seorang vampir pemburu sedang mengawasimu."
"Well, vampir pemburu. Aku tak peduli Mr. William. Aku yakin mereka tidak bisa membunuhku, mengingat kau telah menghisap darahku berkali-kali." Sahutku membalas ucapannya yang penuh penekanan.
"Livia, mereka berbahaya-"
"Kau juga, Mr. William! Kau, pureblood, atau vampir pemburu, kalian semua berbahaya, kejam, berdarah dingin. Dan mengingat kekuatan kalian lebih besar dari vampir berdarah campuran sepertiku, tentu kalian adalah ancaman besar untuku!"
Aku terdiam sejenak untuk melihat reaksi Jason. Dia terlihat tak bisa atau sedang menahan kalimatnya. Dan aku kembali melanjutkan kalimatku untuk memancingnya bicara, "Dan aku tak tahu kenapa aku harus berada disini."
"Vampir pureblood dan Vampir berdarah campuran memiliki hubungan yang buruk sejak dulu, Livia. Vampir pureblood menganggap vampir berdarah campuran adalah pengkhianat, dan mereka memiliki darah paling menjijikan."
Aku sudah menduga fakta ini sejak aku merasa Jason selalu menutup-nutupi hubungan antara vampir pureblood dan berdarah campuran.
Aku ragu pada diriku sendiri. Padahal seharusnya aku mempercayai instingku dibandingkan vampir ini.
"Lalu untuk apa vampir pemburu mengawasiku? Apa mereka ingin darahku juga? Kau takut, kau akan kehilangan makananmu, atau kalah bersaing?"
"Mereka tidak menginginkan darahmu, Livia. Aku sudah katakan hanya aku, hanya aku yang melakukan ini padamu." Jawab Jason masih dengan penekanan seolah menahan agar emosinya tak meledak.
"Mereka ingin membunuhmu, itu lah tujuan mereka." Lanjut Jason membuatku sangat terkejut.
Jangan-jangan yang dimaksud adalah pria bermantel hitam itu? Sial. Jika benar, aku merasa sangat ketakutan. Selama ini dia memang seperti mengawasiku, bahkan di mimpiku.
"Lalu apa yang ingin kau lakukan padaku?" Tanyaku dengan berani.
"Aku ingin melindungimu, Livia."
Sudah cukup Jason. Aku tak mau mendengar hal seperti itu lagi. Aku mengabaikannya dan dia berdiri di hadapanku begitu saja.
"Livia, aku benar-benar ingin melindungimu." Bisik Jason sambil merengkuh kedua bahuku.
"Apa aku akan merasa terlindungi oleh seseorang yang bahkan tak aku kenal?" Tanyaku dengan kesal.
Tatapan Jason kali ini berubah, ia terlihat kosong. Aku tak tahu apa yang telah sangat mengguncangnya.
"Jason, aku perlu tahu kau vampir apa, aku tak mungkin terus di sini sementara kau tak mau memberitahu ku apa-apa tentangmu!"
"Kau akan membenciku dan pergi jika kau tahu." Bisiknya pelan.
Aku ingin sekali berteriak padanya kalau aku tak mungkin pergi meninggalkannya begitu saja karena aku menyayanginya. Aku tak mau jadi satu-satunya orang yang bodoh disini.
"Kalau begitu berhentilah peduli padaku," Jawabku kesal sambil berjalan melewatinya menuju lift. Aku tahu Jason mengikutiku. Dan aku harus menaiki taxi untuk sampai di restoran Mrs. Petter.
Aku tahu ini terlalu pagi untuk pergi kerja. Ku harap sudah ada orang di restoran.
Aku kembali berpikir perkataan Jason kalau beberapa vampir berdarah campuran bisa membunuh pureblood. Dan kepalaku berputar memikirkannya.
Seharian ini aku bekerja dengan tak fokus. Aku memikirkan segala kemungkinan. Dan aku berharap, Jason bukan seorang pureblood. Dia bisa merasakan panas matahari, sementara vampir pemburu itu, bahkan Anna dan Nathan hanya muncul ketika malam hari.
Tapi mereka semua memiliki taring yang akan muncul di saat-saat tertentu. Apa Anna dan Nathan juga makan, makanan manusia seperti Jason? Jason bergerak cepat seperti vampir. Tapi Jason memiliki mata biru yang indah. Tidak orange atau merah menyala.
Jason berkulit pucat, tapi tidak sepucat Anna dan Nathan. Tapi Jason tidak tidur di malam hari, seperti vampir pureblood. Dan Jason, sudah hidup beratus-ratus tahun.
"Liv.. Livia.." Panggil Aline mengejutkanku yang sedang memotong-motong coklat.
"Seorang kurir mengantarkan paket untukmu. Dari, Mr. Jason J. William." Ucap Aline dengan sangat antusias memberikan sebuah kotak padaku.
"Kau serius mengenalnya, Liv? Kau benar-benar mengenal Mr. Jason J. William?"
Melihat antusiasnya Aline, aku rasa ia sangat tertarik pada Jason. Aku hanya mengangguk lemah menjawabnya. Sedang malas membahas Jason.
"Kau baik-baik saja? Kau terlihat tidak sehat Liv.." Ucap Aline.
"Aku baik-baik saja, Aline. Hanya sedikit kelelahan." Jawabku. Aline menganggukkan kepalanya kemudian berjalan kembali ke meja kasir.
Aku membuka kotak hadiah itu yang ternyata berisi sebuah botol minuman.
Aku melirik orang-orang yang ada di dapur. Mereka semua masih terlihat sibuk. Jadi aku memutuskan untuk ke belakang. Botol ini benar-benar berisi darah. Aku ingin menolaknya. Tapi sejak semalam aku tak meminum darah, jadi aku meminumnya habis. Aku akan menggantinya nanti.
***
Pukul 07:30. Aku keluar dari sebuah toko buku. Setelah pulang dari restoran, aku memutuskan untuk pergi ke toko buku. Masih enggan untuk pulang ke apartemen Jason. Dan sekarang, aku harus pulang karena aku tak mau menaiki taxi saat larut malam.
Jason tak menelepon atau mengirimku sms. Aku tak bisa mengabaikan ini.
Kemudian, saat aku sedang menunggu taxi. Aku merasakan sesuatu yang menggangguku. Bau darah. Jika seperti ini, aku yakin sesuatu yang buruk telah terjadi.
Aku berjalan cepat mengikuti bau darah ini. Pikiranku hanya tertuju dengan bau darah dan apa yang terjadi, hingga aku tak menyadari telah melewati gang yang sepi dan gelap.
Kakiku berhenti melangkah di tengah-tengah gang ini. Aku baru merasakan ketakutan mulai menjalar di sekitar tubuhku. Sial. Tanganku bergerak untuk menelepon panggilan darurat.
Ini seperti dalam mimpiku. Aku berdiri dengan pria bermantel hitam beberapa meter dariku.
"Tolong aku.." Bisikku dengan suara bergetar. Kemudian aku terdiam saat melihat tangannya menyeret sesuatu. Ia melemparkan dengan kuat seorang wanita tepat ke hadapanku.