Adam merenggut. Pertama kali Lauren melihat mukanya yang cemberut itu. Dan kekesalan pria itu hanya karena dia ingin tidur sendiri di kamar lain.
Lauren jelas tak mau terjadi sesuatu seperti malam sebelumnya saat dia ketiduran di bathub. Walaupun sejujurnya Lauren juga menikmatinya, tapi yang jelas, dia tidak mau lagi Adam melakukan itu tanpa ada persetujuan dari Lauren.
"Maaf, Nona. Semua kamar sudah dibooking."
Ajaib. Pikir Adam ketika berdiri di belakang Lauren yang gantian merenggut. Seolah alam memang sedang merencanakan sesuatu pada mereka.
Adam menarik kopernya sambil melangkah santai menuju lift. Dia melirik Lauren yang terpaksa mengikuti di belakang. "Kenapa ngikutin aku?" tanya Adam dingin.
"Aku gak ada kamar. Jangan sok bodoh."
"Bukannya gak mau sekamar sama aku?" tanya Adam sambil menyandar di dekat lift dan melipat tangannya. Lauren mendesak masuk ke lift. Menatap kesal pada Adam yang hanya cekikikan di sebelahnya.
Namun sebelum lift tertutup. Sepatu hak tinggi menghentikan mereka. Lauren dan Adam melotot kaget melihat Sarah masuk menyerobot.
"Sarah?"
"Kenapa?" tanya wanita itu sambil berdiri di sebelah Adam. Menunjukkan tubuhnya yang sintal. Seakan Adam tertarik, padahal tidak sama sekali.
"Aku juga mau liburan."
"Tapi ka--"
"Aku sudah booking lebih awal," sahut Sarah santai. Dia menyeringai pada Lauren yang menganga tak percaya. Sedangkan Lauren hanya mendengkus sebal. Wanita ini terlalu ambisius, pikirnya.
Sampai di lantai yang mereka tuju. Sarah menggeret kopernya. Berhenti di sebelah kamar Lauren dan Adam. Gadis itu mendecih. "Dasar ganjen!"
"Apa kamu bilang?" seru Sarah.
"Sudah, Ma. Kami mau istirahat. Nikmati liburanmu." Adam menarik Lauren masuk ke dalam kamar.
Gadis itu merenggut sebal. Dia menghentakkan kakinya keras-keras di lantai. "Gimana bisa dia juga pergi? Hah, ini sih bukan liburan lagi."
"Nikmati aja," kata Adam sembari melepas kaosnya dan menuju kamar mandi. Lauren terdiam di dekat jendela.
"Sarah mau apa sih? Dia itu kepengen banget gitu sama Adam?" gerutu Lauren lalu mengusak mukanya.
"Oke, gak apa-apa. Aku akan buat dia nyerah buat dapetin Adam."
Lauren terenyak menyadari ucapannya. "Tunggu, kenapa aku seperti orang cemburu?" tanyanya pada diri sendiri.
***
Destinasi pertama yang Lauren dan Adam datangi adalah pantai. Mereka pergi lebih awal karena Lauren memaksa ingin melihat sunrise di pantai. Alasan kurang masuk akal, yang tetap Adam turuti.
"Kamu ngerencanain apalagi?"
"Sebenarnya aku punya ide gila bu--Dam! Dam! Lihat!" kata Lauren segera menarik Adam agar bersembunyi di balik penjual aksesoris. Adam mengikuti telunjuk kecil Lauren.
Matanya melotot melihat Sarah tengah bergandengan tangan dengan seorang pria. Keduanya tampak mesra.
"Dia siapa?"
"Sepertinya itu pria yang sering Sarah bawa ke rumah."
"Gila tuh cewek. Kita harus bikin ayah sadar kalau istrinya ini gila!" Adam mengangguk, namun dia harus sabar untuk membongkar semua kebusukan Sarah.
"Kita harus pergi. Jangan di sini." Adam segera menarik Lauren. Tak jadi melihat laut di pagi hari.
"Mau ke mana?"
"Ke hotel."
"Buat apa?" tanya Lauren sambil melirik bule-bule yang menyapanya. Adam mendesah sebal melihat kelakuannya.
"Bikin anak!" jawab Adam asal. Lauren langsung menimpuknya dengan tas jinjing yang dia pegang.
"Bercanda. Aku mau nyusun rencana sama kamu." Lauren memicingkan mata, tampak antusias.
"Ayo!" katanya. Adam tersenyum lebar. Senang, karena sepertinya kehadiran Sarah tak melulu merugikannya.
***
Sarah menatap sekeliling pantai. Dia dapat info dari petugas hotel kalau pasangan yang ada di sebelah kamarnya pergi pagi-pagi ke pantai.
Tapi sampai di sana, hampir setengah hari Sarah tak menemukan batang hidung keduanya. Membuat Sarah menduga kalau dua orang itu tengah menipunya.
Dia menarik Brian masuk ke mobil. "Kita mau pergi?" tanya Brian sambil mengelus paha mulus Sarah yang kini duduk di sebelahnya.
"Ya, kembali ke hotel."
"Astaga, pas sekali aku ingin menerkammu sekarang." Brian memajukan tangannya makin menuju pangkal paha Sarah. Namun wanita itu menolak, dia sama sekali tak tertarik untuk melakukan sesuatu di mobil sekarang. Apalagi dengan Brian.
Sarah menepis tangan pria itu. "Kamu belum melihat Lauren. Jelas dia adalah tipemu."
"Aku menantikannya. Tapi bisakah, aku mencobamu dulu?" tanya Brian setengah bercanda pada Sarah.
Sarah mendesah sebal. Dia menoleh pada Brian yang sudah terlihat tak sabaran ingin menerkamnya.
Tapi tidak semudah itu, Sarah memicingkan mata pada Brian. Lalu mendorong bahu Brian dengan keras. "Jangan harap aku mau! Gak mood."
"Aku bisa bikin mood kamu bagus kok."
"Gak." Brian terkekeh lalu melajukan mobilnya menuju hotel tempat Sarah menginap.
***
Sedangkan di kamar hotel. Adam tengah menggelar rapat dadakan dengan Lauren yang planga plongo di lantai.
Satu minuman dingin di samping kakinya. Dia menatap Adam yang tengah mengobrak abrik isi tasnya, kemudian mengeluarkan kertas.
"Buat apa kertas?"
"Aku mau catat tanggal kepegian ayah, lalu mau aku cari jalan pintas supaya ayah bisa ke rumah tepat ketika Sarah bawa selingkuhannya."
Alis Lauren berkerut. Bingung dengan maksud ucapan Adam.
"Hah?"
"Begini, ayah pergi ke luar kota lagi kemarin. Ayah bilang paling tidak sekitar dua minggu lagi dia akan kembali ke Jakarta," kata Adam kemudian menulis tanggal kepergian ayahnya, lalu menulis tanggal perkiraan datangnya.
"Kamu mau bikin Sarah terciduk?"
"Tepat. Aku akan minta bantuan pengurus rumah ayah untuk kasih info kapan selingkuhannya itu datang ke rumah." Lauren menyentuh dagunya.
"Tapi itu belum pasti kan?" tanya Lauren. Adam mengangguk. Maka dari itu dia mau mencari jalan keluar dengan mengirim Dani untuk membantu ayahnya.
"Aku mau kirim Dani ke sana supaya pekerjaan ayah ada yang handle," kata Adam. Namun justru ide itu menurut Lauren agak sedikit susah.
"Menurutku ini lebih banyak persenan gagalnya, ketimbang berhasil."
"Kenapa?" cicit Adam.
"Secara teknis ini keren sih. Menciduk Sarah pas lagi make love, misalnya. Tapi kita terhalang waktu dan pekerjaan ayah. Jadi," kata Lauren sambil menatap Adam.
"Jadi apa?" tanya Adam.
"Lebih baik minta ayahmu datang ke sini dan tunjukkan padanya kalau istri yang dia banggakan itu, sedang berselingkuh di sini." Adam menyapu wajahnya.
Dia berdiri ke dekat jendela besar. Menghela napas panjang. "Ayah gak akan percaya."
"Kenapa?"
"Ayah bukan orang yang gampang percaya hanya karena foto atau video. Dia tahu kalau itu editan atau sungguhan," kata Adam.
Dia berbalik badan. Melihat Lauren sudah berdiri di dekatnya. "Lalu kamu pakai cara tadi? Ribet tahu gak?"
"Kamu cukup ikutin aja permainanku. Kita akan buat Sarah malu pokoknya, kamu bisa telepon Dani?" tanya Adam.
Lauren mengangguk kemudian menelepon ajudan Adam itu. "Paman, Adam mau bicara."
"Bisa charger ponsel aku bentar?" pinta Adam kemudian terkekeh geli melihat muka Lauren yang kesal disuruh-suruh.
"Ponselku mati, makanya pinjam punya Lauren. Tolong temui ayahku. Bisa?"
"Tapi buat apa Tuan?" tanya Dani heran.
"Ayah harus ikut kami liburan. Bujuk dia agar ke Bali."
"Saya rasa Tuan besar gak mau kalau gak ada kepentingan." Adam mendongak. Menatap datar pada langit kamar.
"Bilang pada ayah, kalau ini lebih penting. Sebelum ayah menyesal." Adam mematikan sambungan telepon.
"Sudah kubilangkan? Ayah itu maniac kerja, kalau gak penting-penting amat gak bakalan mau." Adam duduk di bibir kasur bersama Lauren.
"Ayah pasti ke sini."
"Semoga saja, aku sudah muak melihat tingkah Sarah," kata Adam geram.
"Dia cuma pengen kamu tertarik sama dia, itu aja sih. Keinginannya simpel."
Lauren menoleh ke arah Adam."Dan itu alasan aku benci sama dia."
"Tunggu, kamu cemburu?" tanya Adam membuat kedua pipi Lauren merah padam.
***
Bersambung