"O, Aruindale. Pagimu untuk bunga, dan malammu untuk bulan. Rajamu menarik pedang, dan darah membentuk bunga yang mekar."
Sebuah ungkapan terkenal di Aruindale yang bermakna kejayaan dan harapan. Tidak seperti negeri lainnya di Benua Livadia, Aruindale sangat menghormati bunga. Negeri terluas di Livadia ini memiliki hamparan padang bunga yang sama luasnya dan beragam. Mereka menganggap bunga lebih dari sekadar hiasan, tapi simbol yang lebih mendalam pada segala unsur kehidupan, kematian, romansa, penderitaan, kesedihan, hingga kehormatan.
Mereka menggunakan bunga untuk mengungkakan perasaan mereka, seperti Lavender yang bermakna kesetiaan, Amoria yang bermakna cinta, dan Bunga Bulan yang bermakna harapan di tengah keterpurukan.
Bunga juga menjadi etika dalam budaya para warga atau kerajaan. Ketika seseorang memberi bunga berwarna merah secara langsung maka orang itu memiliki niat untuk bermusuhan, tetapi jika bunga berwarna biru berarti ajakan untuk saling mendekatkan diri. Hal tersebut juga akan berubah menyesuaikan tempat dan kondisinya.
Aruindale tak hanya tampak indah saat pagi hari saja. Malam pada dataran Aruindale memberikan berbagai macam kesan pada tiap makhluk hidup yang tinggal di sana. Sepasang manusia yang saling jatuh cinta menganggap malam hari di Aruindale sangat romantis, dipenuhi bintang-bintang yang membentuk formasi dengan bulan sebagai inti utama menciptakan momen tak terlupakan bagi siapapun yang menikmati malam mereka bersama kekasih hatinya. Para prajurit yang mendapat tugas berjaga memiliki kesan yang melelahkan. Berjaga sepanjang malam di tengah kegelapan malam, entah apa yang terjadi jika mereka lengah sebentar saja. Meskipun mereka membenci malam hari dan apa yang bersembunyi di balik kegelapan, mereka tetap melaksanakan tugasnya dengan sigap. Bagi para warga lainnya, malam adalah saat di mana mereka mengistirahatkan jiwa dan raga mereka dari penatnya siang hari. Setelah sibuk membersihkan seisi rumah yang dipenuhi debu, memberi makan ternak mereka, serta memenuhi kebutuhan mereka di pasar.
Bagi Faye, sosok yang menjadi sumber sihir yang ditakuti Penyihir Kerajaan, malam hari adalah waktu terbaik untuk menikmati keindahan dataran Aruindale. Ketika bulan berada di puncaknya, segala burung hantu dari berbagai jenis dan berbagai pohon berkumpul di tengah hutan dan menyanyikan lagu favoritnya. Lagu yang mengisi seluruh hutan tanpa membangunkan mereka yang terlelap dalam mimpinya.
Meski bagi orang lain hanya sekadar mendengar kicauan burung hantu, tapi baginya adalah simfoni malam yang tak akan pernah berakhir. Malam hari adalah favoritnya, tak ada yang boleh mengganggu suasana hatinya meskipun itu raja dari seluruh daratan atau anak kecil yang tidak sengaja tersesat. Serangga sekecil apapun yang mengganggu malamnya akan terkena amarahnya. Amarah yang membuat bulan bersembunyi di balik awan dan bintang-bintang menghilang di kegelapan serta pepohonan yang berhenti menggoyangkan dahannya. Namun, sejak kemunculan gadis desa itu, sedikit demi sedikit dia berubah. Ada seseorang yang selalu membuatnya sibuk dan jengkel justru mencairkan kembali hati dingin Faye.
Fase bulan akan berganti setiap harinya dan saat itulah dia menikmati malamnya dengan berbeda-beda. Bulan purnama adalah favoritnya. Pada saat itu nyanyian burung hantu terdengar lebih jelas dibanding gesekan dahan pohon dan deruan aliran sungai. Suara gemuruh petir pun akan teredam oleh nyanyian burung hantu. Sedangkan gerhana adalah yang paling dia benci. Pada saat gerhana, penyebaran energi gelap meningkat drastis dan akan memenuhi dataran dan hutan. Emosi negatif menyebar lebih cepat ke seluruh makhluk hidup termasuk burung hantu, menyebabkan nyanyian malam menjadi kacau dan tak teratur, memaksa gadis itu memakai penyumbat telinga yang terbuat dari kapas dan bulu burung.
Kolam mata air yang memantulkan cahaya bulan menjadi tempat favoritnya ketika dia tidak bisa menikmati nyanyian burung hantu, selain sebagai tempat untuk menyegarkan tubuh. Cahaya mungil dari kunang-kunang beterbangan di sekitar kolam, memberikan penerangan alami ketika sedang menghabiskan waktunya. Dia hanya mencelupkan kakinya di kolam dan memandang refleksi dirinya. Menurut cerita dari orang-orang yang beruntung masih menyimpan sisa ingatannya, kolam inilah yang terkenal akan khasiatnya yang dapat membuat siapapun yang berendam di sana tepat saat bulan purnama berada di atas kepala, akan mendapatkan kehidupan kekal. Cerita itu tidak sepenuhnya benar, tidak harus menunggu bulan purnama untuk mendapatkan kehidupan tanpa merasakan sakit dan umur tua.
Selain kolam, sumber mata air lainnya adalah Sungai Nieor-sungai yang mengalir jauh dari Laut Elythia, melewati Dataran Kayu Hitam dan Hutan Burung Hantu. Sungai ini terdiri dari ekosistem yang beragam dan tak akan ada habisnya. Banyak yang percaya bahwa tanaman yang tumbuh sepanjang pinggiran sungai ini akan menerima berkah dari sang rembulan. Tanaman itu akan bercahaya dan menggantikan sinar bulan di malam hari, menuntun mereka yang tersesat ke sumber mata air terdekat. Tanaman inilah yang disebut sebagai Pollymoon. Faye yang bersemayam dalam hutan tersebut menghormati segala sesuatu yang rembulan berikan kepada makhluk hidup lainnya meskipun cahaya yang terpancar mengganggu keagungan dan keaslian cahaya dari sang bulan sendiri.
Berbagai macam cahaya telah berusaha menyinari hutan yang konon gelapnya mengalahkan malam. Namun, cahaya paling indah bersinar datang dari gadis ini. Bukan cahaya yang terang berwarna kuning keemasan yang menghangatkan. Tetapi cahaya yang membuat kejahatan apapun membeku jika berpapasan dengannya. Cahaya ini diagungkan oleh para penghuni Hutan Burung Hantu dan mereka yang terpilih, karena cahaya ini mampu melindungi mereka, menjaga mereka, dan memberi mereka kenyamanan meski dalam badai sekalipun. Bukan cahaya terang atau gelap, tapi cahaya yang mampu berjalan bersama mereka.