CARANYA MEMBERI PERHATIAN

Jam dindingku menunjukkan pukul 07:00 pagi. Dan aku duduk di kamarku, memandangi Jason yang tertidur nyenyak. Bagaimana bisa?

Nah itu pertanyaan pertama yang muncul di benakku saat terbangun dipelukkan Jason. Selama ini dia tak pernah tertidur.

Tapi aku tak pernah menyangka Jason terlihat sangat menawan, wajahnya polos ketika tidur. Tidak terlihat seperti seorang vampir yang pemarah, arogan, dan suka memerintah.

David bilang, Jason ada jadwal ke kantor pukul 09:00. Uh, seandainya aku bisa memandanginya tidur seharian.

Baiklah, dengan sangat terpaksa, aku harus membangunkan pangeran ini dari tidur cantiknya.

"Jason.." bisikku yang duduk disebelahnya.

Aku menggigit bibirku, kemudian aku memutuskan untuk menyentuh pipinya dengan jariku, mengelusnya pelan. Waw. Aku bisa mengelus wajahnya dengan jariku.

Akhirnya, aku lihat Jason mulai

membuka matanya dengan perlahan. Senyum di wajahnya yang cerah membuat detak jantungku berirama cepat.

"Hai.."

"Kau disini, Livia.."bisiknya.

"Tentu saja, ini kamarku Jason. Kau lupa?"

Jason tertawa pelan kemudian mencium bibirku sekilas. Dan aku menyadari ekspresinya berubah, seolah baru menyadari sesuatu. Ia mengedarkan pandangannya dan beralih pada dirinya sendiri yang masih terbaring. Kemudian bangun dengan cepat, membuatku refleks menjauhkan diri.

"Aku tertidur?"tanyanya dengan suara yang amat pelan, seolah ia baru saja menanyakan hal paling konyol dan tak masuk akal.

Well, aku tak tahu ini berita bagus atau malah sebaliknya bagi Jason.

"Err.. ya, kau memejamkan matamu, dan sekarang kau terbangun."jawabku dengan hati-hati.

Lalu Jason mengalihkan pandangannya padaku. Oh tidak, jangan sampai wajah malaikatnya berubah secepat ini.

Jason mengusap rambutnya, terlihat kebingungan. Ia kembali memandang tempat tidur yang ia duduki.

Kemudian ia tersenyum lebar, senyum yang perlahan menjadi tawa kecil. Ku rasa ini artinya bagus. Aku bisa bernafas lega sekarang.

"Kau senang?" Tanyaku penasaran apa yang membuatnya begitu senang bisa tertidur.

Bukankah itu artinya satu lagi ciri khasnya sebagai pureblood telah hilang?

Sebelum Jason menjawab, pintu kamarku sudah kembali diketuk. Aku segera membukanya, dan David berdiri di sana, untuk kedua kalinya.

"Maaf, Miss Alisca."

"Tidak apa, David. Jason sudah bangun,"jawabku sambil membuka lebar pintuku agar David bisa masuk.

"Sir, anda akan ada meeting di Centureshire Hotel pukul 09:00. Jenifer sudah menyiapkan semua bahan yang anda butuhkan" ucap David menjelaskan pada Jason yang akhirnya beranjak dari tempat tidurku. Dia meeting di salah satu hotel miliknya yang lain. Aku belum pernah ke Centureshire Hotel. Ku rasa penampakannya sama mewahnya dengan Larkshire.

"Oke, David kita akan kembali ke London sebentar lagi."

"Baik, sir." Kata David.

"David, sebaiknya kau sarapan dulu. Aku sudah memasak banyak pancake."kataku pada David yang baru saja akan keluar kamar.

"Baik, Miss Alisca." Sahut David lalu berjalan keluar. Aku mendengar bibi Grace juga mengajaknya untuk makan. Sementara paman George dan Joshua sudah berangkat. Valerie masih tidur di kamarnya karena ia pulang pukul 03:00 pagi. Lihat apa yang akan ku lakukan saat ia sudah bangun.

"Kau juga, Mr. William."ucapku sambil menyodorkan satu gelas darah ayam padanya saat ia merapikan kemejanya dan memakai dasinya.

Jason terdiam sejenak memandangi gelas itu, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Dia menatapku dan aku menaikkan alisku bingung.

Jason menghela nafas panjang kemudian menarik tubuhku dengan satu tangannya, sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk menyingkirkan rambutku dari leher.

"Aku ingin yang ini,"bisiknya kemudian mengecup leherku beberapa kali.

"Kau akan membuat semua orang ketakutan, Jason."bisikku tertawa.

Aku tak tahu bagaimana reaksi orang-orang yang melihat Jason menghisap darahku, dan aku yakin aku tak bisa menahan mulutku untuk tak menjerit.

"Aku tahu," desahnya putus asa. Ia kembali berdiri tegap kemudian memakai sepatunya.

"Aku harus datang ke kantor penerbit. Ada naskahku yang diterima, dan kami akan membicarakannya,"kataku lalu melirik jam tangan kecil di lengan kananku, "30 menit lagi,"lanjutku.

Aku sudah siap dengan kemeja putih polos, dan pita kecil berwarna hitam di bagian kerah, juga rok hitam selutut, stoking hitam dan sepatu heels hitam 5 cm. Semua ini adalah setelan yang biasa ku gunakan di acara-acara resmi dan penting.

"Jadi kau tidak ikut denganku ke apartemen?"tanya Jason menghentikan aktifitasnya dan menatapku tajam.

"Aku akan ke apartemen setelah pertemuannya selesai."

"Aku yang mengantarmu." Nah ini bukan kalimat ajakan, atau sesuatu yang merujuk pada sebuah permintaan persetujuan. Tapi ini kalimat Jason yang merupakan ketentuan mutlak, yang tak dapat ditolak.

"Ya, sir." Jawabku tertawa geli kemudian keluar kamar diikuti oleh Jason.

"Bibi Grace, aku akan berangkat sekarang,"ucapku berpamitan.

Bibir Grace memelukku dengan hangat.

"Sampai nanti, Mrs. Michaelson." Ucap Jason menjabat tangannya dengan bibi Grace. Aku hampir tertawa lagi melihatnya yang kikuk. Bibi Grace mengangguk dengan senyum cerah di wajahnya.

"Terimakasih atas pesta dan jalan-jalannya, Jason." Ucap bibi Grace menepuk bahu Jason beberapa kali.

Aku mengerutkan kening ke arah Jason. Pesta dan jalan-jalan? Aku hampir lupa dengan ulang tahun pernikahan bibi dan pamanku, Valerie? Uh, dia bahkan tak mengetahuinya. Dan anehnya, aku tak heran sama sekali kemarin.

"Kemarin, semuanya adalah idemu? Termasuk jalan-jalan? Kemana mereka jalan-jalan kemarin?" Bisikku pada Jason saat kami menghampiri mobil miliknya.

"Hei, Liv. Kau sangat cantik dengan rok itu."bisik Jason sambil merangkul bahuku.

Aku tentu saja sangat tersanjung. Karena yang mengatakan adalah Jason, itu berkali-kali lipat lebih berarti. Tapi apa dia sedang menghindari pertanyaanku?

Aku masuk ke dalam mobil di bagian kursi penumpang. Begitu juga Jason. Setelah menutup pintu kembali, David segera masuk ke kursi kemudi dan mulai menjalankan mobil ini.

Baiklah, akan ku paksa si Valerie mengaku.

Dan oh aku harap mereka - lebih tepatnya Valerie dan Joshua, tidak menguras kartu kredit Jason.

Kemudian pikiranku kembali pada tim penerbit yang sudah menerima naskahku. Dia ingin membicarakan beberapa hal sebelum naskahku diberikan ke tim editor. Mungkin termasuk kontrak dan lain-lain. Aku sangat gugup. Ini pertama kalinya bagiku, semua naskah ceritaku akan dibaca orang lain di hadapanku.

Selama ini aku hanya duduk di balik laptop dan membuka notifikasi website ku untuk melihat berapa orang yang sudah membaca. Aku tidak tahu mereka, dan mereka pun begitu. Oh ayolah Liv, mereka menerima naskahmu karena mereka suka.

"Dimana perusahaan penerbit itu, Liv?" Tanya Jason mengalihkan pikiranku sejenak dari kegugupanku.

"Itu hanya perusahaan penerbit kecil," jawabku pelan. Aku akan bangga ketika Valerie, Rachel, atau Joe menanyakan ini. Tapi kalau Jason? Baginya pasti ini hanya penerbitan kecil, bukan apa-apa.

"Livia, kalau yang kau maksud adalah perusahaan penerbit besar, akan sangat mudah bagiku menemukannya tanpa bertanya,"bisik Jason dengan tenang.

"Penerbit W Flawless."

"Aku bisa membantu mu menerbitkan di penerbit Foxiz, Livia."

"Aku tahu," bisikku lalu menghela nafas panjang. Penerbit Foxiz, aku tak terkejut dia memiliki banyak kenalan disana yang bisa membantuku menerbitkan bukuku.

Dan aku yakin, begitu mereka menyebut nama Jason, maka naskahku tak akan dipertimbangkan, bahkan mereka tak akan membacanya, tak akan ada negosiasi dengan editor. Lalu blam! Keesokan harinya bukuku telah terbit karena pengaruh seorang Jason J. William. Uh, itu menyebalkan.

Walaupun memiliki bangunan yang tak begitu besar, kantor penerbit W Flawless berada di pinggir jalan sehingga memudahkan David untuk mengetahuinya.

Aku segera mengambil tasku saat David keluar untuk membukakan pintu.

"Sampai nanti,"ucapku pada Jason. Kemudian Jason menahan tanganku.

"Semoga beruntung, sayang." Bisik Jason kemudian mencium pipiku dengan lembut.

Aku mengangguk dengan wajah linglung ku rasa lalu keluar dari mobil.

***

Sayang! Hanya karena satu kata dari Jason membuatku hampir tak fokus seharian dengan wajah berseri seperti orang gila!

"Miss Alisca,"

Seorang wanita muda bertubuh ramping dengan rambut coklat baru saja memanggilku. Aku segera berdiri dan menghampirinya dengan senyum ramah, berusaha menutupi kegugupanku.

Ia membukakan pintu kaca sebuah ruangan tempatku akan melakukan obrolan dengan ketua tim redaksi.

Begitu masuk, aku langsung disambut oleh seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang memiliki rambut hitam dan senyum yang ramah.

Kedua matanya berwarna abu-abu dengan alis yang tebal dan tegas.

"Miss Alisca," sapa nya sambil mengulurkan tangannya padaku.

Aku pun dengan senang hati menyambut uluran tangannya.

Namanya, Jonathan Stevenson.

Hampir satu jam aku membicarakan soal peraturan yang berlaku, hak dan kewajiban penulis, royalti, dan juga kontrak. Dan aku menyetujui semuanya dengan sedikit negosiasi.

Jonathan akan segera mengirim naskahku pada tim editor. Dan dia bilang, editor penanggung jawab mungkin akan segera menghubungiku jika aku dibutuhkan.

Setelah selesai dengan pertemuan hari ini, aku keluar dari kantor ini. Saat sedang menunggu taxi, mataku menatap sosok Licoln yang berdiri tak jauh dari kantor ini. Jika aku tak salah, ia tadi memerhatikan ke arahku. Tapi setelah aku memergokinya, dia disibukkan dengan teleponnya. Aneh.

Kemudian, mobil Mercedes-Benz hitam menghampiriku. David keluar dan menyapaku.

David menutup kembali pintunya setelah aku masuk ke dalam mobil.

Kemudian ia kembali ke kursi kemudi.

Mobil melaju melewati jalanan menuju apartemen Jason.

Saat aku melihat ponselku, ada sms dari Daniel dan panggilan tak terjawab. Aku masih mengabaikannya, karena aku belum siap bicara dengannya.

Aku akan kembali emosi jika bertemu dengannya. Mengingat kejadian tak menyenangkan waktu itu.

Sudah jam 01:30 siang, tapi Jason belum menghubungiku.

"Apa Jason memiliki jadwal padat hari ini?"tanyaku.

"Mr. William memang kelihatan sibuk hari ini, Miss Alisca."

Saat mobil sampai di depan apartemen, aku menahan David sebelum keluar.

"David, jika tidak ada Jason, kau tidak perlu membukakan pintu untukku. Itu akan merepotkanmu.."ucapku mencoba membujuknya.

"Miss Alisca.."

"Aku serius David, kau harus menyiapkan banyak tenaga untuk menghadapi Jason."jawabku sambil tertawa. David kelihatan bingung, sepertinya dia masih mempertimbangkan.

"Oke, sampai nanti, David."ucapku buru-buru keluar dari mobil. Sejak kecil, aku memang tidak pernah nyaman membiarkan orang mengerjakan apa yang bisa ku kerjakan sendiri. Lift apartemen masih sepi di jam-jam seperti ini. Aku mulai memikirkan apa yang akan aku lakukan di apartemen sekarang.

Begitu pintu lift sampai di unit Jason, aku disambut oleh Mrs. Elise.

"Mrs. Elise.."sapaku.

"Apa anda menginginkan sesuatu Miss Alisca?"

Aku menggigit bibirku dan terkekeh pelan. "Boleh aku minta.. darah?"tanyaku dengan suara pelan. Aku tak pernah meminta ini kepada orang lain sebelumnya.

Mrs. Elise tersenyum lebar, kemudiam menjawab dengan tenang, "tentu, Miss Alisca."

Aku segera menaiki tangga menuju kamarku. Membuka sepatu hak yang membuat kakiku panas ini. Aku membersihkan diriku dan berniat mengganti pakaianku. Saat membuka lemari, aku sangat terkejut. Banyak sekali baju-baju wanita feminim disini. Maksudku, rok, gaun, blouse, ini semua bukan milikku.

Dan dimana baju-bajuku yang lain? Apa aku salah kamar?

Pintu kamarku diketuk, Mrs. Elise datang membawakan segelas darah segar.

"Darah rusa, Miss Alisca,"ucapnya tersenyum ramah.

"Terimakasih Mrs. Elise" jawabku sambil menerima gelas tersebut,

"Apa.. kau melihat baju-bajuku? Semua baju di lemari sepertinya milik orang lain, Mrs. Elise.."

"Yang ada di lemari anda, adalah baju-baju milikmu, Miss Alisca. Mr. William yang memintaku untuk membelikan semua itu untuk anda. Dan baju-baju anda, sudah di rapikan didalam kardus"

Jason sialan. Dia sedang menghinaku atau bagaimana? Ya ampun, apa aku harus bertengkar lagi dengannya gara-gara ini?

"Dan, Miss Alisca. Mr. William juga menitipkan ini,"ucap Mrs. Elise sambil memberikanku sebuah kunci dengan pita berwarna merah muda. Apa lagi ini?

"Apa ini, Mrs. Elise?"

"Mr. William meminta anda untuk membuka ruangan di rooftop."jawab Mrs. Elise. Ruangan rooftop? Aku baru saja akan bertanya, Mrs. Elise kembali melanjutkan jawabannya, "ruang rooftop ada di ujung lorong, kau harus menaiki tangga. Aku akan mengantarmu jika kau mau,"

"Emm, baiklah Mrs. Elise nanti aku akan ke sana. Terimakasih.."jawabku tersenyum lagi. Elise pun berjalan meninggalkanku. Aku harus segera menghubungi si arogan itu dan membicarakan soal baju-bajuku.