“Apa yang kau bawa?”
Van menatap kotak yang berada di pangkuan Eleanore. Tak berapa lama setelah Van dan Yuna berbincang-bincang, Eleanore datang dengan membawa sebuah kotak. Kotak yang terbuat dari anyaman bambu itu kini dipegang erat oleh Ele.
“Prakaryaku,” jawab Ele singkat.
“Biar ku lihat.”
Van mengambil kotak itu dari Ele.
“Jangan!” cegah Ele namun terlambat karena Van sudah terlanjut membuka tutup kotak itu. Pria itu mengeluarkan sebuah beanie merah yang terbuat dari wol.
“Topi!” Van mengatakannya tak percaya. “Kau merajut sebuah topi?” tanya Van.
Wajah Eleanore terlihat sedikit masam menderngar pertanyaan itu. “Jangan ikut campur.”
Tangan Ele terulur hendak mengambil beanie itu dari tangan Van, namun dengan jahil Van menjauhkan topi itu dari jangkauan Ele.
“Ini sangat keren! Kau sangat berbakat, Eleanore,” ucap Van sungguh-sungguh.
Pemuda itu mengamati lagi topi rajut itu. Rajutannya benar-benar rapih. Tak ada sedikit pun jalinan yang meleset. Tak ada benang yang berantakan. Semuanya begitu pas dan teratur.
Menurut Van ini luar biasa. Eleanore begitu mengagumkan. Diam-diam ia tersenyum melihat bakat baru Ele yang baru diketahuinya.
“Kembalikan!” teriak Eleanore.
Van buru-buru menyerahkan beanie Ele. Takut-takut kalau gadis itu akan meledak lagi seperti sebelum-sebelumnya. Tangan kiri Van terulur dan mengacak surai Ele gemas.
“Buatkan satu untukku suatu saat nanti,” pinta Van.
“Dalam mimpimu.”
Setibanya di rumah, Eleanore kembali melesat memasuki perlindungannya; kamarnya. Ia menguncinya dan menolak membiarkan Van masuk, meski pun perawat itu mengetuk pintunya beberapa kali. Van menghela napas sebelum tersentak akan suara yang muncul dari balik punggungnya.
“Biarkan saja.”
Sebuah suara wanita mengalun dari arah belakang. Van membalikkan tubuhnya dan memandang sosok ibu Eleanore. Ralat, ibu tiri Eleanore. Ibu tiri Ele tersebut tengah menyesap Penfolds Grange Hermitage 1951 dari gelas di tangan kanannya. Sementara itu, tangan kirinya menggenggam botol wine langka yang setahu Van, hanya diproduksi sejumlah dua puluh botol saja di seluruh dunia.
Wanita itu berdiri tegap dengan mengenakan berbagai jenis perhiasan di tangan, kaki, telinga, dan jemarinya. Rambut pendeknya ditata sedemikian rupa sehingga membentuk gelombang yang indah. Pakaian suteranya tertiup angin, memperlihatkan betapa mahalnya bahan yang ia kenakan. Tak lupa stiletto merah menghiasi kaki jenjangnya, menambah kesan seksi yang terpancar dari wajah yang ditimpa berbagai jenis make up.
Di atas segala hawa glamor yang dipancarkan, raut wajah wanita itu tak dapat berbohong. Ia menyunggingkan sebuah senyum manis yang sayangnya tidak mencapai matanya. Senyum palsu. Senyumannya seolah-olah mengolok siapa pun yang melihatnya.
“Dia memang manja dan menjengkelkan. Biarkan saja. Lebih baik kau pulang dari pada membuang-buang waktu dengan mengetuk pintu kamarnya. Kalau lapar dia pasti akan keluar dengan sendirinya.”
Ibu Ele meletakkan botol wine di atas meja. Gelas yang sudah habis itu juga ia taruh bersebelahan dengan wine mahal tersebut. Ia menyalakan rokok dan mengisapnya kuat sebelum akhirnya membuang kepulan asap di udara.
“Kau tidak seharusnya berkata seperti itu,” ujar Van tajam. “Dia anakmu. Bersikap lebih peduli lah padanya.”
Agatha mengangkat salah satu alisnya. “Peduli untuk apa? Dia anak tak tahu terima kasih. Sudah untung aku tidak mendepaknya keluar dari rumah ini.”
Tanpa disadari, tangan Van mengepal mendengarkan perkataannya tentang Eleanore.
“Akan lebih baik jika seorang ibu lebih memperhatikan anaknya ketimbang hanya menontonnya terpuruk dalam penderitaan.” Van menyambar jaket yang ia letakkan di atas meja. “Permisi.” Tanpa komando lagi, pemuda itu melangkah pergi.
Sebenarnya dalam hati Van merasa agak khawatir karena meninggalkan Eleanore sendirian. Akan tetapi, ia harus menggali informasi penting dari sosok yang mengetahui kejadian di balik insiden yang membuat Ele menjadi buta. Biar lah Ele ditinggal sebentar. Selepas ini ia akan Kembali ke gadis itu dan siap siaga jika Ele membutuhkannya.
Tiada angin dan hujan, tiba-tiba perkataan Ghani tempo hari membuat tekad Van untuk menanyakan langsung pada kakak iparnya semakin kuat. Sejak diberitahu Ghani sebenarnya Van sudah mencoba untuk menghubungi Sang Kakak, namun nihil. Kakaknya sulit sekali dijangkau dengan padatnya jadwal kerja. Semoga kali ini ia bisa menemuinya secara langsung.
***
Dewi Fortuna rupanya tengah berpihak padanya.
Kakak iparnya bisa meluangkan waktu untuknya hari ini. Itu sebabnya tiga puluh menit setelahnya Van sudah duduk manis di kursi restaurant Beurden Hotel and Convention Center. Van duduk gelisah sambil meminum Ice Americano di tangannya. Ia merasa gugup, padahal yang akan ditemuinya adalah kakak iparnya sendiri. Mungkin itu disebabkan karena pertanyaan yang hendak ia lontarkan yang membuatnya luar biasa penasaran.
Dari kejauhan, sosok Rianti terlihat berjalan dengan membawa sebuah baki berisikan makanan.
“Kau datang di waktu yang tepat.” Ia duduk di depan Van dan meletakkan baki yang penuh dengan jejeran kue dengan aroma sedap.
“Aku baru saja membuat muffin dan croffle. Aku baru menyelesaikan kelas minggu lalu dan baru sekarang ini sempat membuatnya. Aku mengurusi Farel. Kakakmu itu benar-benar menyebalkan. Sakit sedikit saja tingkat kemanjaannya langsung naik 100 kali lipat. Ia terus merengek, merengek, dan merengek padaku. Kakakmu itu tak malu dengan badannya yang tinggi besar. Ah, rasanya seperti mengurus bayi gajah saja.” Rianti mencomot salah satu muffin cokelat yang ia bawa sendiri dan memakannya. Matanya melebar sesaat setelah ia mengunyahnya. “Kau tak akan menyesal. Coba lah. Ini sangat enak.”
“Jika ini tak enak, maka kau harus mentraktirku makan ramen sepuasnya,” ucap Van bergurau.
“Deal.”
Van mengambil sebuah red velvet muffin dan menggigitnya. Ia tersenyum dan merasa harus menarik ucapannya tadi. Muffin itu benar-benar enak.
“Gimana?” Rianti mengangkat kedua alisnya menantikan jawaban.
“Ku rasa aku yang harus mentraktirmu, Kak.”
Rianti terbahak dengan wajah sumringahnya. Sementara itu, Van menghabiskan potongan terakhir kue itu dalam diam. Ia sedikit ragu ingin menanyakan pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Sebenarnya jika boleh jujur, ia lebih tidak siap mendengar jawabannya. Ia takut kalau memang dirinya lah yang jadi penyebab kebutaan Eleanore.
“Ada apa kau menemuiku?” tanya Rianti membuyarkan lamunan Van.
Van meminum Americano-nya dan berdehem untuk membuka pembicaraan yang sesungguhnya. “Aku ingin menanyakan tentang Eleanore,” ujarnya.
Rianti menghentikan kunyahannya. Ia meletakkan potongan muffin yang belum dihabiskannya ke atas meja. Pandangan tajam ia tujukan pada adik iparnya.
“Apa yang membuat Eleanore buta? Kenapa semua orang menyalahkanku? Ghani bilang kau memberitahunya kalau aku yang menyebabkan Ele buta, tapi kenapa kau tak bilang langsung padaku?”
Rianti menatap Van tak percaya. “Kau tak tahu atau pura-pura bodoh?”