Chapter 20: Tawa Lepas Ele

“Dari mana kau tahu aku suka ceri?”

Pertanyaan itu berhasil membuat Van, untuk sejenak, mendadak gagap. Tanpa dapat dilihat Eleanore, pria itu kini menggaruk tengkuknya dan mencari-cari jawaban yang kiranya pas untuk pertanyaan Ele. Hingga setidaknya lima detik kemudian, ia menjawabnya.

“Mmm … maksudku, ceri akan cocok jika ditaruh di atas tart. Semua orang pasti suka makan ceri yang ada di pucuk kue, ‘kan?”

Ele belum puas akan jawaban Van dan hendak menanyakan lagi sebelum perawat itu sudah terlebih dahulu menempelkan buah ceri tepat di depan bibirnya.

“Aaa...”

Ele membuka mulutnya mengikuti titah Van. Gadis buta itu mengunyah buah mungil di mulutnya dalam diam. Rasa manis seketika menjalar di dalam mulutnya ketika giginya saling berbenturan saat mengunyahnya. Ini enak. Ele suka.

“Kau suka?”

Ele mengangguk lagi. Secara otomatis, tangan gadis itu terulur untuk mengambil sebuah lagi dari mangkuk namun Van langsung menahannya sejenak. Van mengambil buah itu darinya. Ele hendak melayangkan protes yang buru-buru dicegah Van dengan cara berkata ‘Ssh’ keras.

“Tunggu sebentar. Masih ada tangkainya. Aku patahkan dulu.”

Ia mematahkan tangkai kecil yang tertancap di bagian atas ceri dan menyuapkan lagi buah manis itu ke mulut Eleanore. Tanpa Ele sadar, ia diam-diam tersenyum sendiri saat mengunyahnya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia memakan buah ini. Buah ini memberikan gambaran kenangan manis antara dirinya dan ibunda di masa lalu.

“Manis sekali,” ujar Ele.

“Sama sepertimu.”

Ele menelan ceri itu tiba-tiba sehingga membuatnya tersedak. Ia terbatuk-batuk seraya memukul dadanya. “Apa katamu?” tanya Ele keras.

Gadis itu masih sedikit terbatuk kala Van memberikan segelas air putih padanya. Ia buru-buru meminumnya ketika matanya terasa panas dan hampir kehabisan napas. Tangannya bahkan ia kibaskan untuk mendera panas di dada dan tenggorokannya.

“Hati-hati lah saat mengunyah, Eleanore,” tegur Van dengan nada khawatir. Pria itu menepuk-nepuk punggung Ele dan mengusapnya perlahan.

Ele mengenyahkan tangan Van yang bertengger di tubuhnya dan langsung menodongkan gelas yang telah kosong itu padanya. Ia menarik napas perlahan-lahan. Tubuhnya merinding.

Ia bergidik karena yakin betul jika bulu kuduknya meremang bukan karena terbatuk, melainkan karena physical touch yang diberikan Van. Sentuhan Van di punggungnya terasa bagaikan sengatan. Ia tiba-tiba merasa tidak nyaman.

“Kau bilang apa tadi?” tanya Ele lagi.

Van bergumam tidak jelas mengungkapkan kata dan kalimat ‘tidak, ‘jangan dengarkan aku’, dan ‘lupakan’ berulang kali. Terdengar jelas jika pria itu tengah kikuk. Ele menatap bingung pada Van dan memutuskan untuk mengabaikan celetukan dari Van.

“Kau mau black forest kukus atau panggang?”

“Kukus,” jawab Ele singkat.

Setelah mendapat jawaban dari Ele, Van segera mengolah bahan-bahan yang telah tersedia. Ia membuat adonan kue yang terdiri dari telur, gula pasir, baking powder, tepung terigu, maizena, cokelat bubuk, dan beberapa bahan lain.

Pria itu dengan ragu-ragu memasukkan beberapa takar bahan, kemudian menambahkannya lagi saat dirasa masih kurang. Sejujurnya ia masih ragu karena tak pernah sekali pun dalam hidupnya ia bertemu dengan segala pernak-pernik dapur. Hidupnya selalu dipenuhi dengan gelimang harta. Apa pun yang ia minta pasti tersedia. Untuk apa ia coba masak atau membuat makanan?

Namun berbeda dengan sekarang. Demi Ele, Van mau mencoba hal yang sangat asing baginya.

Di sisi lain, Ele yang berdiri di sebelah Van hanya diam saja sembari mendengar celotehan Van yang menyebutkan langkah demi langkah selanjutnya. Gaya bicaranya bagaikan seorang chef yang memberikan instruksi kepada muridnya. Sesekali Van akan berujar ‘yeah’, ‘no’, ‘sial’, dan sejenisnya.

“Kau harus mencampurnya dengan takaran yang benar. Jangan lupa pisahkan kuning telur dan putih telurnya. Gula pasirnya juga harus pas. Sekitar seratus lima puluh gram saja. Jangan lebih, jangan kurang. Nanti tak enak.”

Demi kesopanan semata, Ele mengangguk-angguk patuh padahal ia tak yakin dengan perawatnya. Feeling-nya mengatakan jika Van tengah dilanda kegugupan dan bingung. Ia dapat merasakan rasa canggung yang menguar dari pria itu. Akan tetapi, karena Van telah berbaik hati padanya, kali ini ia memilih untuk lebih jinak seraya sesekali membantunya dengan mengulurkan telur atau sendok.

“Kau mundur sedikit, Ele. Di depanmu ada kompor. Aku akan menyalakannya untuk melelehkan mentega.”

Ele mengikuti perintah Van dan mundur 2 langkah sehingga punggungnya menempel dengan meja.

Suara desisan wajan yang beradu dengan mentega memenuhi dapur ini. Aroma lelehan mentega seketika menguar, membuat perut Ele yang mulai lapar kini sedikit berbunyi. Ele menekan perutnya dengan menggunakan tangan kanannya agar Van tidak mendengarkan bunyi perut itu.

“Eleanore, kau bisa mengambil loyang lingkaran di atas meja? Tepat di sebelah ceri tadi. Di belakangmu.”

Ele membalikkan tubuh dan meraba-raba meja makan yang luas. Tangannya menyentuh sebuah benda berbentuk lingkaran namun dengan ukuran yang tidak terlalu lebar. Ele meraba-raba benda itu. Bentuknya terlalu tipis. Ia ragu-ragu karena ukuran dan ketebalannya terlihat tidak pas untuk disebut loyang kue.

“Ini?” tanya Ele sembari mengacungkan benda itu.

“Bukan. Yang sebelahnya,” titah Van. “Yang kau pegang itu nampan buah.”

Ele meletakkan lagi nampan buah itu dan meraba tepat di mana nampan tadi berada. Gadis itu menyentuh permukaan sebuah benda yang cukup dingin. Ia mengangkatnya dan mengetuk-ketuknya dengan kuku jari. Sepertinya kali ini benar.

“Apa ini loyang?”

Van langsung bergumam setuju. “Good job, Ele. Sekarang bisa kah kau mengolesi loyang itu dengan margarin? Margarin dan sendoknya ada tepat di sebelah dark chocolate. Cokelat itu ada di dekat tangan kirimu persis.”

Kembali menurut, Ele mengambil margarin kemudian mulai mengolesi loyang itu perlahan-lahan. Ele menggunakan insting dalam menyelesaikan tugasnya ini. Jemari kurus Ele bergerak dari kiri ke kanan. Cukup mudah menurutnya. Ia tersenyum puas setelah selesai melakukannya.

“Aku sudah selesai,” ujar Ele seraya mengangkat loyang itu untuk menunjukkannya pada Van.

“Bagus, Ele. Bagus sekali. Sekarang tunggu sebentar, ya. Aku sedang menyelesaikan ini.”

“Apa yang sedang kau lakukan?”

Ele mendengar suara dentingan sendok dan mangkuk. Dentingan itu cukup berisik di telinga Ele. Van terdengar seperti sedang mengaduk sesuatu.

“Aku sedang membuat isi dari kuenya.”

“Boleh aku mencobanya?”

Van menghentikan kocokannya. Beberapa detik kemudian Ele merasakan dinginnya mangkuk yang diletakkan oleh perawatnya di kedua tangannya. Van telah memindahkan mangkuk adonan itu ke tangan Ele, sehingga gadis itu kini memeluk mangkuk.

“Kocok dengan perlahan namun bertenaga.”

Ele lagi-lagi mengikuti arahan Van. Van memintanya untuk mengerahkan tenaga saat mengaduk adonan di tangan Ele. Perawatnya itu beberapa kali menegurnya seraya terkekeh karena Van rasa, tenaga yang dikeluarkan Ele kurang mantap saat mengaduk. Van sepertinya sengaja menggodanya dengan teguran karena menurut Ele, ia sudah mengocok adonan itu sekuat tenaga.

Saking kesalnya karena gerakan tangan yang dinilai masih kurang, Ele mengaduk adonan itu dengan sangat kencang sehingga membuat sedikit adonan cokelat itu terciprat ke wajahnya. Cipratan itu mengenai pipi, kelopak mata, dan ujung hidungnya. Ele mengumpat pelan seraya melepaskan tangannya dari kocokan dan mangkuk.

“Ah, wajahku!”

Elanore mengerang kesal seraya menghapus cipratan di wajahnya. Nyatanya, usahanya untuk mengusap noda di wajah malah membuat cokelat itu semakin merata di kulitnya. Van yang berdiri di sampingnya terbahak-bahak melihat Ele berantakan sembari menggerutu. Tawanya begitu puas menggelegar di dapur, bukan kekehan ringan seperti yang sebelum-sebelumnya ia perlihatkan.

“Wajahmu! Ele, kau sangat belepotan!”

Ele mendesah kesal seraya mencoba menjilat-jilat ujung hidungnya. Tawa dari Van sangat tidak membantunya. Ele yang mendengar tawa Van merasa begitu terganggu. Ia kemudian segera mencolek adonan cokelat di tangan dan mengusapkannya dengan asal ke sosok di sebelahnya itu

“Oi! Kau menodai dahiku!”

Kali ini giliran Ele yang terkikik mendengarnya. Gadis itu mencolek lagi adonan dan mengoleskannya ke arah Van berkali-kali, membuat pria itu tertawa karena usahanya untuk membuatnya terlihat berantakan berhasil. Ele yakin ia berhasil mengoleskan cokelat itu pada dagu, hidung, serta pipi Van.

“Eleanore! Hentikan!” Van menahan Ele agar tidak menyerangnya lagi, namun masih diiringi dengan tawa yang lepas. “Kau mengotori seluruh wajahku! Bahkan rambutku juga kena! Wah, kau benar-benar—“

Ele menjulurkan lidah untuk mengejeknya. “Salah sendiri menertawakanku!”

“Biar lah aku belepotan cokelat seperti ini. Yang penting kau senang. Ini pertama kalinya kau tertawa kencang.”

Ujaran dari Van membuat Ele seketika menghentikan tawanya. Ia tidak sadar telah tertawa, jujur saja. Bibir yang semula tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat, kini ia katupkan. Ele kembali pada mode cuek yang selama ini selalu ia tampilkan. Dirinya tak ingin jika Van berpikir ia jadi semudah itu berubah. Toh, memang ia tidak berubah.

Hanya tertawa sedikit.

Akhirnya Ele dan Van melanjutkan aksi pembuatan black forest dengan wajah dan dalam kasus Van, rambut, yang penuh dengan cokelat. Hingga saat ini Ele bahkan masih menjilat-jilat pipinya yang kini terasa manis. Ele mengabaikan fakta jika wajahnya kotor dan ia memilih membantu Van sebisanya.

Dalam hati, ia merasa senang karena Van sedari awal selalu memintanya untuk menjadi asisten dadakan. Selama ini di rumahnya ia jarang memiliki kesempatan itu. Orang-orang akan selalu menganggapnya sebagai seorang penyandang disabilitas yang memiliki gerak terbatas. Ia dilarang melakukan banyak hal yang melibatkan memindahkan barang. Hanya di Pusat Komunitas dan saat bersama Van ia bebas membantu tanpa ada teguran.

“Pegang dan tahan, ya. Aku akan menuangkannya ke dalam loyang.”

Ele merasa jika kini Van tengah menuangkan adonan itu pelan-pelan. Ia memegangi sisi kiri dan kanan loyang, menahannya agar tidak miring atau pun terjatuh. Setelah beberapa detik saat semua adonannya itu masuk ke dalam loyang, Van mengambil alih Loyang itu. Pria itu mengangkatnya dan memasukannya ke dalam panci yang sudah ia sediakan. Van berkata, butuh 20 menit agar kukusannya matang dengan sempurna.

Ele melepaskan sarung tangannya untuk mengusap rambut yang menutupi matanya. Ia merasa rambut yang menutupi wajahnya agak mengganggunya. Tangannya gatal ingin menguncir rambut itu ke belakang.

“Kau mau ke salon untuk potong rambut?”

Seolah memahami yang tengah dirasakan Ele, Van bertanya seraya berjalan ke belakang gadis itu. Lelaki itu mengambil jedai yang terdapat tak jauh darinya dan mulai menyentuh helaian lembut surai Ele.

“Apa yang kau—”

“Jangan berisik. Aku cuma mengikat rambutmu agar tidak mengganggu.”

Ele menepis tangan Van yang telah bertengger di kepalanya. “Lepaskan! Tanganmu kotor!” tuduhnya.

“Tanganku bersih.”

“Aku bisa kucir sendiri.”

“Ssst. Menurut sebentar, bisa? Aku cuma menguncir rambut, bukan membuatnya botak.”

Ele kali ini mengiyakan permintaan Van dan memilih berdiri diam. Ia dapat merasakan jemari Van yang kini tengah berusaha mengumpulkan rambut tebalnya menjadi satu genggaman. Tengkuknya meremang. Sentuhan ringan dari Van membuat tubuhnya membeku.

Ini pertama kalinya ia membiarkan orang lain menyentuhnya cukup lama.

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali seseorang membantunya dalam hal-hal kecil seperti ini. Ia memang tak terbiasa, namun bukan berarti tak mau mencobanya. Dalam diam Ele mencengkeram tepian meja saat tubuh Van dirasa berdiri terlalu dekat dengannya. Ia bahkan memejamkan mata hingga sampai seluruh rambutnya berhasil terangkat dan diuntai menjadi sebuah gelungan yang terkunci menggunakan jedainya.

Eleanore hampir terjatuh ketika di detik berikutnya ia merasakan sebuah kecupan seringan bulu dibubuhkan di tengkuknya.