Aku menaruh beberapa bahan kue pilihanku di meja kasir, dan petugas penjaga kasir mulai menghitungnya kemudian memasukkannya ke dalam tas belanja. Setelah membayar, aku segera keluar dari toko bahan makanan Marry's House.
Melangkahkan kakiku dibawah payung tanpa corak berwarna biru navy. Malam ini adalah ulang tahun pernikahan bibi Grace dan paman George. Valerie sedang menyiapkan hadiah sementara aku harus menyelesaikan kue.
Ponselku berbunyi saat beberapa meter lagi aku sampai di rumah. Dan itu telepon dari Valerie.
"Liv, kau sudah sampai rumah?" Tanyanya begitu aku mengangkat panggilan teleponnya.
"Sebentar lagi. Kenapa?"
"Aku sedang berada di luar, ayah, ibu, dan Joshua aku ajak keluar untuk jalan-jalan. Sementara kau bereskan kue dan ruangan oke?"
"Apa? Val, aku tidak mungkin mengerjakan sendiri!" Protesku sambil menggantung payungku dan membuka sepatuku saat sampai di rumah.
"Aku tidak mengatakan kau akan melakukannya sendiri. Sudah ya, aku akan telepon lagi!"
Sialan. Valerie berkhianat padaku. Kali ini siapa yang ia panggil ke rumah untuk membantuku? Apa tetangga tercintanya, si Anthon yang imut itu? Atau si cerewet, Barely?
"Apa sudah kau dapatkan semua bahannya?"
Tas belanjaan ini hampir saja merosot dari tanganku. Rasa kesal ku melebihi rasa keterkejutanku. Aku sudah kira, jauh lebih baik jika aku mengerjakannya sendiri.
***
Jason mengambil alih tas belanjaanku ketika aku masih membeku ditempatku. Hari ini ia masih memakai setelan kemeja biru navy nya dengan celana bahan. Ia melepaskan jas hitamnya dan menaruhnya dengan anggun di atas sofa, kemudian melepaskan dasi berwarna hitam dengan corak bintik-bintik berwarna putih, melipat lengan kemejanya sampai siku.
Apa dia baru pulang dari kantor dan langsung ke sini? Tapi aku tak melihat mobilnya atau David.
"Valerie meneleponku, hari ini orang tuanya ulang tahun dan dia meminta bantuan padaku" Bisik Jason. Dia tidak membaca pikiranmu, Livia. Dia sedang membaca ekspresimu. Tenanglah.
"Untuk apa Valerie meminta bantuanmu? Aku bisa mengerjakan sendiri, Jason."
Jason menatapku dengan tatapan tajamnya. Dan kali ini aku berani menatapnya balik.
"Dengar, aku tahu kau masih marah padaku," Bisiknya pelan.
"Kau mengawasiku sepanjang waktu? Jason, kau bahkan membuatku ketakutan!"
"Apa?"
"Kau. Mengawasiku, bersembunyi dan tiba-tiba muncul."
"Aku tidak mengawasimu Livia. Kejadian kemarin karena Anna memiliki penglihatan tentang mu. Jadi aku segera menghampirimu."
Aku terdiam. Itu cukup masuk akal juga. Anna pernah mengatakan padaku kalau kelebihannya adalah penglihatan dan pendengaran yang tajam seperti pemburu. Lalu siapa yang selama ini mengawasiku?
"Anna mendeteksi keberadaanmu dari bau darahmu, Livia. Begitu dia mengetahui kau sedang dalam bahaya, dia akan memberitahuku" Lanjut Jason kembali menjelaskan padaku. Baiklah, Jason tidak mengawasimu.
Tentu saja, dia tidak memiliki waktu mengawasimu sepanjang waktu sementara dia memiliki 10 hotel yang harus diurusnya.
Aku menghela nafas panjang kemudian membuka jaketku.
"Apa kau merasa diawasi?" Tanya Jason. Tatapannya terlihat mulai panik dan khawatir. Aku mungkin akan membuatnya mendapatkan serangan panik luar biasa karena halusinasiku yang merasa sedang di awasi. Dan kenapa juga dia masih peduli?
"Tidak." Jawabku akhirnya memutuskan untuk menghampirinya ke meja masak di dapur.
"Kau tidak bersama David?" Tanyaku basa-basi. Aku hanya mengulur waktu untuk mengumpulkan kesadaranku.
"Ya, David sedang mengantarkan George, Grace, dan dua saudaramu jalan-jalan."
"Oh,"
Sekarang, apa yang harus ku lakukan?
Oke, Livia tenang. Ini wilayahmu, dapurmu, kau bebas melakukan apapun.
"Aku akan memasak steak dan kue tart. Kau yakin ingin membantu?" Tanyaku berusaha tenang. Well, Jason sudah di sini, aku tak akan menyia-nyiakan ini.
Dan aku melihat ruang tengah ini sudah di hias rapi dengan pernak-pernik norak milik Valerie yang berwarna-warni.
"Aku pernah menjadi asisten chef," bisik Jason dengan tenang. Aku menarik lengan sweater-ku sampai siku sambil melirik ke arahnya.
"Well, mari kita mulai."ucapku sambil mengeluarkan semua bahan makanan yang ku beli tadi. Aku memutuskan untuk membuat kue tart dulu.
"Telur," Ucapku setelah menimbang tepung terigu. Jason menyodorkan satu papan berisi 10 butir telur.
Dan aku menyadari sesuatu. Kita belum memakai celemek. Biasanya, aku akan malas menggunakan ini jika di rumah sendirian.
Aku mengobrak-abrik lemari bawah untuk mencari celemek.
"Apa yang kau cari?" Tanya Jason.
Aku mendapatkan celemek milik bibi Grace. Oh tidak, celemeknya berwarna kuning dengan motif bunga-bunga.
"Jason, kau tidak mau kan kemeja dan celana mu kotor? Jadi, kau harus memakai ini." Kataku berusaha menahan tawaku. Aku menyodorkan celemek kuning bunga-bunga ini pada Jason.
Dia memutar matanya ke arahku. Oh tidak, sepertinya dia akan marah.
"Apa kau membenciku?" Tanyanya dengan putus asa. Aku tak sanggup untuk menahan tawaku lagi.
"Aku hanya ingin melindungi setelan mahalmu, Jason." Jawabku menghentikan tawaku. Menghela nafas panjang, berusaha untuk serius.
"Ini tidak akan melindungiku 100% Livia,"
"Jika kau tidak mau, tak apa."
Jason merebut celemek itu dari tanganku dan melebarkannya. Ia mengerutkan kening saat melihat bentuk dari celemek ini.
"Seperti ini," Ucapku sambil mengisyaratkannya untuk sedikit membungkuk dan memasukkan lubangnya di kepala Jason dan mengikat talinya di belakang pinggang Jason.
Aku sempat tertegun melihat punggung lebarnya. Aku tak bisa menahan senyumku, membayangkan aku memeluk dan mencium punggung ini.
"Sudah?"
"Yap, sekarang kita bisa lanjutkan."
Aku mengaduk telur, gula, lalu tepung, mentega, sementara Jason mengolesi loyang dengan mentega. Oven sudah dipanaskan. Aku menuangkan adonan ke dalam loyang.
"Dari mana kau belajar semua ini, Liv?"tanya Jason, suaranya hampir tenggelam oleh musik yang ku nyalakan tadi.
"Grace adalah chef terhebat yang pernah kukenal," Jawabku dengan bangga. Ya, menghabiskan waktu di rumah sejak kecil, tidak bermain dengan teman seumuranku, jadi ku habiskan waktu dengan Grace.
"Dari mana kau belajar bisnis?" Tanyaku menuang adonan di loyang lainnya.
"Aku hidup ratusan tahun, Livia. Keterlaluan jika aku tidak bisa menguasai satu bidang pun" Jawab Jason membantuku membereskan meja.
"Well, kau bisa membaca pikiran orang, apa itu cukup membantumu dalam menjalankan bisnis?"
"Salah satunya. Tapi percayalah, aku lebih mengandalkan insting dan ilmu pengetahuanku untuk menangani bisnis"
Wah. Cara bicaranya benar-benar angkuh, seperti seorang pebisnis tua berusia 70 tahunan yang memiliki wawasan luas mengenai bisnis. Yah, walaupun sebenarnya, Jason pun berusia lebih dari 70 tahun.
"Ya, aku rasa hidupmu yang lama sangat berguna," Sahutku lalu memakan adonan yang menempel di jari telunjukku. Kebiasaan ku sejak kecil, aku sangat suka memakan adonan kue yang belum masuk ke oven.
Dan kesenanganku di ganggu oleh Jason saat tangan kananku di raihnya. Ia memasukkan jariku satu persatu ke dalam mulutnya, melumat sisa adonan yang ada di jariku hingga bersih.
Ya ampun rasanya aku ingin pingsan, desiran aneh menjalar di tubuhku. Jason sialan.
Sebelum ia membuka mulutnya lagi, aku sudah berjinjit meraih bahunya dan menyerang bibirnya. Waw, Jason menyambutnya dengan cepat.
Tangannya langsung melingkar di pinggangku sementara kini bibirnya yang ada diatas bibirku. Ciumannya semakin bersemangat, melumat bibir bawahku, kemudian menggigitnya.
Aku terkejut saat Jason mengangkatku duduk di meja. Dan aku tak bisa berhenti memeluk lehernya. Bibirnya sangat liar di bibirku, dan aku tak perduli.
"Livia! Maaf datang terlambat.."
Aku dan Jason sama-sama menjauhkan diri dan aku segera turun dari meja saat mendengar suara Rachel. Rachel dan Joe berdiri di hadapan kami dengan kaget. Sementara aku benar-benar gugup.
Jason juga kelihatan salah tingkah. Ia mencoba menyibukkan diri, kemudian ia terlihat buru-buru melepaskan celemek kuning itu.
Aku ingin tertawa, sebelum Rachel mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
"Liv, bibirmu berdarah. Ya ampun!"
Ow, Jason membuat bibirku berdarah lagi karena ciumannya. Rachel terlihat mulai panik mencari kotak p3k, sementara Jason mencoba mengusap bibirku, sebelum aku menghalanginya.
Dan aku tahu Jason melotot padaku.
"Rachel, tidak apa-apa. Aku sedang makan dan tak sengaja bibirku tergigit" Ucapku sambil menghampiri Rachel. Joe langsung sibuk mengomentari penataan ruangan yang sudah dilakukan Valerie.
Well, sekarang tambah lagi 2 orang yang entah akan membantuku atau makin membuatku kerepotan.
Bunyi oven menandakan kue sudah matang terdengar di tengah bisingnya perdebatan Joe dan Rachel yang sibuk menata meja. Aku segera mengeluarkan kue dan menyusunnya.
Sementara Jason terlihat sudah ahli mengolah steak.
"Kau masih bisa membaca pikiran orang kan?" Bisikku pada Jason.
"Kecuali kau, Miss Alisca. Kau tahu itu" sekarang ia menggerutu. Aku tertawa geli melihat reaksinya.
"Kau tahu apa yang dipikirkan Joe saat ini?" Tanyaku membuat Jason melirik Joe dan Rachel yang diam-diam memerhatikannya.
"Mereka berdua terpukau karena keahlian memasakku," Jaawab Jason singkat. Ia seolah tak mau membahasnya. Tangannya sibuk memotong-motong wortel, buncis yang akan di campur dengan jagung pipil.
Sementara aku mengoleskan krim di tumpukan kue ini.
"Aku tak yakin Joe hanya memikirkan itu," Balasku dengan berbisik juga.
Jason melotot ke arahku lagi. Ya aku sedang menggodanya. Aku yakin dia bisa membaca pikiran Joe yang vulgar mengenai dirinya.
Membayangkannya saja aku sudah hampir meledak tertawa.
"Kau ingin tahu, Miss Alisca?" Bisik Jason.
Aku mengangguk pelan sambil merapikan krim di kue tart.
"Pikiran yang aku harap dipikirkan juga olehmu," Bisik Jason sambil mengangkat daging steak dari wajan dan menaruhnya dengan hati-hati di atas piring porselin putih. Pikiran Joe, adalah pikiran yang ia harapkan dipikirkan juga olehku?
"Apa maksudmu?" Protesku pada Jason.
"Kau bisa menanyakan sendiri pada temanmu itu, Miss Alisca." Jawab Jason tersenyum menyeringai kemudian kembali memakan krim kue yang ada di jariku. Aku bisa merasakan kehebohan yang terjadi pada Joe dan Rachel.
Apa yang dipikirkan Joe tadi? Sampai Jason berharap aku juga memikirkan itu?