PERNYATAAN CINTA

Bibi Grace dan Paman George tersenyum cerah ketika mereka mendapati kejutan mereka. Aku, Jason, Rachel, dan Joe sudah mengganti pakaian. Aku memakai gaun lengan pendek dengan rok selutut berwarna nude milik Valerie. Dia yang memaksa.

Paman dan bibi berciuman ringan sebelum mereka mencium Valerie, dan Joshua bergantian. Baru kali ini aku merasakan pesta semeriah ini di rumah bibi dan paman. Mereka terlihat sangat senang.

Valerie membawa beberapa temannya juga. Ada wanita bernama Joan, seorang pria bernama Danish, dan tentu saja pria bernama Kevin yang merupakan pacarnya.

Joshua berlarian dengan hadiah pesawat mainan dari Jason. Bibi Grace dengan semangat menyiapkan makanan di piring, sementara paman George terlihat mengobrol dengan Jason. Aku bersama Joe dan Rachel.

"Livi, kau tahu Jason sangat, sangat, sangat hot hari ini.." komentar Rachel yang hampir tak terdengar karena suara musik tahun 70-an yang memenuhi ruangan.

"Oh Livia, kau yakin tak terbakar selama ini berada di dekatnya?"sambung Joe tertawa bersama Rachel. Jika saja kalian tahu yang kalian bicarakan adalah vampir, apa kalian akan memujanya seperti ini?

"Aku tahu sejak tadi kalian memandanginya. Apa yang kalian pikirkan?" tanyaku lebih mengacu pada Joe. Karena Jason tidak mengatakannya padaku secara jelas.

"Aku membayangkan Mark memiliki waktu untukku, seperti Jason."jawab Rachel dengan raut wajah yang tiba-tiba menjadi sedih. Uh, aku menyesal karena bertanya.

"Aku pikir, jika aku jadi kau Livia, aku akan membuka kemejanya dan melumuri tubuh sexy nya dengan krim milikmu. Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya..."

Apa? JOE! Ya Tuhan, Joe benar-benar memikirkan itu? Wajahku memerah sempurna saat Rachel dan Joe menertawakan pikiran gila Joe.

Pantas saja Jason tidak mau membahasnya dan menatapku kesal pada awalnya saat aku menanyakan pikiran Joe. Tapi kenapa dia malah mengatakan kalau dia berharap aku juga memikirkannya? Sial. Dia sedang mengerjaiku balik.

***

Pukul 23:00 malam. Orang-orang di rumah ini sudah terlihat kelelahan. George tertidur di sofa, dan bibi Grace mencoba membawanya ke kamar.

Dia mengatakan akan kembali untuk membersihkan ini semua. Tapi aku melarangnya. Aku memintanya untuk istirahat saja di kamar.

Joe dan Rachel sudah pulang setengah jam yang lalu dengan kondisi Joe yang mabuk karena wine mahal yang dibelikan Jason. Joe memang akan lepas kontrol saat bertemu wine, apalagi jenis wine yang katanya paling enak itu.

Valerie mengangantarkan dua temannya bersama Kevin. Aku yakin dia hanya ingin kabur dari tanggung jawab kebersihan ini semua. Aku sudah mengancamnya jika ia tak kembali sebelum tengah malam.

Dan Jason, baru saja membawa Joshua yang sudah tertidur ke kamarnya.

Tadinya aku yang akan melakukan itu, tapi yap, Jason keras kepala. Dia bersikeras akan menggendong Joshua ke kamarnya.

Aku menghela nafas panjang, semua ini tak bisa ku bereskan besok. Akan banyak bekas makanan yang menempel dan itu menjijikan. Sampah berserakan dimana-mana. Aku harus memberi pelajaran pada Valerie sekali-sekali.

"Jason, tidak perlu. Mr. David, tidak apa-apa,"ucapku menahan Jason dan David yang malah membantuku memunguti piring-piring, gelas, dan pernak-pernik yang sudah berserakan di lantai.

"Aku sangat berterimakasih pada kalian, tapi Jason, ini sudah malam, sebaiknya kau dan Mr. David pulang. Aku tahu kalian sudah sangat kelelahan, dan besok harus bekerja"ucapku masih menghalangi mereka berdua.

"Livia, biarkan mereka disini. Setidaknya besok pagi baru pulang ke London. Ini sudah terlalu larut untuk perjalanan mereka"ucap bibi Grace yang tiba-tiba saja keluar dari kamar.

Aku menoleh padanya ingin protes, tapi pandangan bibi Grace lurus ke arah Jason.

"Jason, menginaplah. Sangat tidak bagus menyetir di malam hari dengan kondisi kelelahan"

"Ide bagus, Grace. Terimakasih," jawab Jason dengan antusias. Bahkan dia mengabaikan ucapanku barusan.

Apa? Menginap? Aku ingin protes tapi bibi Grace sudah kembali menutup pintu kamarnya. Ya Tuhan, bibi jika kau tahu orang ini adalah vampir, apa kau masih akan menyuruhnya menginap?

"Miss Alisca, ku rasa David terlihat sangat kelelahan untuk menyetir"bisik Jason seolah tahu kalau aku akan meragukan kalau dia kelelahan. Yap, seorang vampir kelelahan? Mitos.

Tapi David? Benar juga, bagaimana pun David yang paling banyak membantu, bolak-balik mengantar bibi dan keluarganya, lalu mengikuti pesta ini.

"Baiklah, kau dan David akan tidur di kamarku. Aku akan tidur di kamar Valerie"ucapku berjalan menuju pintu kamar Valerie. Sial. Pintunya di kunci. Oh Valerie! Jangan bilang kau tidak pulang ke rumah malam ini?!

"Aku akan tidur di kamar Joshua"lanjutku dengan yakin.

Jason menoleh padaku, pandangannya tiba-tiba saja jadi serius. Jason yang berdiri di sebelahku pun berbisik ke telingaku.

"Aku tidak pernah tidur dengan manusia, Liv."

"Memangnya kenapa? Selama ini kau bisa mengontrol insting berburumu."sahutku berbisik juga. Suaraku pasti terdengar jelas kalau aku panik.

"Aku tidak tahu jika manusia semalaman berada di sebelahku."balas Jason. Suaranya terdengar cukup serius. Aku menghela nafas panjang.

"Lalu bagaimana? Kau mau aku dan Joshua tidur sekamar dengan David?"

Jason melotot ke arahku saat aku mengatakan hal itu. Dia bahkan menggeretakkan giginya, kelihatan kesal.

"David, kau pasti lelah. Tidur duluan saja di kamar Joshua."ucap Jason sambil membukakan pintu kamar Joshua.

Awalnya David terlihat ragu-ragu, kemudian Jason kembali melanjutkan kalimatnya, "tidak perlu khawatir, aku akan sangat senang membantu Miss Alisca membereskan ini semua"

"Baik, sir."jawab David dengan cepat kemudian berjalan masuk ke dalam kamar Joshua.

Berkat kemampuan super cepat Jason, aku bisa membereskan ruangan ini dalam waktu kurang dari 1 jam.

Aku mencoba menghindarinya dengan mencari kesibukan.

Sampai aku mengganti bajuku dengan piyama satin berwarna hitam. Piyama. Well aku lebih nyaman memakai piyama dibanding baju tidur super terbuka milik Valerie.

Saat aku masuk ke kamarku, aku terkejut melihat Jason yang duduk di kursiku, membaca buku catatanku yang ada di meja. Itu adalah buku catatanku tentangnya. Analisis pribadiku.

"Kau menganalisisku?"tanyanya, ia tersenyum geli, namun aku melihat sedikit kekecewaan di wajahnya. Oh apa aku telah menyinggungnya? Aku tak berekspektasi dia akan ke kamarku dan menemukan buku catatan ini.

"Well, aku hanya sedikit menganalisis."

Ia menghela nafas panjang kemudian menatapku baik-baik. Ia mengerutkan dahinya, lalu dengan pelan bertanya padaku, "apa yang membuatmu begitu penasaran padaku, Livia?"

Karena aku ingin tahu banyak mengenai orang yang ku suka. Dan sisi lain dalam diriku juga melakukan ini untuk perlindungan diri dengan tak menempatkan hatiku dalam posisi bahaya. Apakah aku harus mengatakan ini?

"Apa kau akan menjelaskannya padaku?"

"Livia, terkahir kali aku memperlihatkan diriku, saat itu juga kau pergi dariku."sergahnya mengalihkan pandangannya padaku sambil beranjak dari duduknya.

Keheningan menyelimuti kami berdua untuk beberapa saat. Aku sibuk dalam pikiranku sendiri, mempertimbangkan langkah terakhir untuk membujuknya.

"Oke, lupakan buku ini, semua analisis ini. Aku tak perduli apapun tentang mu, Jason."bisikku kemudian menghela nafas panjang, "aku akan tetap mengikutimu, tanpa bertanya apapun."

Livia, kau sudah terlanjur mengatakannya sekarang. Kalimatmu barusan terdengar seperti sebuah deklarasi. Sekarang, Livia, kau harus menerima segala konsekuensinya.

"Aku hanya ingin tahu karena kau menceritakannya sendiri, Jason. Aku takut, seseorang memberitahuku lebih dulu mengenai dirimu, dan aku terpengaruh."lanjutku.

Jason masih diam. Ia membalikkan tubuhnya membelakangiku.

"Apa kau mau melihat kelanjutan dari bayangan masa laluku, Livia?"

"Ceritakan saja, Jason. Aku percaya apapun yang kau katakan padaku. Aku percaya padamu."

Dan aku tak mau melihat bayangan mengerikan itu lagi. Aku tak kuat, melihat para bangsaku menceburkan diri ke danau dengan ketakutan, sementara bangsa vampir pureblood tertawa-tawa dengan riangnya, merayakan kejadian tersebut.

"Saat itu, namaku adalah Lucas Dwitt Clayton. Pangeran dari kerajaan vampir pureblood di sebuah negara kecil bernama The Vardez."ucap Jason memulai ceritanya. Aku melihat raut wajahnya menimbulkan sedikit kekesalan dan rasa jijik.

"Aku memiliki seorang adik laki-laki bernama Jovian. Kami dibesarkan oleh keluarga yang sangat memuja Lucifer. Dan sejak kecil, aku hanya diajarkan kebencian pada vampir halfblood, soal kesenangan pada semua wanita, dan memburu manusia. Saat aku cukup dewasa aku terus menolak semua ini, ibuku mengerti itu. Pikiranku lebih terbuka, dan aku memiliki teman seorang manusia yang mengajarkanku banyak hal tentang ilmu pengetahuan."

Jason menutup matanya berusaha mengingat. Ku rasa ada kepedihan yang mendalam di ingatannya. Dan aku merasa orang jahat yang memaksanya membuka kembali ingatan itu.

"Jason.."

"Wanita yang kau lihat aku tarik ke pintu itu, adalah seorang vampir berdarah campuran. Aku membantunya kabur dari upacara persembahan itu."lanjut Jason dengan berbisik. Oh, wanita yang menabraknya.

"Mereka mengetahui hal itu, dan mengutukku menjadi vampir half pureblood."

Oh Tuhan, aku tak menyangka makhluk sempurna seperti Jason sebenarnya adalah makhluk yang sedang di kutuk.

Jason menghela nafas lagi, ia duduk di bibir ranjangku, menumpu kedua sikunya di atas paha dan tangannya di tangkupkan ke wajahnya sebentar, sebelum ia melanjutkan.

"Aku vampir half pureblood, Liv. Separuh kekuatanku hilang, keabadianku juga hilang, jika saat bulan purnama kemarin aku belum menemukanmu, Livia, mungkin aku sudah mati."

"Menemukanku?"

"Ya, sejak kutukan itu berlangsung, aku tak dapat menyentuh manusia, insting berburuku hilang. Aku bisa menyiasatinya dengan meminum darah hewan. Tapi untuk keturunan pureblood sepertiku, itu tak cukup, Livia." Jawab Jason. Kepalanya menunduk seperti menutupi sesuatu di wajahnya.

"Kemudian saat pertemuan kita di lift, untuk pertama kalinya sejak 900 tahun ini, aku menemukan insting berburuku padamu Livia. Sejak saat itu aku bersumpah akan memberikan apapun padamu asalkan kau mau memberikan darahmu."

Jadi ini yang Nathan maksudkan kalau Jason sekarat pada waktu itu. Well, ini sulit dipercaya. Pertemuanku dan Jason sudah ditakdirkan dan sangat ditunggu oleh Jason.

"Dan setelah kau meminum darahku, seharusnya kau sudah tak membutuhkanku. Lalu kenapa kau menahanku? Apa kau memiliki maksud lain?"

"Aku akan meninggalkanmu setelah kau memberikan aku darahmu, dan ku berikan semua kebutuhanmu pada awalnya,"jawab Jason kemudian ia terlihat diam sejenak.

Aku benar-benar takut Jason akan melakukan itu. Tapi sejauh ini ia sudah menceritakan semuanya.

Kedua matanya menatapku lembut.

"Tapi kau tidak meminta apapun, selain informasi-informasi itu. Dan aku pikir aku tidak bisa meninggalkanmu,Livia."bisik Jason.

Aku memeluk diriku sendiri berusaha mengontrol diriku.

"Livia, kau bilang aku berperasaan. Tapi berulang kali ku katakan padamu kalau aku tak berperasaan, karena.." Jason mencengkram kedua tanganku dan menatapku seakan dia marah pada dirinya sendiri.

"Karena aku menarikmu Livia. Aku, seorang keturunan raja kegelapan yang buruk. Yang kau benci. Dan aku berusaha menutupi fakta itu padamu,"

Jason terdiam seolah menyelesaikan ceritanya. Dan aku masih bingung harus berbuat apa. Aku ingin sekali memeluknya.

Jason berjalan menuju lemari bajuku. Dia mengambil syal coklat milikku kemudian memakaikannya di leherku.

"Kau sudah tahu semua tentangku. Aku mengerti jika kau ingin pergi, tapi aku mohon, izinkan aku terus melindungimu, aku janji kau tidak akan melihatku"bisiknya mulai tenang kembali.

Aku ingin menangis, tak tahu harus mengatakan dari mana. Ini adalah hal pertama dalam hidupku. Dan jatuh cinta pada Jason adalah keputusan yang sangat besar.

"Tidurlah, Miss Alisca."bisik Jason menuntunku untuk berbaring di atas tempat tidurku.

"Hanya untuk malam ini saja, dan aku janji tidak akan menyerangmu"bisik Jason tertawa pelan sambil berbaring disebelahku.

"Jason, aku rasa.. aku jatuh cinta padamu." bisikku pelan. Aku tak yakin apa dia benar-benar mendengar suara ku yang seperti gumaman seekor tikus.

Jason langsung memutar tubuhnya menghadapku. Menyenderkan kepalanya di lengannya.

Telapak tangannya dengan lembut menyentuh pipiku dan memandangku dengan tatapan sayu.

"Liv, katakan sekali lagi,"bisiknya memerintah seperti biasa. Satu kali saja sudah membuatku sangat malu. Dan Jason memintaku mengatakan lagi. Apa dia sedang mengejekku?

"Liv.. ku mohon.."

Sekarang dia memohon? Baiklah, sir. Aku memberanikan diri lagi untuk mengucapkannya.

"Aku jatuh cinta padamu, Jason." Ulangku seolah menegaskan pada diriku sendiri untuk jangan lagi mengelak pada perasaan ini. Dan rasanya lega setelah mengatakan ini.

"Kenapa?"

Kenapa? Aku tak pernah berekspektasi akan ditanyakan kenapa setelah aku menyatakan perasaanku. Seharusnya dia hanya perlu menjawab, iya atau tidak.

"Kau kan kaya, dan seperti katamu kalau kau itu mempesona."bisikku mencoba bercanda. Tapi Jason sama sekali tak tertawa. Ia menatapku seolah menuntut jawaban yang sebetulnya.

"Karena aku selalu ingin disisimu dan takut kehilanganmu, Jason."

Untuk pertama kalinya aku melihat Jason tersenyum sangat tulus. Pangeran mempesonaku tersenyum seperti malaikat.

Wajahnya menunduk dan melumat bibirku lembut. Aku merasakan senyumnya disela-sela ciumannya, dan itu menular padaku.

Jason berulang kali mencium ringan bibirku, dia tahu bibirku masih sedikit luka karenanya tadi sore.

"Aku jatuh cinta padamu sejak kau berdansa denganku,"bisik Jason tepat ditelingaku, sementara aku tertawa pelan dan tanganku mengusap wajahnya perlahan.

Jason menarikku ke dalam pelukannya dan kembali mengecup keningku.