Istri yang Tidak Diharapkan

Suara sah bergema di ruang tamu. Widya hampir terserang penyakit jantung saat Faisal dikabarkan kabur. Untung tidak lama pria itu kembali.

Wajah tanpa dosanya duduk di kursi depan penghulu hanya dengan kaos yang dibalut dengan jaket. Keluarga Melani berdengung rendah sambil melirik mempelai pria. Melani hanya menunduk bingung di kursi.

Widya berbisik rendah di telinga anaknya. "Kamu ngapain pakai baju kayak gitu. Mana jasmu?"

"Panas, Mi. Yang penting sah." Faisal mengipasi leher.

Widya menggeram rendah. "Awas kamu jangan aneh-aneh."

Faisal mengacungkan jempol. Dengan lancar dia mengucap ijab qobul. Walau begitu, wajahnya datar. Bahkan tidak ada debaran dalam hatinya. Sekedar kalimat ijab dan qobul yang tidak ada makna. Di dalam pikirannya hanya ada dua kata. "Cuma menikah."

Melani bernapas lega. Pria yang baru dikenalnya hari ini mampu mengucapkan kalimat sakral tanpa cacat sedikitpun. Bisa mengucap nama lengkapnya beserta almarhum ayahnya dengan suara yang tegas dan lembut.

Ini pernikahan yang tidak pernah dia bayangkan. Hanya melihat foto dan bertemu saat hari H pernikahan. Dia hanya tahu, calon suaminya adalah seorang duda. Di luar dugaan, pria yang menjadi suaminya sangat tampan meski hanya menggunakan jaket di hari pernikahan.

Debaran terus memacu jantung Melani. Berdiri di samping suami yang tingginya sepuluh centi darinya. Apalagi aroma parfum yang bisa membuat Melani melemas.

Bagaimana malam pertamanya nanti? Mendadak pipi chubby itu semerah tomat gara-gara membayangkan hal yang tidak-tidak.

"Ciee buka segel. Selamat ya, Sal. Akhirnya setelah sekian tahun, malem-malem nggak empet lagi," canda sepupu dekat.

Faisal tersenyum kecut. Menepuk bahu sepupunya dengan tidak berhasrat. Manik cokelat gelap menerawang ke arah pintu ke luar. Tiba-tiba, Faisal melangkah pergi dari sisi istrinya.

Melani refleks mengejar dan mencekal tangan suaminya. "Mas mau ke mana?"

Faisal melempar pandangan merendahkan. Melani sadar tatapan benci, tidak suka, dan muak, segera melepaskan cekalannya. Hati yang bahagia itu mendadak nyeri.

"Istirahat. Capek. Kamu urus sendiri tamunya."

Wanita itu melongo. Dia ditinggalkan di pertengahan acara dengan alasan receh. Kakinya mendadak menjadi jelly. Tidak sanggup menerima penolakan yang jelas.

Tamu yang lainnya memergoki Faisal menyelinap ke luar rumah.

"Eh, pengantin cowoknya ke mana itu?"

"Kabur? Apa beli bakso?"

"Dengar-dengar, Faisal terpaksa menikah sama yang ini."

"Loh, bukan ini pacarnya?"

"Bukan lah! Pacarnya yang dulu kayak bule."

"Eh iya. Pantes kok yang dulu sama yang sekarang beda."

Melani mematung di tengah tamu-tamu. Dia ingin menjadi tuli. Tidak mendengarkan apapun yang mencela pernikahan mereka. Bisikan-bisikan mereka mencabik pikiran dan perasaannya. Apalagi mulut wanita dari keluarga Faisal. Tajam dan mengiris.

Hatinya mendadak tercubit. Pria yang baru saja menjadi suaminya sengaja pergi. Membiarkannya malu menghadapi para tamu.

***

"Faisaal!" Widya mencubit lengan anaknya dengan sangat gemas. Kuku-kukunya yang sedikit panjang ikut menancap pada kulit Faisal. "Kamu malu-maluin Mami di depan orangtua Melani!"

Faisal meringis. Dia mengusap lengannya yang perih. Bekas cengeraman kuku maminya juga ada di sana.

"Mau kamu apa sih? Katanya mau nikah sama Melani. Tapi tiba-tiba ngilang, tiba-tiba muncul. Emang kamu kuntilanak, hah! Kamu kabur ke mana tadi?"

Faisal mengedikkan bahu. "Faisal mau tidur. Capek." Dia meregangkan badan, lalu menuju ke kamar tidur tamu.

Widya melotot. "Dasar anak laki. Seenaknya sendiri. Kamu tadi dari mana, Sal?"

"Ngopi!"

Blam! Pintu kamar tertutup. Widya mendesah panjang. Dia sadar, pernikahan ini salah. Tidak hanya menyakitkan satu orang saja, tapi banyak orang.

Dia sendiri tidak mengerti kenapa suaminya memutuskan hal yang tiba-tiba. Memberikan rumah sakit dengan syarat Faisal menikahi Melani. Padahal mereka tahu Faisal sudah memiliki pacar dan berencana akan menikahi Vena.

Kalau memang berencana begitu, kenapa suaminya tidak dari dulu menolak Faisal pacaran dengan Vena? Dan menjodohkan langsung Faisal dengan Melani.

Pemikiran rumit Pambudi tidak dimengerti Widya.

"Ibu nggak tidur?" Suara Melani mengagetkan Widya. Kepalanya celingukan. "Mas Faisal ke mana, ya?"

Widya kebingungan. Hatinya merasa tidak enak. Baru jadi menantu, Melani sudah dicampakkan oleh Faisal. "Kamu mau makan?" Dia berusaha menghibur.

Melani menggeleng. "Aku mau bicara sama Mas Faisal, Mi."

Manik Widya melihat ke arah Faisal tadi menghilang. "Kamu istirahat dulu di kamar ya. Faisal masih ingin sendiri," ucapnya pelan. "Besok kamu bisa ngobrol sama dia.

Melani menunduk. Dia tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut. Wajahnya sudah dibuat malu oleh Faisal. Setidaknya, dia harus tahu, apa alasannya.

"Tapi Mas Faisal di mana?" tanyanya lirih. "Aku harus bicara sekarang."

"Dia ada di kamar tamu." Kepala Widya mengedik ke arah kamar di belakang Melani.

Melani menoleh pintu yang beberapa jarak di belakangnya. "Aku ke sana, Mi."

"Mel...." Widya memegang bahu besar dengan sudut mata melorot.

***

Bugh!

Di kamar tamu, Faisal meninju tempat tidur. Pernikahannya tidak sesuai harapannya. Seharusnya malam ini adalah malam pertamanya dengan Vena. Malah dia harus tidur berpelukan dengan guling.

"Cewek nggak jelas! Stwfan brengsek!"

Ini gara-gara Stefan. Faisal semakin engap dengan sikap Melani yang sok perhatian dan sok sibuk membantu ini itu setelah acara pesta. Padahal sudah ada orang yang bertugas membersihkan

"Dasar caper. Kampungan," dengus Faisal.

Dia bergelung di tempat tidur. Memeluk guling. Memejamkan mata dan memutar kisah-kisah indah bersama kekasihnya. Kalau bukan karena ayahnya meninggal, saat ini dia pasti masih bersama Vena.

'Siapa juga yang mau menikahi wanita gemuk, jelek, dan sok baik. Apanya yang baik? Mana ada wanita baik menghancurkan impian orang lain.'

Tangan Faisal menghujam bantal. Melampiaskan amarah yang datang saat memikirkannya.

"Apes. Pacaran sama bidadari, nikah sama kurcaci."

Faisal sudah hampir terlelap. Samar, mendengar pintu kamar terbuka.

"Mas, sudah tidur? Apa kita bisa bicara?"

Faisal terlonjak. Suara itu lembut, tapi cukup membuat Faisal berang. Matanya membola seperti melihat makhluk astral.

"Siapa yang suruh kamu masuk? Ketuk pintu dulu! Nggak pernah diajari sopan santun?"

"Tapi kan aku istri kamu, Mas. Apa masalahnya aku masuk tanpa ketuk pintu?" Melani mengkerut ketakutan. Baru jadi istri, sudah dibentak. Gimana kalau sebulan? Bisa-bisa jadi ayam geprek gara-gara sakit hati.

Faisal melotot. "Kamu memang istriku. Tapi aku tidak mengizinkan kamu masuk. Ini kamarku. Dan kamarmu di sana. Atau kalau mau tukeran juga boleh."

Hati Melani tergerus. Kata-kata itu sangat menyakitkan. Dia pikir sosok tampan itu akan sangat menyayangi dan melindunginya walau baru bertemu. Ternyata, ketampanan pria itu hanya topeng untuk menutupi wajah iblis sesungguhnya.

Wanita itu menunduk pasrah. Kedua tangannya meremas daster bunga-bunga yang baru dia beli. Khusus dipakai untuk di depan suaminya. Harusnya dia tidak perlu menghamburkan uang untuk terlihat cantik di depan suaminya.

"Keluar sana!"