Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
“Kak, antarkan aku. Aku terlambat!”
Ele berbicara dengan Reynold dalam telepon. Semalam Sang Kakak kembali ke kantor tempatnya bekerja karena masih ada sisa pekerjaan yang perlu dibereskan. Sang Kakak memang sering menginap di kantor karena lembur, meninggalkannya dan Sang Ibunda sendirian di rumah.
Ayahnya juga sama saja. Ayahnya biasanya hanya pulang tiga hingga lima kali dalam sebulan. Membuat Ele semakin muak padanya.
“Iya. Cepat lah! Tora tidak bisa menjemputku.”
Ele mendengar ungkapan kekesalan kakaknya karena Tora tak dapat meluangkan waktu untuk menjemput Ele, padahal pemuda itu sudah berjanji sebelumnya. Ele kemudian mendengus mendengar ucapan Reynold dalam sambungan telepon. Sudah seminggu ini kakaknya membujuknya untuk memutuskan hubungannya dengan Tora. Meski menurut Ele saran Sang Kakak sungguh konyol, namun ia mencoba memahami karena mungkin kakaknya hanya terlalu khawatir padanya.
“Iya, iya. Aku akan sarapan. Walau pun hanya—“
Ucapan Ele terhenti kala melihat sosok seorang wanita yang berdiri di dapur. Wanita itu mengenakan baby doll berwarna merah muda yang cukup mini, sehingga nyaris menampakkan paha putihnya. Detik berikutnya, wanita itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum lebar padanya. Tangannya menuangkan secangkir teh dengan santai, bagaikan berada di rumahnya sendiri.
Ele mengepalkan tangannya menahan emosi. Wanita ini lagi. Sejak kapan orang asing itu ada di rumah?
“Selamat pagi, Eleanore. Duduk dan makan sarapanmu. Aku sudah menyiapkannya sejak satu jam yang lalu.”
Agatha melambaikan tangannya pada Ele, mengundang Si Pemilik Rumah untuk ikut duduk bersamanya.
“Untuk apa kau di sini? Ini bukan rumahmu. Kau tak boleh seenaknya saja bertingkah!” ujar Ele marah.
Eleanore mendatangi meja yang berisi dengan berbagai macam makanan yang telah disiapkan Agatha. Ia menarik begitu saja taplak yang mengalasi meja tersebut, sehingga piring-piring yang semula tertata rapih seketika berjatuhan di lantai. Suara gelas, sendok, dan pisau yang juga jatuh menimbulkan bunyi pecah yang riuh menyakitkan telinga.
“Pergi dari rumah ini, Jalang! Dan berhenti mengganggu keluarga kami!”
Agatha terlonjak kaget. Ia terlihat begitu marah melihat sikap Si Pemilik Rumah. Dengan wajahnya yang mengesalkan, ia berteriak memanggil nama ayah Eleanore.
“Damian! Kemari!” teriak wanita itu sembari menangis sesenggukkan.
Air mata palsu. Ele sudah terlampau paham dengan kebiasaan wanita murahan itu. Ia terlalu muak untuk menyaksikan drama yang diciptakan parasit yang merusak rumah tangga keluarganya.
Plak.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Ele. Sosok yang ditampar itu menoleh dan mendapati ayahnya tengah menatapnya tajam. Ayahnya lalu mendatangi Agatha dan mengelus-elus pundaknya.
“Sudah, Sayang. Maafkan Eleanore. Dia memang anak kurang ajar.”
Darah Ele seketika mendidih mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Sang Ayah.
“Sayang? Anak kurang ajar? Jalang itu yang kurang dihajar!”
Plak.
Tamparan kedua.
Ele mengusap pipinya yang terasa panas.
“Jaga bicaramu, Eleanore!” bentak Damian. “Dia adalah calon ibumu. Bersikap lah sopan padanya!”
Mata Ele memanas. Bukan karena tamparan dari ayahnya, melainkan karena ucapan Sang Ayah lah yang lebih terasa seperti tamparan baginya. Tega-teganya ayahnya menyebut Jalang itu sebagai calon ibunya, padahal Sang Ibunda masih hidup dan bernapas hingga detik ini juga.
“Kau keterlaluan, Ayah,” ucap Ele nyaris berbisik. “Ibu masih hidup dan berjuang untuk kesembuhannya! Dia masih ada di rumah ini sementara kau malah asyik meniduri wanita lain!”
Tangan Damian melayang lagi di depan Ele. Ele memejamkan matanya untuk menahan tamparan itu lagi.
Plak.
Ele mendengar suara tamparan, tapi tidak mengenai pipinya. Netra Ele terbuka seketika saat menyadari sosok yang ia tampar adalah ibunya. Mata Ele membelalak mengetahui jika ibunya kini tergeletak pingsan di kaki ayahnya.
***
“Cepat datang ke Sunbathe atau aku akan mendatangi cewek jelek itu.”
Tora membaca sebuah pesan yang masuk ke ponselnya semenit yang lalu.
Kelas baru saja usai dan ia sudah duduk di atas motor, siap menemui Eleanore. Tora menjanjikan kepada gadisnya itu untuk mengajaknya jalan-jalan ke tempat yang bagus. Sudah beberapa hari belakangan Ele mengeluh jika wallpaper laptopnya belum berganti dengan yang baru. Katanya, ia butuh foto baru dengan view yang menyegarkan mata. Maka dari itu, Tora memenuhi keinginan Ele untuk mendapatkan koleksi wallpaper baru untuknya.
Sialnya, sepertinya rencana keduanya harus batal karena sebuah pesan yang baru saja ia baca. Lebih sial lagi, Tora tak bisa mengabaikannya. Jika pengirim pesan itu benar-benar mendatangi Eleanore, maka tamat lah riwayatnya. Eleanore pasti akan marah padanya.
Bukan…
Ele akan membencinya.
Dengan sebuah umpatan pelan pemuda itu mengambil helm dan bergegas memacu motornya menuju ke sebuah bar yang sudah sangat ia kenal 2 tahun belakangan. Tora menembus rintik hujan dan dalam waktu yang singkat MV Agusta F4 miliknya sudah terparkir rapih di pelataran bar. Tora berjalan memasuki bar yang ia kenal dengan baik itu.
Bar itu merupakan bar favorit bagi para remaja. Ralat, remaja badung. Seperti Tora dan kawan-kawannya. Mereka biasanya akan membuat kartu identitas palsu untuk mengelabuhi penjaganya. Bahkan untuk beberapa tamu special, mereka akan diberikan akses masuk yang mudah hanya karena tebalnya isi dompet mereka.
“Bro!” sapa Tora ke Mino, bartender yang sudah 2 bulan ini bekerja di Sunbathe.
Mino melemparkan senyumnya sebagai balasan. “Tora!” Bartender itu memberikan rangkulan serta menepuk pundak Tora pelan. Mereka berdua sudah cukup akrab, meski baru beberapa kali bertemu. “Kau harus segera menemuinya. Dia sedang dalam mode nenek sihir,” bisiknya.
Tora tersenyum kecut seraya meninggalkan Mino yang sedang melayani beberapa pelanggan. ‘Dalam mode nenek sihir’ sepertinya bukan hal yang baik. Kaki pemuda itu melangkah menuju ke sebuah sofa putih di ujung ruangan dimana teman-temannya sudah berkumpul dengan dikelilingi cocktail, tequila, dan berbagai alkohol lain.
“Ini dia pahlawan kita! Tora! Van! Beurden!” seru David, salah satu sahabatnya. Ucapannya itu diikuti oleh riuh tepuk tangan dari anak lain yang berkumpul di sana.
“Duduk dan minum lah!” David menyodorkan segelas tequila ke Tora sembari tertawa menyemangati. Tanpa pikir dua kali Tora segera menenggak gelas itu hingga habis tak tersisa.
“Ini baru Tora yang kita kenal!”
Ghani menariknya agar lebih mendekat. Sahabatnya itu mendorong Tora mendekati seorang gadis berambut hitam panjang bergelombang yang sedari tadi menatapnya tajam. Bukannya Tora tidak tahu gadis itu memperhatikannya. Hanya saja ia memang menghindari gadis itu selama beberapa hari belakangan.
Bukan, beberapa minggu belakangan.
Gadis itu memberengut, menatap Tora sebal. Sementara itu, Tora hanya melayangkan senyuman sekilas ke arahnya. Gadis itu lalu menghentakkan kaki jenjangnya dan berdiri tepat di depan Tora. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia merangkulkan tangannya di leher Tora, memeluk erat, dan mencium bibir pemuda itu.
Gadis itu melumat bibir bawah dan atas Tora bergantian. Remasannya di leher Tora semakin mengencang, namun pemuda itu hanya membalasnya dengan menyentuh pelan pinggangnya. Membiarkan gadis itu memimpin apa yang dimau. Setidaknya untuk sementara ini.
Setelah beberapa kecupan kecil, gadis yang mengenakan seragam kekecilan itu melepaskan bibirnya dari Tora. Kukunya yang dihiasi dengan nail arts bermotif bunga menelusuri wajah Tora dari pipi hingga ke rahang, menggoda perlahan. Tora hanya menatap datar pada wajah yang dikenalnya dengan baik itu.
“Kau selalu menghindariku sekarang. Apa kau sudah nyaman dengan Eleanore?”
Claudia, kekasih Tora, menatapnya dengan sorot mata tajam.
Kilas Balik Selesai