Iuuhh Siapa Itu?

Seorang lelaki sedang duduk memandangi sebuah foto. Tangannya gemetar seiring gemuruh amarah yang mendesak dalam hatinya.

"Saya tidak mau menikahi wanita ini." Tolak Faisal tegas. Alis pak Gunawan bertaut karena kaget.

"Tapi Pak ...."

Faisal menoleh cepat ke arah Pak Gunawan. Tatapannya yang memanas nyaris membuat pengacara keluarganya itu mengucurkan keringat.

Dia tidak ingin dinikahkan dengan gadis dalam foto itu. Bukan menolak lantaran dia penyuka sesama jenis atau tidak normal. Tetapi paras wanita itu membuat matanya perih.

"Apa pak haris sudah tidak waras? Atau jangan-jangan mata pak Haris bermasalah? Lihat wanita ini! Lihat! Bahkan untuk kategori pembantu saja dia akan terdiskualifikasi. Lantas mau jadi istri saya? Yang benar saja pak." Suara Faisal meledak-ledak dalam ruangan ini.

"Mendiang istri saya mantan manajer. Sekarang pacar saya calon insinyur. Tapi tiba-tiba saya harus nikah sama perempuan nggak jelas. Apakah populasi wanita di dunia ini sdh musnah hingga saya harus menikahinya? Saya bisa malu!"

Atmosfer dalam kantor pak Haris langsung berubah gerah. Padahal volume AC dalam ruangnya sangat dingin namun entah kenapa, kalimat Faisal sukses membuat pria berkaca mata itu mengipas gerah.

Gunawan melirik foto Melani. Wanita itu tidak jelek. Lebih terkesan manis. Tapi kalau dibandingkan dengan pacar Faisal, maniknya melirik wanita bak model yang duduk di sebelah Faisal, jelas jauh beda.

Vena mengikat rambut panjangnya. Dia ikutan gerah. Wajah putih kebule-bulean memerah mirip kepiting rebus.

"Kalau misal Faisal tidak mau, gimana, Pak? Faisal ini pacar saya. Dia janji mau menikah dengan saya. Tapi kenapa tiba-tiba malah mau menikah dengan ondel-ondel?"

Tangan lentik memijat pelipis. Isi kepalanya kacau. Bagaimana mungkin merelakan pacar kebangaan menikah dengan wanita lain. Bayangkan saja, pacaran tiga tahun tapi bubar jalan gara-gara wasiat.

Gunawan melepaskan napas dari mulut. Dia sendiri hanya notaris. Kenapa malah dijadikan sasaran demo.

"Maaf, saya tidak bisa berbuat banyak. Terpaksa rumah sakit akan dihibahkan kepada yayasan yang selama ini dikelola oleh almarhum."

"Shi...t" Faisal mengumpat tertahan. Kepalannya memukul kusen jendela. Ini adalah hal kedua yang membuat emosinya tidak stabil setelah kepergian istrinya.

Vena menggigit bibir bawah. Menenggelamkan wajah di kedua tangan. Matanya berkunang-kunang. Seandainya dia bisa pingsan saat itu juga, biar Pak Gunawan tahu, bagaimana cintanya pada Faisal.

Dia telah menggantungkan hidupnya pada pria itu. Menyerahkan dirinya dan percaya seratus persen Faisal akan memberikan pernikahan dan kehidupan yang indah. Tapi...

"Kenapa bisa jadi seperti ini," desahnya kacau. Kehidupan indah itu amblas.

Pandangan Faisal lesu. Dia tahu tekanan yang diterima Vena. Dia sudah mengecap tubuh wanita itu. Tergila-gila padanya. Dan kini sebagian otaknya blank. Hanya ditumbuhi emosi yang menjalar ke seluruh sarafnya.

"Stefan berengsek!" Tangan Faisal lagi-lagi menghantam dinding.

Kedua manusia di dalam ruangan itu terkejut. Vena baru kali ini melihat Faisal marah. Tubuhnya bergetar. Bergeser ke sudut sofa, khawatir Faisal melampiaskan amarah yang belum pernah dia ketahui.

Pria itu sadar Vena ketakutan. Dia segera memeluk kekasihnya. Mengusap bahunya lembut. "Maaf, Sayang, kau tunggu saja di mobil. Aku akan selesaikan ini dengan Pak Gunawan."

Vena mendongak. Memandang ragu, meski kemudian mengangguk lirih. "Selesaikan segera. Aku tidak mau jadi sampah. Kalau kamu mencintaiku, perjuangkan aku."

Dia mengambil tas bermerk miliknya. Hentakan heels terdengar keras seiring dia pergi.

Kini, tinggal dua laki-laki itu. Usaha terakhir Faisal adalah mengintimidasi notaris kepercayaan keluarga. Bagaimanapun, dia tidak ingin dan tidak akan pernah menikah dengan wanita pilihan papinya.

Gunawan menatap manik Faisal. Manik itu seperti akan melahap tubuh jangkungnya. Meremukkan tulang, sehingga melenyapkan dari muka bumi.

"Carikan cara lain. Saya tidak mau menikahi wanita ini." Telunjuk Faisal menekan kasar foto bekas remasan. "Saya akan berikan uang berapapun asalkan Pak Gunawan mengganti surat wasiat papi saya."

Sayangnya Gunawan lebih memilih kredibilitas ketimbang uang.

"Maaf, saya tidak bisa. Profesi saya dipertaruhkan. Kenapa tidak setujui saja menikah dengan Mbak Melani? Rumah sakit ini perjuangan keluarga Atmajaya. Pak Faisal tega menyerahkan harta berharga Pak Pambudi karena pacar? Bu Widya pasti tidak setuju kalau rumah sakit pindah ke tangan orang lain. Bagaimana Pak Faisal membiayai semua keperluan? Ini hanya menikah, Pak. Bukan membunuh orang."

Faisal termenung. Seperti ada sengatan pikiran di kepalanya. Lalu satu sudut bibir itu tertarik ke atas.

"Ini hanya menikah, heh?"

***

Lima hari kemudian

Gending lagu jawa bergaung di rumah mewah keluarga Atmajaya. Janur kuning melengkung, menghias di kedua pagar tinggi.

Tamu-tamu yang hadir hanya dari kalangan keluarga. Sesuai dengan permintaan Faisal. Bahkan tidak ada rekan kerja atau teman yang hadir di sana.

Widya bersyukur Faisal menyetujui wasiat mendiang suaminya untuk menikahi Melani. Melani sendiri bukan orang asing dihidupnya. Gadis itu anak dari sahabat Pambudi. Wanita yang santun, baik dan sederhana walau penampilannya, yah begitu-gitu saja. Berbeda jauh dari pacar Faisal.

Widya sebetulnya suka kalau mempunyai menantu seperti Melani. Hanya saja, momen Pambudi menjodohkan Melani dengan Faisal tidak tepat. Karena ada satu wanita yang harus terluka, yaitu Vena.

Tapi Faisal sudah meyakinkan jika dia mau menikahi pilihan papinya. Sehingga Widya memutuskan untuk segera menikahkan Faisal dan Melani. Sebelum keputusan Faisal akan digoyahkan hasutan setan.

Wanita itu melihat kursi undangan telah penuh dengan pihak kekuarganya dan keluarga Melani. Tadi dia juga sudah mengecek ke kamar rias pengantin wanita yang diletakkan di kamar tamu.

Melani telah selesai dengan riasan kebaya putih dengan sanggul simpel. Senyum gadis itu terlihat manis dengan lesung pipi di pipi chubbynya.

Lalu sekarang giliran dia menengok Faisal di kamar. Namun tidak ada seorang pun di sana.

"Mana anak laki satu itu. Disuruh nikah, kayak disuruh sunat."

Widya meminta bantuan Bi Nur mencari ke seluruh ruangan.

"Meleng sedikit saja, itu anak sudah hilang." Widya mencari sambil mengomel.

Masalahnya, kakinya pegal karena sandal dengan tinggi heels tiga centi. Belum lagi jarit yang membelit pinggang sampai mata kaki.

"Jadi anak kok nyusahin. Awas kalau nanti ketemu. Mami sunat dua kali."

Widya juga meminta tolong pada adik Pambudi untuk mencari anaknya. Tetapi sia-sia. Faisal tidak ditemukan di rumah itu.

"Apa Pak Faisal kabur, ya, Bu?" celetuk Bi Nur tanpa dosa. "Sudah dicari di mana-mana tapi nggak ada."

"Apa? Kabur? Nggak mungkin, Bi. Yang minta nikah itu dia."

Seorang tetangga yang dipercaya sebagai penjaga kendaraan para tamu, menepuk bahu Widya hati-hati.

"Ada apa?"

"Anu, Bu, Mas Faisal, kayaknya pergi." Pria itu menunjuk ke luar rumah.

"Hah? Faisal beneran kabur! Mati aku!" pekik Widya melemas.

***