Lauren mengedikkan bahu. Masa bodohlah dengan perkataan Adam. Kalau dia mau menerkam Lauren sekarang, siapkan saja mental. Lauren bakal menghajar Adam sampai masa depannya patah sekalipun.
Saat Adam mau mendekat. Lauren mengangkat kaki ke bahu Adam. Menahan pria itu. "Mau apa Om?" tanya Lauren melihat Adam melirik kaki jenjangnya dengan tatapan lapar.
"Lauren, katanya mau dikompres. Ini mau aku bantu." Lauren menggeleng lalu menendang bahu Adam agar menjauh darinya. Pria itu menjauh dari ranjang sesuai keinginan Lauren.
"Om, keluar aja. Aku bisa lakuin sendiri." Adam memandang sekilas pada istri kecilnya itu kemudian menghela napas pasrah. Dia menuju dapur. Duduk di kursi sembari menopang dagu. Bingung mau melakukan apa.
"Orang haid biasanya perlu apa sih?" tanya Adam pada diri sendiri. Kemudian dia merasakan ponselnya bergetar dari dalam saku. Bola matanya memutar, memandang Dani yang kini meneleponnya.
"Halo, Dan. Ada apa?" tanya Adam heran. Dia mengetuk-ngetuk meja makan dengan telunjuknya, mengalihkan rasa kesalnya terhadap sikap Lauren yang semena-mena.
"Seharusnya saya yang tanya begitu, Tuan. Anda beberapa menit yang lalu menelepon saya. Maaf, sebelumnya saya ketinggalan ponsel di ruang kerja Anda." Adam menghela napas, lalu mengingat kejadian di minimarket yang membuatnya malu seumur hidup.
Namun ingatan itu sirna saat teringat keadaan Lauren sekarang. "Lauren sedang haid."
Terdengar tawa geli dari Dani. Mungkin dia mentertawakan kepolosan Adam menghadapi Lauren. "Jangan berani tertawa. Beritahu aku, apa saja yang perlu aku lakukan biar bisa membantunya. Seumur hidup, aku belum pernah menangani kasus begini."
Dani berdehem menetralkan tawanya yang nyaris meledak dari sambungan telepon bersama sang atasan. "Begini Tuan. Pertama siapkan saja minuman pereda sakitnya. Ada di minimarket biasanya. Jika tidak ada, belikan obat pereda nyeri. Jika tidak ada juga, gunakan kompres hangat di perut Lauren. Biasanya dia seperti itu."
Adam gantian berdehem. "Hanya itu?"
"Suruh Nona minum dan makanan, biasanya dia reda dalam beberapa saat." Dani menunggu respons Adam, sebelum akhirnya dia mendengar sambungan telepon yang terputus.
Adam turun dari kursi dan kembali menuju minimarket di depan gedung apartemen mereka. Kembali disapa oleh sang penjaga minimarket yang menahan tawa melihatnya.
"Mau permen karetnya, Pak?" Adam menoleh mendengar pertanyaan. Dia berusaha tersenyum memaklumi.
"Terima kasih. Dari pada kamu menawari benda itu, mending carikan saya obat atau minuman pereda nyeri haid sekarang." Kasir itu mengangguk, masih dengan senyum tertahan melihat perjuangan Adam dalam menolong sang istri.
"Ini, Pak." Adam menatap botol minuman yang kasir wanita itu tunjuk. Berterima kasih, karena sudah menolong dirinya.
Kasir itu mengulum senyumnya, kemudian berkata pada Adam yang tengah memasukkan minuman itu ke dalam keranjang belanja. "Saya salut sama Anda, sampai segininya buat bantu meredakan rasa sakit haid ceweknya. Pasti Bapak sayang sekali ya dengan ceweknya," ujar kasir itu kemudian meninggalkan Adam yang terdiam di depan rak berisi minuman.
'Sayang? Tentu saja, lalu apa semua ini?' batin Adam memandang tumpukan botol di hadapannya dengan senyum getir.
'Tapi, Lauren tak akan pernah menganggap rasa sayang ini. Karena baginya, aku hanyalah pria tua yang tidak pernah dia harapkan hadir dalam hidupnya.'
***
"Om beli ini semua? Kenapa boros banget sih? Harusnya ya beli beberapa aja. Gak usah borong begitu. Gak sekalian beli minimarket sama kasirnya sekalian? Haduh!" kata Lauren marah-marah setelah melihat Adam datang dengan sekotak minuman pereda haid.
Gadis itu meringis ngeri.
"Lain kali, Om. Mikir dulu sebelum beli banyak. Aku minum sebotol aja engap sama rasanya. Apalagi sekotak! Okelah kalau bisa disimpan."
Adam mengurut pelipisnya dengan muka sebal. 'Perasaan salah mulu ya Tuhan,' gerutu Adam dalam hati ketika melihat Lauren menelan paksa minuman itu.
"Nih, coba deh." Adam ragu menerima minuman itu. Namun Lauren memaksa. Dia dengan pasrah menuruti keinginan Lauren. Baru saja bibirnya menyentuh pinggiran botol, bau dari kunyit dan rempah herbal tercium membuat lambungnya bergejolak.
Dia menatap Lauren. "Baunya lumayan," bohong Adam jelas terbaca oleh Lauren yang melihat kerutan di dahi Adam.
"Minum." Lauren terkikik saat melihat Adam menahan mulutnya untuk muntah. Saat dia menelan air itu, meluncur ke tenggorokan. Adam mau muntah.
Hoeekk
"Enak?" tanya Lauren mengejek Adam yang kini menyeka sudut bibir. Dia meletakkan botol minuman itu di atas nakas. Menatap ke arah Lauren yang tertawa geli. Untuk pertama kali sejak mereka bertemu, Lauren terlihat nyaman dengannya. Yah, meskipun kini Adam tahu kalau gadis itu tengah mengerjainya.
Tapi melihat senyum Lauren dan tawa yang terdengar manis itu, cukup bagi Adam untuk menikmatinya. Jika, dengan cara ini dia bisa bersama gadis itu. Maka, apalagi yang bisa dia lakukan selain menunggu waktu membuka hati Lauren. Membiarkan Adam memiliki gadis itu seutuhnya.
"Mikir apaan?" tanya Lauren memandang Adam yang tengah melamun setelah meminum ramuan herbal wanita. Gadis itu menggoyangkan tangan di depan wajah Adam hingga dia tersadar.
"Gak ada apa-apa. Mau jalan keluar gak?" tanya Adam pada Lauren yang kini berjalan ke dalam walk in closet untuk mencari pakaian. Beberapa saat dia berhenti dan berpikir untuk menerima tawaran Adam sebelum akhirnya disetujui.
"Baiklah, aku tunggu di luar."
Adam dengan sabar menunggu Lauren keluar dari kamarnya. Ketika bermenit-menit berlalu dengan sia-sia. Lauren keluar dari kamar dengan pakaian yang membuat Adam menepuk jidatnya.
"Apa kamu tidak punya pakaian yang agak tertutup, Lauren? Perlukah aku beli satu toko buat kamu?" tanya Adam mengamati kaki jenjang Lauren yang begitu membuat matanya Adam melotot takjub.
Membayangkan jemarinya menyusuri kaki itu. Namun bayangan kotor itu cepat dia tepis ketika Lauren menatap tajam ke arahnya. Gadis itu menunduk, mencondongkan wajahnya pada Adam yang melotot kaget.
Bukan pada aksi Lauren. Tapi pada pemandangan di depannya. Astaga gadis ini memang sengaja sekali membuatnya tersiksa. "Sepertinya kamu memang perlu banyak pakaian ya?" tanya Adam melirik sekilas pada sesuatu yang mengintip dari kaos berdada rendah milik Lauren.
"Jangan gila! Ayo cepat, mata Om dah jelalatan aja." Lauren beranjak lebih dulu. Dan lagi-lagi Adam hanya bisa bersabar sambil menghela napas panjang.
"Dia memang gadis ajaib," kata Adam kemudian bergegas mengejar Lauren yang sudah berdiri di depan lift. Namun saat kedua menunggu pintu lift terbuka, Lauren berteriak kaget dengan yang dilihatnya.
Adam menutup muka Lauren dan memandang heran dua sejoli yang tertangkap basah tengah bercumbu di dalam lift itu. "Gila lo! Gak tahu tempat banget. Gak modal apa!" teriak Lauren mengejek sepasang kekasih yang berlari menghindari mereka.
Adam menarik pinggang Lauren agar segera masuk ke dalam lift. "Itu hak mereka, kalau kamu iri ya ikuti saja."
Lauren menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Itu sih keinginan, Om'kan?" tanya Lauren telak membuat Adam kehabisan stok kata dan kesabaran.
***
Bersambung