Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
Setelah mendamaikan suasana hati Ele yang bergejolak, Tora kembali menawarkan gadisnya untuk memilih makanan sebanyak yang ingin dipesan. Ele kembali menggeleng lemah sebelum Tora membujuknya untuk memilih setidaknya beberapa makanan dan minuman karena sungguh, menurut Tora, kali ini wajah Ele cukup pucat. Beberapa hari merawat orang sakit tentu bukan hal yang mudah. Apalagi Tora tak membantu Ele sama sekali.
Alibinya yang mengatakan jika ia pergi karena mengurus urusan keluarga membuatnya merasa bersalah. Ele, kekasih selingannya, dengan mudah mempercayai omong kosongnya. Bagi Tora, Ele terlalu naif. Gadis itu terlalu mudah dibodohi, dan ia sedikit menyesal karena telah berbohong pada Ele.
Ia tidak pergi ke luar kota, tentu saja. Waktu di mana ia menghilang dari peredaran Eleanore, digunakan untuknya berduaan dengan kekasih pertamanya, Claudia. Claudia bersikeras memaksanya untuk menemani berlibur di ujung kota. Pacar nomor satunya itu berkata bahwa waktu yang harusnya mereka habiskan bersama namun kerap Tora habiskan dengan Ele membuat hatinya serasa terbakar. Padahal ia sendiri yang meminta Tora untuk mengikuti taruhan tempo waktu yang lalu.
Itu sebabnya Claudia memaksa Tora untuk membayar waktu yang hilang itu dengan menghabiskan quality time dengannya. Mereka praktis membolos selama sepekan untuk saling memadu kasih di tengah penderitaan gadis yang tak tahu menahu mengenai rahasia lelakinya. Keduanya saling berbagi canda tawa dan gurauan tanpa mempedulikan perasaan Eleanore yang tengah kalut. Sebegitu brengseknya Tora memperlakukan Si Gadis Taruhan itu.
“Cokelat bisa meredakan bad mood. Aku pesankan milkshake ya, Cantik?”
Eleanore menghela napasnya. Pada akhinya ia menunjuk satu menu di buku menu sembari menatap Tora yang tengah menggenggam tangan kanannya. Mau tidak mau Ele tersenyum melihat perlakuan manis yang sedari tadi dilakukan oleh kekasihnya itu.
“Milkshake yang ini saja. Ada cerinya.”
“Kau suka ceri?”
Ele mengangguk-angguk. “Buah favoritku,” jawabnya.
“Uniknya,” komentar Tora. Pemuda itu menuliskan menu yang dimaksud Ele di atas secarik kertas yang diberikan pelayan. “Biasanya ‘kan buah favorit itu buah yang gampang ditemukan. Jeruk, melon, pisang, apel. Baru kali ini ada orang yang suka buah yang jarang dimakan sehari-hari.”
Bibir Ele menyunggingkan sebuah senyuman manis. Ia mengingat kenangan manis di benaknya. “Ibuku dulu suka membuat kue. Setiap kali aku ulang tahun, kakakku ulang tahun, ayah ulang tahun, atau pun acara keluarga lain, ia selalu membuatkan kue dengan ceri sebagai hiasannya. Aku kerap membantu ibu di dapur, namun ibu sering menegurku karena yang ku lakukan bukan membantunya melainkan hanya menghabiskan buah cerinya. Sejak saat itu aku suka makan ceri. Kami punya banyak stock di dapur.”
Tora terkekeh mendengar penuturan Ele. Tawa darinya menular pada Ele karena saat ini gadis itu juga mulai tertawa bersama Tora. Tora senang melihat gadisnya kembali tertawa. Ia mengusak rambut halus kekasihnya sembari menggumam pelan.
“Gemasnya.”
Keduanya kemudian memberikan kertas pesanannya pada pelayan dan menunggu hingga makanan dan minumannya dihidangkan. Selama menunggu itu Ele dan Tora kembali bersenda gurau selayaknya pasangan normal pada umumnya. Ele beberapa kali tertawa mendengar lelucon yang dilontarkan Tora. Gadis itu bahkan sampai memegangi perutnya menahan sakit melihat tingkah laku Tora yang selalu tak pernah kehabisan akal dalam membuatnya tertawa.
Tingkah laku Tora membuyarkan kegelisahannya. Melihat begitu manisnya sikap dan afeksi yang diberikan Tora membuatnya yakin kalau ketakutannya tak beralasan. Ia percaya jika Tora tak mengkhianatinya. Ia yakin peringatan kakaknya hanya angin lalu belaka. Itu sebabnya Ele kembali tersipu saat Tora kini tengah mengecup buku jarinya yang terasa bak diselimuti es karena suhu ruangan yang terlalu dingin.
“Dingin,” celetuk Ele.
“Padahal ruangannya tidak dingin-dingin sekali. Mungkin kau lapar.”
“Sembarangan.”
“Kau ‘kan belum makan. Orang lapar bisa mudah kedinginan, lho.”
“Tapi dingin betulan ini.”
“Mau peluk?”
Ele memukul pundak Tora dan tertawa pelan. Ucapan Tora yang terkadang frontal membuat pipinya terasa panas. Ia mengabaikan godaan Tora dan memilih berbisik karena khawatir pelanggan lain bisa mendengarnya.
“Banyak orang di sini! Kalau bicara jangan asal!”
“Aku serius kok. Kalau kau mau, aku bisa memelukmu lagi seperti tadi,” tawar Tora seraya mengangkat kedua alisnya.
“Tadi ‘kan kelepasan.”
“Tapi suka, ‘kan?”
“Ini dia pesanannya. Silakan menikmati.”
Seorang waiter yang mengenakan seragam abu-abu dengan rok berwarna senada datang dan mengagetkan mereka berdua. Waiter itu terlihat sedikit limbung karena membawa dua buah nampan yang terisi penuh dengan pesanan mereka. Sialnya, saat pelayan itu telah meletakkan salah satu nampan, nampan lainnya yang berisi Chocolate Milkshake Ele dan Green Tea Latte pesanan Tora terjatuh. Kedua minuman itu sukses tumpah di pangkuan Tora, membuat celana bahan dan kaus polos yang Tora kenakan terkena minuman itu.
“Sial!”
“Astaga, maafkan saya, Kak.”
Waiter itu buru-buru mengambil tisu bersih yang ada di meja dan menyerahkannya pada Tora seraya meminta maaf berkali-kali.
“Babe, astaga. Celana dan kausmu basah sekali.”
Ele membantu Tora mengelap kaus dan celananya menggunakan tisu itu. Dengan kesabaran yang patut Ele acungi jempol, Tora membiarkan waiter itu pergi tanpa berdebat sepatah kata pun dengannya. Si Pelayan buru-buru mengatakan akan mengambilkan minuman baru dan buru-buru menghilang dari hadapan Tora dan Ele.
“Kau tidak kena milkshake-nya, ‘kan, Babe?”
Ele menggelengkan kepalanya.
“Benar-benar ceroboh. Kenapa pula sih dia harus membawa dua nampan seperti itu?” Dengan bersungut-sungut Ele menggosokkan lembar tisu baru ke kaus milik kekasihnya.
“Sudah lah. Tak apa, Babe.” Tora bangkit berdiri dari duduknya. “Ku rasa aku harus membersihkannya sebentar di toilet. Tunggu di sini, Pumpkin.”
Ele mengangguk mengiyakan. Seketika Tora langsung berjalan menuju toilet pria yang berada tak jauh dari tempat mereka duduk. Sepeninggal Tora, Ele mengumpulkan beberapa gumpal tisu kotor dan hendak membuangnya ke tempat sampah.
Saat ia baru saja berdiri, ia melihat handphone milik Tora bergetar. Tora ternyata meninggalkan ponselnya begitu saja di atas meja. Karena ada sebuah panggilan masuk dan ia penasaran, ia pun mengambil ponsel itu dan melihat nama yang tertera di layar.
'My Bae Claudia'
Ele menelan ludah saat membaca nama yang tertera di layar ponsel kekasihnya. Siapa Claudia? Bae? Bukan kah kata Bae merujuk pada panggilan sayang untuk seseorang? Belum lagi kata ‘My’ yang begitu ganjil menurutnya.
Jangan-jangan…
Tanpa pikir panjang Ele pun mengangkat panggilan itu.
“Sayang, kau di mana? Aku terbangun dan mendapatimu sudah tak ada di kamar. Apa kau menemui Ghani?”
Jantung Ele berhenti berdetak.
Ele tak dapat berkata-kata saat mendengar ucapan dari sosok perempuan di seberang sana. Suara itu terdengar serak seperti baru saja bangun tidur. Suara perempuan itu asing dan terdengar agak sensual. Intonasinya menggoda siapa pun yang jadi lawan bicaranya.
“Sayang? Kau mendengarku? Kau ini ke mana sih? Katanya nanti malam mau nonton film dan menginap di rumahku? Jadi, ‘kan?”
Tubuh Ele terasa sangat lemas. Lututnya bergetar dan ia buru-buru mencengkeram meja sebelum terjatuh. Perutnya seketika terasa mual kala beberapa kata seperti ‘sayang’, ‘kamar’, ‘menginap’, dan ‘rumahku’ menari-nari di kepalanya. Suara perempuan itu menggema di telinga. Dadanya mendadak terasa sesak dan ulu hatinya nyeri mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Si Perempuan.
“Sayang, jangan bilang kau sedang dengan Si Idiot Eleanore itu. Kau ‘kan selalu bilang kalau Ele itu gadis bodoh yang membosankan. Kemarin saja kau bilang kalau kau muak melihat wajah inosen Ele. Jangan sampai kau malah bertemu dengan—”
“Siapa kau?”
Hanya itu yang terlontar dari bibir Eleanore. Telinganya terasa panas. Nyeri di dadanya semakin terasa dan ia kesulitan untuk bernapas. Rasa sakit itu menjalar dari dada, naik ke tenggorokan, dan kini membuat matanya memanas menahan emosi. Di sisi lain, suara perempuan itu sedikit hilang. Ele pikir mungkin perempuan itu kaget karena bukan Tora yang menjawab panggilannya.
“Apa itu kau? Eleanore? Si Bodoh Eleanore yang sok polos?”
Suara perempuan itu kembali mengalun. Nadanya begitu merendahkan. Begitu mencela. Seolah-olah ia menertawakannya di seberang sana.
“Kau siapanya Tora?”
Perempuan itu tertawa mendengar pertanyaan Ele.
“Jadi benar ini kau Eleanore? Oh astaga, aku tidak menyangka bisa berbicara langsung denganmu. Selama ini Tora selalu melarangku untuk bertemu denganmu. Padahal aku ingin sekali bertemu dengan orang bodoh dan naif sepertimu.”
“Katakan siapa kau sebenarnya,” gumam Ele dengan suara yang nyaris hilang.
Sosok di seberang panggilan itu tertawa lagi. “Sesuai yang tertera di layar ponsel Tora, tentu saja. Aku My Bae Claudia, atau Baby Claudia, atau mungkin Claudia saja. Aku yakin Tora sudah mengganti namaku di ponselnya agar tidak ketahuan olehmu,” jawab Claudia. Perempuan itu kemudian menambahkan lagi. “Eh, mungkin saja tidak. Kemarin aku baru mengganti ulang namaku di ponselnya waktu ia sedang tidur di sebelahku.”
Tubuh Eleanore menegang. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Bayangan peringatan Sang Kakak terngiang-ngiang di kepalanya.
“Aku belum berkenalan secara resmi denganmu kalau dipikir-pikir. Kenalkan, Bodoh. Aku Claudia. Kekasih Tora.”
Detik itu juga pertahanan yang Ele bangun seketika runtuh.
Hatinya terasa sakit. Rasanya begitu sakit. Ia tidak menyangka jika peringatan kakaknya ternyata benar. Ia tidak menyangka jika kekasihnya akan mengkhianatinya. Bukan hanya mengkhianati, namun juga menjelek-jelekan namanya di belakangnya. Ia benar-benar kehilangan pijakannya karena saat ini tubuhnya telah merosot dan terduduk di lantai.
Ele meremas dadanya kuat-kuat saat air matanya jatuh satu demi satu. Ponsel Tora masih ia tempelkan di telinga kanannya. Ia tak peduli lagi dengan orang-orang di sekelilingnya yang kini mulai memperhatikan. Ia tak peduli bahkan saat sosok di sambungan telepon itu tertawa lagi lebih keras dari sebelumnya.
Rasanya menyakitkan. Ia mempercayai kebohongan palsu selama beberapa bulan. Ia bahkan menentang ucapan Sang Kakak, berdebat membela kekasihnya yang jelas-jelas menduakannya. Topeng yang ditunjukkan Tora terlalu indah. Akting yang dilakukan Tora terlalu nyata sehingga ia jatuh pada bualan dan buaian yang melambungkannya ke awang-awang.
Ele masih menangis dalam diam kala sosok yang menyakiti hatinya itu berjalan dengan langkah ringan ke arahnya. Tora tersenyum lebar sebelum menyadari benda apa yang sedang Ele pegang. Nyeri di dadanya semakin menjadi-jadi saat melihat Tora membelalakkan matanya. Seolah menegaskan bahwa ia baru saja ketahuan.
“Eleanore, dengarkan aku!”
Detik itu juga Ele melangkah menjauh setapak demi setapak dari hadapan sosok yang sangat ia cinta.
Kilas Balik Selesai