Chapter 10: Rayuan Tora

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

“Aku mau ke pantai.”

Ele memakan potongan bacon dan omelet ke mulutnya secara bersamaan. Mulut penuhnya ia paksakan untuk berbicara sementara Sang Kakak menyodorkan segelas air putih untuknya.

“Pelan-pelan, Ele,” tegur Reynold.

Di sebuah pagi yang tenang, Eleanore dan Reynold menghabiskan sarapan bersamanya di kamar ibu. Sosok ibundanya terlihat memakan masakan Reynold dengan lahap. Ele melirik ke arah ibunya yang tertawa saat anak sulungnya menegur yang bungsu.

Seingat Ele, Sang Ibu jarang sekali terseyum akhir-akhir ini. Nafsu makannya juga turun derastis. Biasanya ibunya hanya makan satu dua sendok. Itu pun dengan paksaan darinya dan perawatnya. Akan tetapi, kali ini ibundanya dengan senang hati makan dengan wajah berbinar. Ini berarti ibunya sangat senang dengan kedatangan Reynold.

“Sepertinya dia pemuda yang baik ya?” tanya ibu.

Ele tersenyum mendengar tebakan ibunya. “Sangat, Bu.” Ele menyendokkan lagi makanannya. “Dia akan datang sekitar 15 menit lagi.”

“Bagaimana kalian berkenalan? Satu sekolah kah? Satu kelas denganmu?” Reynold mengambil alih pertanyaan.

Ele menggelengkan kepalanya. “Tidak keduanya. Dia anak sekolah sebelah, tapi rumahnya dekat sini, Kak.”

“Dia tipe orang yang bagaimana? Kalem? Pintar? Bad boy? Nerd?” cercar Reynold.

Gadis yang ditanya kakaknya itu mengedikkan bahu tidak yakin. “Dia supel. Temannya banyak. Yang jelas dia perhatian denganku.” Ele menghabiskan sisa air putih di gelasnya. “Aku harus pergi sekarang, ya. Aku tak mau Tora menunggu.” Ia mengambil jaket hitam milik Tora.

Sebelum beranjak dari kursi, Ele bertanya pada ibunya. “Apakah ayah tidak akan pulang hari ini?” tanyanya pelan-pelan.

Ibu berhenti mengunyah sejenak. Hanya sejenak sebelum ia mengulaskan senyumnya lagi. “Kurasa tidak, Ele” Sang Ibu mengerling pada Reynold sebelum berkata, “Bersenang-senang lah. Ibu akan berkencan dengan anak sulung ibu yang tampan ini.”

Reynold tertawa lalu meletakkan mangkuk nasinya dan memeluk ibunya erat. Lelaki itu meletakkan kepalanya di antara bahu ibu. Sedikit rasa haru terpatri di hati Ele. Ia pun memeluk mereka berdua tak kalah erat. Dua orang manusia yang sangat berharga di hidupnya.

Setelahnya Tora datang menjemput Ele. Kali ini ia tidak datang dengan motor gedenya. Ia mengendarai sebuah mobil sport berwarna merah. Ele tak bisa menyembunyikan senyumnya lagi ketika ia keluar dari dalam mobil itu. Dengan gagahnya ia dan senyumnya yang terkembang berjalan ke arah kekasihnya.

“Kau selalu siap saat aku menjemputmu,” bisiknya. Lelaki itu menarik pinggang Ele supaya gadisnya bisa berdiri lebih dekat dengannya.

“Aku tak ingin membuatmu menunggu,” jawab Ele. Ia memainkan rambut Tora yang tertiup angin.

Tora mengeratkan pelukan di pinggang Ele. “Aku tak keberatan menunggu kelinci menggemaskan sepertimu.”

Ada sesuatu dalam suaranya yang mampu mengantarkan gelanyar aneh di kedua lutut Ele. Kedua mata mereka bertemu dalam sebuah pandangan intens yang menciptakan tensi aneh di antara keduanya. Ele kehilangan fokusnya kala bibir Tora perlahan-lahan mendekati wajahnya.

Tora memberikan ciuman kupu-kupu di bibir kekasihnya.

“Jadi …” Tora memajukan hidung mancungnya menyentuh hidung gadisnya. “Mau pergi kemana hari ini, Tuan Putri Eleanore?”

“Cheesy lagi, Tuan Tora.”

“Ayo kita pergi sebelum hujan turun.” Ele menarik tangan Tora dan menautkan kelima jemarinya. “Aku suka laut,” gumamnya.

Pantai menjadi tujuan mereka kendati cuaca hari ini sedang mendung.

Keduanya terkekeh kala saling menceritakan lelucon konyol. Ele memegangi perutnya yang terasa kram saat jokes yang Tora lontarkan terlampau lucu menurutnya. Ia masih tak habis pikir bagaimana bisa di balik wajah tampan paripurna kekasihnya itu terdapat selera humor receh yang bisa membuat Ele menangis saking lucunya.

Setelah bermenit-menit mereka habiskan dengan tawa bersama, hening perlahan-lahan tercipta. Ele menurunkan kaca mobil sehingga tangannya dapat terjulur ke luar. Suatu kebiasaan yang sedari dulu ia lakukan.

Tora menoleh ke arah gadinya. Di wajahnya bertengger sunglasses yang membuat kesan manly-nya semakin terlihat. Dengan celana jins pendek, kaus berwarna putih dan kemeja hitam, Tora sangat lah sempurna. Untuk kesekian kalinya, Ele terpana.

Tora mengajak Ele ke sebuah pantai yang cukup sepi. Tora mengatakan jika pantai ini tidak seramai pantai lain karena pemandangannya yang biasa saja. Padahal menurut Ele, pemandangan pantai ini tak kalah bagus dibanding pantai yang lainnya.

Mobil Tora menepi di tepi pantai. Ele bergegas melepaskan sandal yang ia kenakan dan berlari menyongsong dinginnya air laut. Kecipak air membasahi kedua kaki polosnya. Ia berlari di antara air laut yang merendam sebatas mata kakinya. Gadis cantik itu melambaikan tangannya pada Tora yang masih berdiri di bibir pantai menyaksikan kekasihnya.

“Ayo Tora!” seru Ele.

Akhirnya Tora berjalan menghampiri Ele. Tubuh Tora bergidik kala kakinya menyentuh air. Ele tertawa riang melihatnya.

“Dingin!” ujar Tora.

Ele menarik tangan kekasihnya agar lebih masuk ke dalam air. Dengan jahilnya Ele menciprati baju Tora sementara si empunya berteriak heboh karena kemejanya mulai basah.

“Seru, lho!” Ele mencoba mencipratkan air laut ke wajah Tora namun lelaki itu mengelak dan mencoba kabur darinya.

Ele menghabiskan waktunya dengan tertawa tanpa tahu mimpi buruk apa yang menantinya pada hari itu.

Kilas Balik Selesai

***

“Ini.”

Ele menyorongkan ponselnya ke Van. Ia baru saja mencari lokasi pantai yang akan mereka datangi dengan menggunakan navigasi online. Gadis itu menunggu respon dari perawatnya yang terdiam. Van tidak langsung menjawab permintaan Ele untuk pergi ke pantai pilihannya.

“Kau ... yakin ingin pergi ke pantai ini?” tanyanya.

Ele menganggukkan kepalanya singkat.

“Baik lah,” jawab Van ragu-ragu.

Untuk sekilas, Ele dapat menangkap nada suara Van yang sedikit berubah.

Mengabaikan hal itu, Ele memilih untuk mengulurkan tangannya guna menyalakan radio. Gadis itu mengganti-ganti frekuensi radio selama beberapa kali sebelum akhirnya menentukan pilihannya pada lagu Lovely milik Billie Eilish dan Khalid. Ia menurunkan kaca mobil dan menjulurkan tangannya ke luar. Angin dingin menerpa wajah Ele, mengibaskan rambut panjangnya, dan membuat matanya terasa pedas, tapi ia tak peduli sama sekali.

“Awas lenganmu!”

Van menarik tangannya masuk kembali saat Ele mendengar suara klakson motor dan makian dari seseorang di dekatnya. Van bergegas menutup kaca mobil dan mengumpat pelan. “Kau nyaris terserempet motor!” ujarnya kesal.

Dengan bandelnya Ele hendak membuka kaca mobil lagi namun Van menahannya dengan cepat.

“Jangan, Ele. Kau bisa terluka,” tegur Van.

“Aku tak peduli.” Ele menegakkan posisi duduknya. “Buka kacanya.”

Van menolaknya. “Aku akan membukanya, tapi jangan keluarkan tanganmu.”

“Buka kacanya.”

“Banyak kendaraan di sekeliling kita.”

“Buka kacanya.”

“Baik lah.”

Bibir Ele melengkung membentuk senyuman. Ia merasa menang. Akhirnya nada dingin suaranya membuatnya menuruti perintahnya. Sementara itu, Van dengan hati yang kesal menuruti Ele dan berjaga-jaga jika perempuan itu mengeluarkan lagi tangannya namun untung lah hal itu tak terjadi.

Sepanjang perjalanan mereka habiskan dalam diam hingga keduanya tiba di pantai. Van membukakan pintu untuk Ele. Ketika kaki kirinya menginjak pasir pantai, Ele merasa seluruh tubuhnya lemas bak tak bertulang. Memori demi memori terputar lagi di otaknya.

***

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

“Ayo Ele, lari!” teriak Tora memberikan aba-aba.

Saat mereka sedang asyik bermain air di pantai, tiba-tiba hujan turun deras dan gemuruh angin menggila mengganggu acara mereka. Bagaikan disiramkan begitu saja dari langit, hujan kali itu terasa seperti badai. Ele dan Tora yang kalang kabut pun bergegas memasuki mobil dan meninggalkan kawasan pantai.

Dahsyatnya hujan dengan petir yang menggelegar membuat mereka berhenti pada sebuah hotel yang terletak tak jauh dari pantai. Hotel itu tak terlalu besar namun cukup nyaman dengan nuansa woodish yang mendominasi sebagian besar bangunan. Keduanya berlari dari dalam mobil menuju ke hotel dalam keadaan basah kuyup. Setelah memesan, mereka akhirnya memasuki kamar untuk beristirahat sejenak.

“Ah ... nyamannya.” Tora berbaring di ranjang berukuran besar dengan kedua mata dipejamkan.

Ele duduk di tepian ranjang. Gadis itu tak sengaja melihat bekas luka di kaki kiri Tora. Ele menyentuh bekas luka yang berwarna kebiruan itu dengan pelan. Bertanya-tanya apa yang dilakukan kekasihnya sehingga membuat kakinya terluka seperti itu.

“Ini kenapa?” tanya Ele.

Tora yang merasakan kakinya disentuh pun bangkit dari posisi rebahannya. “Jatuh dari motor,” jawab Tora.

“Apa?” beo Ele. “Kenapa kau tak bilang? Kapan kau jatuh? Dimana? Bagian mana yang sakit?” tanya Ele bertubi-tubi.

“Tidak apa-apa.” Tora menyentuh tangan Ele. “Tidak sakit kok,” ujar Tora menenangkan.

“Tidak sakit bagaimana. Lihat ini! Membiru! Kenapa pula kau tak cerita padaku?” sembur Ele.

“Ini hal kecil. Sudah biasa,” gumam Tora.

Tora menatap Ele dengan tatapan yang sukar diartikan. Tatapan itu terlihat seperti kaget, gemas, dan senang. Alis tebalnya menyatu saat dahinya mengkerut. Ia menatap kekasihnya tajam, membuat Ele harus menelan ludah. Ele tak bisa menafsirkannya. Apakah Tora marah?

Tanpa Ele duga, respon Tora jauh berbeda dari yang Ele pikirkan. Pemuda itu meraup wajah Ele dengan kedua tangannya dan mencium kekasihnya dalam-dalam. Hangat dan lembut bibir Tora membuat Ele terlena dan mengabaikan amukan badai di luar sana. Keduanya terengah dalam sebuah kecupan intens yang penuh dengan gairah. Insan yang tengah dimabuk cinta itu sejenak melupakan batasan, terutama Si Gadis yang kini mulai dibaringkan di atas ranjang dengan kedua kancing bajunya yang mulai terbuka. Kecupan yang semula menginvasi bibir, kini beralih pada leher putih Ele yang basah akan air hujan dan keringat. Ele memejamkan kedua matanya dan nyaris tersedak kala merasakan saliva di bibir Tora kini membasahi telinganya.

“Tor—“

“Kau mau?”

Ele mengerjap saat melihat kekasihnya memundurkan wajahnya sejenak. Ia tahu kemana arahnya. Ia tahu maksud kekasihnya. Dan ia tak kuasa menolak saat tangan lentik Tora mulai membelai perutnya dengan gerakan sehalus sutera. Kemejanya tersibak hingga sebatas dada dan ia menggigit bibir bawahnya saat Tora mulai mengecup bibirnya lagi. Detik selanjutnya Tora berbisik tepat di bibir kekasihnya.

“Boleh, ya?”

Satu pertanyaan itu membuat akal sehat Ele menjadi ambyar.

Hari itu, di hari yang hujan dan penuh dengan petir, Ele membiarkan Tora memiliki hati dan tubuhnya.

Kilas Balik Selesai