Chapter 18: Janji Kosong

Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu

“Mau pesan apa, Pumpkin?”

Eleanore membolak-balik buku menu makanan dengan malas. Di depannya kini tengah duduk dengan tenang; Tora yang hari ini datang dengan menggunakan kaus hitam polos yang dipadu padankan dengan blazer berwarna biru muda dan celana bahan hitam yang terlihat sangat pas di tubuhnya. Tora sesekali melemparkan senyumnya ke arah Ele yang mana diacuhkan karena Ele agaknya sedang kesal padanya.

Terhitung sudah satu minggu ini Sang Ibunda dirawat di rumah sakit. Semenjak insiden ditamparnya Sang Ibunda oleh ayahnya di ruang makan, keadaan ibunya semakin hari semakin memburuk saja. Bukan karena tamparannya. Tentu saja tamparan itu tak banyak berpengaruh padanya. Akan tetapi, dokter mengatakan bahwa pikiran lah yang sangat berpengaruh pada kesehatan Sang Ibunda.

Kanker payudara yang diderita oleh ibunya sejak setahun belakangan ini benar-benar menguras pikiran Sang Ibunda. Ia bahkan tidak kunjung membaik setelah beberapa kemoterapi yang dijalaninya. Ele tahu, Reynold juga tahu bahwasanya sebenarnya Sang Ibunda harus dirawat secara intensif di rumah sakit. Namun ide itu ditolak mentah-mentah oleh ibunda. Wanita paruh baya itu lebih memilih rawat jalan.

Maka dari itu, perawatan pun hampir selalu dilakukan di rumah, kecuali saat terapi saja. Kendati hati Ele selalu terasa teriris-iris ketika melihat keadaan ibundanya semenjak kemoterapi pertamanya, namun ia harus terlihat kuat di depan orang yang paling ia kasihi. Ia mencoba tabah setiap harinya.

Ia harus tegar kala melihat rambut panjang indah milik Sang Ibunda yang perlahan rontok, hingga ke tahap di mana saat ini ibunya tidak memiliki rambut sama sekali. Tubuh ibundanya juga semakin menyusut hari demi hari. Bahkan kaki kuat ibunya yang dulunya biasa digunakan untuk berjalan kaki di pagi hari selama minimal 30 menit sehari saja sudah tak kuat lagi menopang berat badannya. Ibundanya hampir menghabiskan 24 jamnya di atas kasur.

Di atas itu semua, ada satu hal buruk lagi yang tak bisa lepas dari ujian hidup keluarga mereka, yaitu perlakuan buruk Sang Ayahanda ke ibundanya. Padahal Ele ingat betul bagaimana besarnya rasa sayang ayahnya ke ibunya. Dulu mereka saling mencintai sepenuh hati.

Dulu.

Sebelum ayahnya mengenal wanita jahat itu.

Wanita yang perlahan-lahan merebut figur ayah dari keluarga kecilnya. Wanita yang menyiksa ibundanya dengan kelakuannya yang sudah di luar batas kewajaran. Wanita yang bernama Agatha.

Wanita itu usianya hanya terpaut sepuluh tahun lebih tua dari Ele. Agatha adalah sekretaris ayahnya di perusahaan yang dijalankan Sang Ayahanda. Mereka bertemu pertama kali sejak ayahnya mengangkat wanita itu menjadi sekretaris pribadinya, karena sifatnya yang pintar dan cekatan. Malang bagi Ele dan keluarganya karena di balik keputusan ayahnya itu, diam-diam wanita itu mencoba menarik perhatian ayah Ele. Ketika kepercayaan ayah Ele sepenuhnya sudah direngkuh, perlahan-lahan mereka menjalin hubungan gelap.

Saat itu juga bahtera rumah tangga keluarganya yang semula baik-baik saja, harus runtuh tanpa dapat ia cegah.

Ketika mengingat-ingat kelakuan ayahnya yang sudah kelewatan, Ele akan merasakan sakit hati yang luar biasa. Seperti misalnya saat ini. Teganya ayahnya meninggalkan Sang Ibunda di saat-saat seperti ini. Di saat ibunya sangat membutuhkan dukungan dari keluarganya.

Bahkan semenjak seminggu yang lalu dimana ibunya masuk rumah sakit, ayahnya hanya sekali menjenguk ke sana. Itu pun hanya sekitar 10 menit. Tidak kurang tidak lebih. Hanya ia dan Reynold yang setia bergantian menjaga Sang Ibunda. Sesekali mereka akan ditemani oleh bibi-bibi yang setia membantu memenuhi berbagai keperluan yang dibutuhkan.

Di sisi lain, Ele merasa kecewa karena di saat rapuh seperti ini ia tak mendapat dukungan dari kekasihnya, Tora. Sesaat setelah ibunya di rawat dokter, Ele langsung mencoba menghubungi kekasihnya berkali-kali. Selama itu pula Tora tidak mengangkat teleponnya sama sekali. Baru sehari kemudian kekasihnya menelpon balik Ele dan mengatakan bahwa ia sedang berada di luar kota selama karena ada urusan keluarga. Kekasihnya menjanjikan besok ia akan segera menemui Ele.

Dan Tora datang seminggu kemudian.

Jauh lebih lama daripada janji yang ia ucapkan.

Dan disini lah mereka berada, di sebuah restoran cepat saji yang menyajikan menu hamburger berukuran jumbo dengan ekstra daging dan saus spesial yang direkomendasikan oleh kekasihnya. Tora baru saja datang menjenguk ibu Ele dan langsung mengajak kekasihnya itu ke luar. Jika Ele boleh jujur, kali ini bukan lah makan siang yang menyenangkan.

“Babe, kenapa diam saja. Kau mau pesan apa? Hamburger jumbo with extra cheese? Hamburger jumbo with special sauce?”

Ele menggelengkan kepalanya dengan tidak bernafsu. “Aku mau yang kecil saja.”

Tora menatap Ele dengan raut bingung. “Tapi di sini terkenal dengan menu jumbonya, Pumpkin.”

“Aku tak berselera.” Ele meletakkan buku menu di atas meja. Ele memilih menunduk dan memandang jemarinya yang bertaut di balik meja.

Tora mengangguk perlahan kemudian memanggil waiters untuk mencatat pesanan mereka. Tora kembali menawarkan soda, susu, yogurt, squash, dan entah jenis minuman lainnya pada Ele, namun gadisnya itu menolak. Ele memilih air putih sebagai gantinya karena sulit baginya memikirkan makanan dan minuman kala isi kepalanya hanya berkisar akan keselamatan Sang Ibunda dan rasa overthinking yang menjadi-jadi.

“Ele, kau marah padaku?” Tora bertanya dengan nada lembut. Ia mencoba meraih tangan gadisnya yang diletakkan di bawah meja, tapi Ele buru-buru menariknya.

Ele belum menjawabnya.

Sebenarnya ia tidak terlalu marah pada Tora. Dibandingkan marah, ia lebih ke khawatir dan sedikit kesal. Ia curiga dan mau tak mau merasa rendah diri karena Tora kerap dikelilingi teman-temannya yang jauh lebih cantik dan menarik daripada dirinya. Belum lagi perkataan kakaknya beberapa waktu yang lalu yang semakin membuatnya terlewat curiga pada kekasihnya.

Selama tujuh hari Tora sangat sulit untuk dihubungi. Kekasihnya itu selalu membalas pesannya dalam jangka waktu lama. Bahkan hingga berjam-jam. Tidak seperti biasanya yang hanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Tora bahkan tak menelponnya ketika menjelang waktu tidur. Sangat berbeda jauh dibanding sebelumnya di mana ia menjaga komunikasi dengan baik.

Semua hal mencurigakan itu menjadikan Ele merasa tidak menarik lagi di mata Tora.

“Ele, aku kan sudah mengatakannya. Aku pergi menemui keluargaku di—“

“Luar kota,” potong Ele. “Aku tahu. Kau sudah mengatakannya.”

Tora menatap pendar netra Ele yang berkilau. Pemuda itu terlihat gugup dan beberapa kali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ele dapat menangkap kegelisahan yang dirasakan Tora dan ia memilih untuk memalingkan wajahnya darinya. Ele memangku wajahnya menggunakan tangan kanannya dan ia memandang ke arah jendela yang menampilkan puluhan orang yang tengah berlalu lalang di jalanan.

Dalam hati. Jauh di dalam hatinya, ia benar-benar khawatir dengan ucapan kakaknya.

Reynold berkali-kali mengingatkannya jika Tora sering berada di bar dengan seorang gadis cantik. Bahkan Reynold bersumpah, jika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa di suatu malam, ia melihat Tora berciuman dengan gadis itu. Butuh waktu berhari-hari bagi Ele untuk mengenyahkan perasaan khawatirnya. Ia menolak mempercayai ucapan kakaknya namun kali ini, ketakutan menguasai dirinya. Ele takut jika ucapan kakaknya adalah fakta yang sengaja diabaikannya.

Ele meremas blue jeans yang ia kenakan. Ele tak ingin Tora pergi darinya dan memilih perempuan lain. Mencintai perempuan lain. Kepalanya terasa sangat pening saat memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin akan ia hadapi.

“Lalu kenapa kau bersikap seperti ini, Pumpkin? Katakan apa salahku.”

“Kau...” Ele mengumpulkan kata-kata yang tersangkut di tenggorokannya. “Kenapa kau susah dihubungi belakangan ini?”

Tora menjawabnya dengan hati-hati. “Karena ada beberapa hal yang harus ku selesaikan. Belum lagi kesibukanku di sekolah. Kau kan tahu minggu depan aku ada acara Pekan Budaya?”

Ele mengangguk mengiyakan ucapannya.

“Aku tahu kau punya project besar, tapi sebelumnya meski pun kau sesibuk ini, kau selalu menyempatkan diri untuk mengabariku. Kau selalu mengangkat teleponku atau bahkan sekedar membalas pesanku. Sadar kah kau kalau sekarang ini kau bahkan sudah tidak pernah menelponku? Kenapa kau begitu? Kau ‘kan tahu aku sedang dalam kondisi di mana aku membutuhkan dukungan darimu. Ibuku semakin kritis.”

Eleanore mulai terisak. Air mata lolos begitu saja dari netranya saat lidahnya menyebutkan kata ‘Ibu’. Ele menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar. Gadis itu menahan tangisannya dengan menggigit bibirnya. Ia dapat merasakan rasa asin dari darah yang keluar dari bibir bagian dalamnya.

“Pumpkin, astaga, maafkan aku.”

Detik itu juga Tora meninggalkan kursinya dan bergegas duduk di sebelah Ele. Ia menarik tubuh kekasihnya ke dalam pelukannya dan menenggelamkan kepala Ele tepat di dadanya. Jemari panjangnya membelai lembut surai Ele, membuat tangisan yang sempat tertahan akhirnya tumpah juga.

Ele lelah. Ia rasanya ingin menyerah saja jika sudah membicarakan soal ibunya. Ele sangat menyayangi ibunya. Ia khawatir akan kondisi keluarganya yang semakin hari semakin tidak kondusif. Ia begitu takut kehilangan Sang Ibu.

Ia juga takut kehilangan Tora.

“Menangis saja, Pumpkin. Aku di sini.”

Tora mengecup pelan puncak kepala Ele seraya membelai-belai pundak Ele yang terpuruk. Kekasihnya masih terisak, tak peduli dengan keadaan sekitar. Air matanya membasahi kaus putihnya dan gadisnya semakin menyurukkan kepala ke dada bidangnya.

“Aku takut kehilangan kalian,” bisik Ele pada akhirnya.

Bibir Tora mengucapkan kata ‘sshh’ sembari mengecup-kecup pundak Ele. “Kau tak akan kehilangan ibumu, Pumpkin,” ucapnya mencoba menenangkan Ele.

“Bagaimana denganmu? Kau seperti mencoba menghilang dariku. Aku tak mau kau pergi. Aku tak ingin kehilanganmu.”

Sesaat kemudian Tora berucap dengan nada tegasnya.

“Eleanore, hei, dengarkan aku.”

Tora menarik kepala Ele agar menjauh dari dadanya. Ia mengangkat wajah Ele tinggi-tinggi agar sejajar dengan wajahnya. Dengan usapan lembut, ia menghapus bulir-bulir air mata yang masih terpatri di netra Ele.

Di sisi lain, Ele memejamkan mata merasakan sentuhannya. Salah satu tengan Tora menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya yang masih agak menunduk. Eleanore memandangnya. Menyelam di kedalaman mata indahnya.

“Aku tak akan kemana-mana, Eleanore. Aku akan selalu di sampingmu, apa pun yang terjadi.”

Janji itu terucap.

Janji yang akan selalu ia ingat. Bahkan ketika netra indah itu tak dapat lagi dilihat...

Kilas Balik Selesai