LATIHAN DENGAN JASON

"Mr. William, boleh ku ingatkan kalau ini adalah kamarku?" Ucapku menyindir Jason yang mengikutiku ke kamar dan sekarang dengan santainya melepas sepatunya.

"Miss Alisca, boleh ku ingatkan kalau ruangan ini adalah bagian dari apartemenku?" Balas Jason membuatku cemberut. Dia benar-benar menyebalkan. Aku tahu ini bagian dari apartemennya, tapi apakah dia harus merebut kamarku?

"Jason aku serius."

Jason menghela nafas panjang kemudian berbalik menghadapku.

"Livia, selama beratus-ratus tahun hidup di dunia, baru kali ini aku merasa bisa tertidur. Dan sayangnya di apartemenku hanya kamar ini yang memiliki tempat tidur." Jawab Jason dengan tanpa bersalahnya. Ia bahkan membuka kemejanya di hadapanku! Pria ini benar-benar menyebalkan.

"Kau mengusirku dari kamarku sendiri"protesku sambil mengambil bantal sofa. Tiba-tiba saja Jason sudah berdiri di depan pintu, menghalangiku yang akan bergerak keluar. Ia menyenderkan tubuhnya di pintu dan melipat kedua tangannya di depan dadanya yang bidang dan memiliki otot.

Aku bisa melihat otot bisepnya yang cukup besar semakin jelas ketika ia melepaskan kemejanya. Oh Tuhan.. ini tidak benar Livia.

"Aku tidak mengusirmu, Livia. Aku bilang aku menumpang. Dan kau tetap tidur di tempat tidurmu"

"Aku akan tidur di sofa."

"Tidur di tempat tidurmu." Sahut Jason sambil menunjuk tempat tidurku dengan dagunya. Itu adalah kalimat perintah, dan aku tak mau diperintah lagi olehnya.

"Kalau aku tidak mau?"

"Kau tidak mau?"tanyanya dengan tatapan mengejek, ia menghampiriku dan mengangkat tubuhku, memposisikan perutku di bahunya dan aku tak bisa berhenti tertawa saat ia menggendongku seperti anak kecil.

Ia menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur yang sangat empuk ini, dan aku mulai menggeser posisiku ke sisi ranjang sambil merebut satu-satunya guling di kamar ini.

"Aku benci dengan apapun yang memberikanku jarak denganmu" protes Jason sambil membaringkan tubuhnya di sebelahku.

"Baiklah, aku akan menyingkirkan, asal kau menjawab pertanyaanku sebelum tidur"sahutku membuat Jason melirik ke arahku kemudian mengangkat alisnya.

"Oke."

"Jadi, apa kau tahu dimana para penyihir tinggal?"

"Tidak."

"Apa? Kenapa?" Aku mulai kecewa dengan jawaban Jason. Selama ini dia selalu mengetahui apapun yang aku tak tahu. Dan ini sangat penting bagiku untuk menemukan keluarga ibuku. Ini satu-satunya harapan.

Karena aku tidak mau bertemu keluarga ayahku. Mereka pasti seorang pureblood yang akan menolakku juga.

"Livia, bangsa vampir dan penyihir memang tidak memiliki sejarah kelam seperti pertarungan atau sejenisnya."bisik Jason sambil merentangkan tangan kanannya di atas kepalaku, kemudian ia kembali melanjutkan, "tapi bangsa penyihir sangat berusaha keras menjauhkan diri dari vampir. Bagi mereka, vampir adalah makhluk yang kejam dan tak bermoral,"

Ha! Itu pikiranku sejak dulu, sebelum bertemu dengan Jason tentunya. Dan sebelum aku tahu kalau aku juga bagian dari vampir. Ternyata aku memang memiliki sedikit pemikiran yang diturunkan dari bangsa penyihir.

"Mereka menggunakan mantra yang kuat untuk menutupi daerah mereka dari bangsa vampir. Sejak dulu, kita tak akan pernah bisa menemukan mereka, kecuali mereka menampakkan diri sendiri."

Aku jadi penasaran bagaimana orang tuaku bisa bertemu. Dan apakah ayahku jenis vampir seperti Jason?

"Jason, bagaimana dengan orang tuamu sekarang? Apa kau tahu mereka dimana saat ini?"tanyaku dengan hati-hati.

Jason terdiam. Ia terlihat mulai gelisah. Ia bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk. Sekarang, aku yang mengikutinya untuk duduk.

"Untuk apa kau ingin mengetahuinya, Liv?"

"Aku hanya ingin tahu lebih banyak mengenai kau, Jason. Tapi jika kau tidak mau menjawab, tidak apa-apa."

Aku tak menyesal menanyakannya karena aku perlu tahu. Tapi Jason tetap memiliki hak untuk tak menjawab pertanyaanku tentunya.

"Mereka semua sudah mati, Liv."

"Jason.. walaupun kau membenci mereka, kau tidak boleh berkata seperti itu."ucapku kesal. Jason memutar matanya ke arahku lagi. Kemudian aku baru menyadari kedua matanya berair.

"Mereka benar-benar mati, Livia. Mendengar pengkhianatan ku pada upacara Lucifer, para ketua bangsa vampir mulai menyerang keluargaku.

Mereka memenggal kepala ayah, ibu, dan adikku kemudian membakar kastil" Jelas Jason. Aku merasakan nada kemarahan dalam dirinya yang berusaha ia tahan.

Aku tak percaya hal sekejam itu benar-benar terjadi, dan itu terjadi pada pangeranku. Aku bersyukur Jason bisa selamat dan melarikan diri. Mungkin inilah yang menyebabkan dirinya menjadi buronan.

"Jason.. aku minta maaf.."

"Kau tidak salah. Tidak perlu minta maaf." Jawab Jason mengalihkan pandangannya dari aku. Ku rasa dia malu. Aku sudah mulai mengerti gerak-gerik Jason.

"Jason, kemarilah.."bisikku pelan sambil menggenggam tangannya.

Aku sedikit mengangkat tubuhku untuk bisa membuat kepala Jason kembali mengarah padaku. Benar saja, kedua matanya memerah. Bukan karena insting berburunya. Tapi memerah dan berair.

"Hei.." bisikku pelan kemudian memeluk kepalanya. Jason melingkarkan tangannya di pinggangku dan menyenderkan pipinya di bahuku.

"Jangan mengelap ingus di kausku" ledekku membuat Jason malah sengaja mengeratkan pelukannya dan mengusap-usap hidungnya di kaus bagian bahuku. Aku tertawa karena geli kemudian menepuk-nepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan vampir yang berperasaan seperti anak kecil ini.

"Baiklah, sesi pertanyaannya selesai. Aku sebagai setengah manusia akan tidur"ucapku melepaskan pelukanku dari Jason.

"Kau sedang mengejekku?"

Aku terkekeh kemudian menggelengkan kepalaku lalu membaringkan tubuhku.

"Kau sengaja menanyakan hal ini agar aku tidak bisa tidur lagi?"

"Tidak Jason.. kemarilah.. dan kau akan tertidur"

Aku mengangkat kedua tanganku dan mengisyaratkan Jason untuk tidur di sebelahku.

"Kau yakin?"tanya Jason. Aku menganggukkan kepalaku dengan yakin. Akhirnya Jason membaringkan tubuhnya di pelukanku. Tangannya melingkar dipinggangku, sementara aku memeluk kepalanya. Jason semakin menarikku hingga hidungnya kembali ada di bahuku.

"Kau akan tertidur, Mr. William"bisikku sementara tanganku mengelus rambut Jason dengan lembut.

"Kau benar-benar memiliki sihir padaku, Livia.."bisik Jason yang ku lihat mulai memejamkan matanya, raut wajahnya kelihatan merasa nyaman dan aku sangat suka melihatnya.

"Well, aku sering melakukan ini jika Joshua tidak bisa tidur."jawabku terkekeh.

"Beruntungnya Joshua.."bisik Jason semakin memeluk tubuhku lagi. Ku rasa tulangku akan remuk jika ia menarikku lagi. Kadang aku lupa kekuatan seorang vampir.

***

Jason dan aku pagi ini berada di ruangan khusus. Bukan karena Jason akan menghisap darahku. Tapi ia akan mengajarkan aku bagaimana menggunakan kekuatanku sebagai Arcturus. Cara melawan vampir.

Saat ini Jason memepetkan tubuhku ke dinding dengan tangan kirinya yang mencengkram leherku pelan, sementara tangan kanannya menahan tangan kiriku.

"Livia kau harus fokus. Kau harus menatap vampir yang menyerangmu."bisik Jason penuh dengan penekanan. Ia sedikit menekanku untuk fokus menatapnya.

Tapi tidak berhasil. Dan aku tak tahu apa yang salah. Ini sudah ke tiga kalinya. Jason kembali melepaskanku.

"Livia, kau sedang menatap musuhmu. Bukan kekasihmu, harusnya kau ingat itu."

Kenapa dia tak memberiku waktu? Aku tak bisa membayangkan kalau Jason adalah musuhku yang harus ku lawan atau bahkan aku bunuh.

Jason menatapku dengan tegas kemudian ia berbisik, "Livia, ingat. Aku adalah seorang pureblood keturunan bangsawan. Kerajaanku telah membunuh banyak bangsamu, bahkan orang tuamu."

Oh tidak, jangan mengingatkan aku pada hal itu lagi. Jason kembali melangkah maju menghampiriku dengan tatapan tajamnya, sementara aku melangkah mundur.

"Aku pernah membunuh manusia dan memangsa mereka sebagai makananku, Livia. Aku adalah musuhmu." Lanjut Jason kemudian kembali memepet tubuhku ke dinding dan menahan tanganku juga leherku.

"Aku adalah klan yang memandang rendah kelompokmu, Livia. Kau keturunan darah campuran yang hina."

Aku tak tahu, emosi dalam diriku terbentuk begitu saja. Dan aku menatap Jason begitu dalam. Meraih tangannya yang menahan leherku.

Raut wajah Jason terlihat kesakitan. Ia bahkan menundukkan wajahnya.

Pegangannya di leherku mulai mengendur. Konsentrasiku mulai hilang tapi Jason kembali membetulkan posisi tangannya yang mencengkram leherku, tak membiarkanku lengah.

Ayolah Livia.. kau bisa.

Tiba-tiba saja pandanganku kabur. Yang kulihat saat ini adalah.. Daniel?

"Livia.."

Ku rasa mataku makin melebar, aliran darahku naik, dan degup jantungku melambat. Aku melihat Daniel mulai kesakitan tanpa tahu apa penyebabnya. Tapi tanganku mulai mengeras dan aku melempar Daniel menjauh, sungguh lemparang jauh hingga menghantam dinding dan terjatuh. Aku bergerak menghampiri Daniel dan aku merasa tubuhku bergerak seperti robot pembunuh yang menyerang Daniel lagi.

"Olivia.."

Aku terjatuh lemas dipangkuan Jason. Saat Jason menyadarkanku yang hampir benar-benar membunuhnya.

Aku tak percaya aku menaruh tanganku di lehernya dan aku bisa lihat leher Jason membiru. Bagian bawah rahangnya juga membiru. Ya ampun seperti mayat yang ku lihat di kotak inkubasi waktu itu.

"Jason.." suaraku bergetar, nafasku tercekat di tenggorokanku.

"Kau berhasil.." bisik Jason sambil menaruh tangannya di pipiku. Tangannya yang dingin.

Aku melepaskannya perlahan dan bangkit dari pangkuannya.

Berjalan menuju kamarku, lalu mengambil ponselku.

"Hai, Nat.. bisakah kau ke apartemen Jason? Ku rasa kau perlu memeriksanya sekarang.. kondisinya kacau.. err, aku tak yakin tapi wajahnya jauh lebih pucat.. tidak maksudku, sangat pucat sampai ke matanya.. baiklah, terimakasih."

Aku menaruh ponselku kembali di dalam tas dan menghirup nafas dalam-dalam. Nathan akan ke sini kurang dari 5 menit. Aku tak menyangka aku akan begitu mengerikan. Jika aku bisa membunuh vampir maka itu artinya, aku makhluk yang lebih mengerikan dari mereka.

5 menit kemudian, aku mendengar kedatangan Nathan. Dan aku buru-buru mengajaknya untuk ke ruang khusus. Jason masih di sana dan sekarang dia malah terbaring dengan mata terpejam.

"Sial," ucap Nathan sambil berlari menghampiri Jason. Melihat reaksi Nathan yang tak biasa, aku semakin panik.Aku tak tahu apa saja yang sudah ku lakukan.

Nathan memindahkan Jason berbaring di tempat tidurku. Ia memeriksa kedua mata Jason kemudian pemeriksaan lainnya. Setelah itu, ia baru beralih menatapku.

"Tidak perlu menangis, Liv. Ini bukan salahmu, aku tahu vampir ini sangat keras kepala,"ucap Nathan karena aku sudah menceritakan semua kronologinya.

Dan dia memang benar, Jason keras kepala. Coba saja dia tidak memaksaku terus-terusan.

"Bagaimana kondisinya? Apa dia baik-baik saja?"tanyaku mencoba menahan suaraku agar tak bergetar.

"Yah, kondisinya memang cukup parah, tapi percayalah, dia masih hidup Livia. Mungkin nanti malam, akan bangun"jawab Nathan.

"Apa vampir bisa pingsan?"tanyaku heran. Ini adalah pengalaman pertama bagiku juga.

"Ini adalah pengalaman pertama juga bagiku, Livia. Well, setidaknya setelah dia mengatakan kalau ia juga tidur." ucap Nathan tertawa pelan. Dan aku tak menyangka Jason akan menceritakan hal itu juga pada Nathan.

"Ketika dia terbangun, ku rasa dia akan membutuhkan darahmu, Livia. Kondisinya tidak akan langsung pulih, ku rasa."ucap Nathan lalu berdiri merapikan peralatannya. "Dan, ku rasa kalian tidak perlu mempraktikan hal tadi lagi."

Aku mengangguk pelan pada Nathan, "terimakasih, Nat.."bisikku.

"Dia pasti akan frustasi setelah sadar,"ucap Nathan dengan nada meledek. Ia tertawa pelan sebelum meninggalkan kamarku.

Merasa frustasi? Tentu saja. Jason yang angkuh dan keras kepala ini pasti merasa tak terima dikalahkan olehku.

Maksudku, mungkin dia akan merasa malu. Tapi, ya Tuhan aku tak tahu Jason terbuat dari apa. Dia sangat kuat bahkan atas seranganku. Aku tak tahu pasti apa yang sudah ku lakukan tadi, tapi tetap saja aku bisa saja membunuhnya. Dan mengingat Jason bukan lagi makhluk abadi, akan sangat mudah dan rentan bagi nyawanya.

Uh, aku tak akan mau melakukannya lagi. Meskipun Jason memaksaku dengan cara apapun. Aku merasa ngeri dengan diriku sendiri.

Semoga Jason bisa sadar lebih cepat dari perkiraan Nathan.

Aku menyelimuti Jason dengan hati-hati kemudian duduk di sebelahnya.

Luka-luka biru tadi sudah menghilang, syukurlah. Aku membuka kancing kemeja atas Jason perlahan, memastikan luka di sana juga sudah menghilang. Kulitnya terasa dingin, sangat dingin.

Selama ini aku tak pernah merasa jatuh cinta. Dan sekarang aku merasakannya dengan sangat dahsyat. Pada Jason. Terakhir kali aku meninggalkannya, aku lebih kacau dari kehidupanku sebelum bertemu dengannya.