Chapter 9: Kincir Angin

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

“Eleanore, bangun.”

Sebuah tangan menggoyang-goyangkan badan Ele perlahan. Orang itu memanggil nama Ele selama berkali-kali tepat di telinganya. Sementara itu, sosok yang dipanggil memilih menarik selimut untuk menutupi kepala. Tubuhnya menggigil kedinginan kala selimut itu kembali disibak untuk membuatnya bangun.

“Bangun, ayo. Kakak sudah membuatkan sarapan untukmu.”

Ele mengumpulkan kesadarannya kala menangkap suara itu. Meski nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, Ele seketika terlonjak bangun dan mendapati Reynold sedang tersenyum cerah di tepi kasurnya.

Sejak kapan kakaknya ada di rumah?

“Kak, kau sudah pulang!” teriak Ele.

Sesegera mungkin Ele mengalungkan lengannya ke tubuh kakak satu-satunya itu. Kerinduannya membuncah karena sudah berbulan-bulan ini kakaknya tidak pulang ke rumah. Sang Kakak selalu bepergian ke luar kota bahkan ke luar negeri untuk menyelesaikan bisnisnya. Selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui sambungan telepon dan hal itu tak membuat Ele puas untuk menceritakan segala keluh kesahnya.

“Tentu saja. Kakak tiba satu jam yang lalu.” Reynold membalas memeluk adik semata wayangnya.

Ele melepaskan pelukannya. “Ah, kepalaku sedikit pusing.” Terhuyung mundur, Ele menempelkan punggungnya pada sandaran ranjang.

Reynold mengusap-usap kepala Eleanore sementara netra Sang Adik setengah terpejam mencoba menetralkan kepalanya yang berdenyut-denyut. “Mangkannya jangan tidur larut malam. Mentang-mentang punya kekasih baru.”

Ele membuka matanya lebar. “Dari mana kakak tahu?” Ia bertanya malu-malu. Mengetahui Sang Kakak menyinggung tentang hubungannya dengan Sang Pujaan hati membuat menyunggingkan senyumnya. Bagaikan ada magnet tak kasat mata yang membuat Ele tersenyum lebar bak orang kasmaran.

Memang ia tengah kasmaran.

“Ibu yang memberitahuku. Dia bilang kau sedang berkencan dengan seorang pria bernama Tora, bukan?” tanyanya menyelidik.

Eleanore mengangguk-angguk senang.

Sang Kakak yang melihat sikap adiknya itu hanya terkekeh senang. Sudah berbulan-bulan ini ia tahu jika Sang Adik harus melalui segala kesulitan hidup akibat permasalahan rumah tangga kedua orang tuanya. Ibunya sering menelpon memberitahu kalua diam-diam Eleanore sering menangis di dalam kamarnya jika orang tuanya memulai pertengkaran. Ia juga tahu jika adiknya kerap tersenyum dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja padahal batinnya tengah terluka. Eleanore selalu menampilkan kesan bahagia walau kenyataan berbanding terbalik setiap harinya.

Itu sebabnya ia ikut bahagia melihat adiknya begitu gembira di pagi hari.

“Baiklah, adik yang sedang kasmaran. Turun lah dan sarapan bersamaku. Aku akan membawakan makanan untuk ibu,” Ujar Reynold.

“Aku tidak sedang kasmaran!” sanggah Ele. Pipi Ele mendadak terasa panas. Ia malu digoda kakaknya, namun fakta jika ia kasmaran sebenarnya memang begitu adanya. Sayangnya, ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.

Reynold terkikik melihat adiknya yang terlihat salah tingkah. “Wajahmu tidak bisa menipu,” ucapnya di ambang pintu. “Mandi dan sarapan. Lalu ceritakan lagi pada kakak tentang Toramu itu,” pungkasnya.

Ele melemparnya dengan bantal.

Tepat dua minggu sudah Ele dan Tora berkencan. Menurut Ele, Tora benar-benar manis. Sikapnya begitu perhatian padanya. Meski mereka berbeda sekolah, Tora tak pernah melewatkan sehari pun untuk bertemu dengan Ele.

Minggu kemarin mereka bahkan pergi berkencan. Memang kencan sederhana. Hanya dengan satu kotak jumbo popcorn, dua gelas soda, dan dua tiket film, kencan mereka terasa begitu menyenangkan. Ele dan Tora duduk di sudut dengan kedua tangan yang saling bertaut.

Setelahnya mereka berdua pergi ke area bermain di kawasan pusat perbelanjaan di sana dan menghabiskan 2 jam penuh mencoba satu persatu arcade yang tersedia. Ele merasa puas karena akhirnya dapat mencoba bermain basket dengan Tora. Mereka bahkan—lebih tepatnya Tora—bahkan mendapatkan sebuah boneka kelinci berwarna putih yang sedang menggigit wortel dari mesin pencapit boneka. Tora memberikannya pada Ele.

Saat ditanya mengapa ia memilih kelinci, Tora mengatakan bahwa kelinci itu sangat mirip dengan Ele. Ele memiliki dua gigi depan berukuran besar yang mirip kelinci. Ele tertawa saja, namun tetap saja masih berbunga-bunga saat memeluk boneka itu. Singkat kata, kencan mereka dan hubungan mereka berjalan mulus.

Omong-omong soal Tora, hari ini Ele mempunyai janji untuk pergi dengannya. Ele melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah jam 10 ternyata. Ia akan terlambat.

Ele bergegas melompat dan menerjang pintu kamar mandi.

Kilas Balik Selesai

***

“Eleanore, bangun.”

Jemari panjang itu merayap dan menepuk pelan pundak Ele. Di pagi hari yang diawali oleh rintik hujan, Ele meringkuk dalam tidurnya untuk menghalau hawa dingin. Ia menarik selimut lagi, menutupi seluruh tubuh.

“Eleanore, bangun lah,” ucap suara itu lagi. Ele mengerang dan semakin menarik tubuhnya menekuk, membuatnya terlihat seperti sebuah bola.

Tiba-tiba saja sosok yang membangunkan Ele menarik bed cover gadis itu. Ele bergumam protes karena sumber kehangatannya direnggut. Pasti orang itu. Si Menyebalkan Van.

“Kembalikan selimutku!” teriak Ele marah. Ele kesal sekali karena menurutnya Van sangat lancang. Ia tidak suka diganggu seperti itu.

“Kau harus bangun, Nona Tukang Ngantuk. Matahari sudah bertengger di atas sana sedari tadi. Sekarang sudah jam 11,” ucap perawatnya tanpa dosa.

Dengan berat hati Ele menyeret tubuhnya untuk bangun dan duduk. “Aku sudah bangun. Kau puas?” tanyanya sarkas. Ele dapat mendengar kekehan Van yang terdengar menyebalkan di telinganya. Ia merasakan Van menarik selimut dan melipatnya.

“Kau mau pergi kemana hari ini? Katakan. Aku akan menemanimu 24 jam sehari penuh.” Van menarik Ele untuk berdiri. Dibandingkan berdiri, Ele lebih memilih untuk duduk di kursi di sebelahnya. Sementara Ele duduk merenung, Van menepuk-nepuk bantal dan membereskan ranjang Ele yang berantakan.

Tak berapa lama kemudian Van membuka tirai dan jendela kamar, membuat wajah Ele terterpa sinar matahari. Ele membelalakkan mata tanpa perlu repot-repot menyipitkan matanya yang terkena panasnya mentari.

“Eleanore?”

Ele berjalan menuju ke kamar mandi namun lututnya membentur sudut meja. Sebuah benda jatuh dan mengenai telapak tangan Ele. Ia meraba benda yang memiliki 5 sudut dan sebuah gagang yang cukup panjang. Sebuah kincir angin.

Kincir angin itu.

“Eleanore, kau tak apa-apa?” Tangan Van meraih Ele membantunya berdiri.

Ele meremas kincir angin yang ia dapatkan 10 tahun yang lalu. Gadis itu meraba lagi kincir angin using di tangannya. Masih utuh. Tak ada sisi yang rusak, gagangnya pun baik-baik saja.

Potongan kenangan terputar kembali, perlahan-lahan, di benak Eleanore. Bagaikan benang kusut yang butuh diurai. Bagaikan pita kaset yang harus dibenarkan. Kenangan akan orang itu membuatnya gemetar. Ia meremas kincir angin yang membuka kembali memori buruk di masa lampau. Benda itu mengingatkannya akan sosok yang menjadi penyebab segala kekacauan di hidupnya.

“Aku mau ke pantai,” gumam Ele pada Van.

Sepuluh tahun yang lalu mimpi buruk pertamanya terjadi di pantai. Mimpi buruk yang mengawali deretan kejadian buruk lain di hidupnya. Mimpi buruk yang membuatnya mengutuk tempat indah itu dan bersumpah seumur hidup tak akan sudi menginjakkan kaki lagi di sana. Akan tetapi, pada hari ini sumpahnya terpatahkan. Ia sendiri dengan sukarela meminta untuk diantar ke tempat itu.

Di sana awal mula semuanya terjadi, mungkin di sana juga ia bisa mengakhirinya …