Gundah Gulana

Jelita menghela nafas kasar, melanjutkan perkataannya yang terkesan lebih dominan ketimbang Bisma.

“Semua yang kamu lakukan akan jadi pembicaraan publik yang akan berlangsung terus-menerus. Don’t be stupid, Bisma! Jadi siapa wanita itu, siapa wanita yang jadi pesaingku?”

Bisma mendengus kasar, mana mungkin maminya tak memberitahukan Jelita, sepertinya tidak mungkin. Atau memang maminya menutupi Hayu, karena dia malu Bisma berhubungan dengan Hayu. Pikiran Bisma berkecamuk, antara mau memberitahukan Jelita atau tidak. Namun setelah menimbang-nimbang sebaiknya dia tidak mengatakan apapun pada jelita.

“Nanti kamu juga akan tahu, sudahlah, aku mau bekerja lagi, kalau kamu jadi mengajakku pergi kamu datang saja menjemputku, barangkali kamu juga rindu dengan Candra dan mau melepaskan kerinduan kalian,” ucap Bisma mengejek Jelita.

“Nggak usah aneh-aneh, sekarang kamu yang jadi calon suamiku!”

Bisma berdecak kesal, “Kamu tahu, aku akan menolak perjodohan kita!”

“Silakan saja kalau kamu bisa, aku tahu orang seperti apa Mamimu itu.”

Bisma mengakhiri obrolannya dengan Jelita. Berpikir bagaimana caranya agar bisa membuat niat maminya untuk menjodohkan mereka itu batal. Sejenak dia berpikir, jika dia pergi dengan Jelita, maka gadis itu akan semakin sulit melepaskannya, dia tahu bagaimana watak Jelita, dan juga, maminya akan semakin yakin jika perjodohan yang dia rencanakan mulai berhasil.

Bisma mengumpati dirinya kenapa dia begitu plin-plan, tadi menerima ajakan Jelita, sekarang dia menyesali perkataannya.

Dia sungguh frustrasi, memikirkan hubungannya dengan Hayu selalu saja membuatnya stres, dia melamun, mencari cara agar bisa membantu Hayu meluluhkan maminya.

Bisma terjengit kaget saat pintu ruangannya diketuk, dia pikir itu sekretarisnya, hampir saja dia memaki-makinya. Kebiasaan buruknya yang selalu dia lakukan ketika sekretarisnya mengganggu atau tidak becus mengerjakan sesuatu. Setitik kecil kesalahan yang dilakukan sekretarisnya akan membuatnya murka dan memaki-makinya. Itulah kenapa banyak orang prihatin dengan Hayu yang menjadi kekasihnya.

“Apa aku mengganggu?” tanya Candra pada sahabatnya yang terlihat banyak pikiran itu.

“Tentu saja tidak, kamu atasanku, kenapa kemari, seharusnya kamu menyuruhku datang ruangan kamu saja, kenapa? Apa ada hal penting yang ingin kamu sampaikan padaku?”

Candra mengangguk membenarkan perkataan Bisma, entah kenapa Bisma seperti tahu ke mana arah pembicaraan Candra. Dia mendesah pelan mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.

“Apa perlu sekretarisku menyediakan minum untukmu, Ndra?”

“No need, aku sudah minum tadi di sana, kamu tahu bukan? Aku hanya ingin bertanya padamu tentang beberapa hal.”

Bisma berusaha menampilkan senyum pada Candra, meski dalam hatinya dia merasa gugup, takut mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.

“Apa ini mengenai Hayu? Atau Jelita,” tebak Bisma pada sahabatnya itu.

“You know me well, Bis. Aku tidak suka membicarakan urusan pribadi di kantor, jadi pertanyaanku akan seputar pekerjaan kita.”

Ada setitik rasa lega di hati Bisma mendengar jawaban yang d berikan padanya “Lalu? Apa ada masalah dengan pekerjaanku, kamu nggak mencurigaiku melakukan penyelewengan dana, bukan?”

Candra terkekeh dengan kata demi kata yang keluar dari mulut Bisma yang terkadang kekanakan dan tidak berpikir panjang, ”Aku belum gila untuk mencurigaimu, lagi pula untuk apa, uangmu lebih banyak dariku, jangan aneh-aneh Bisma.”

“Terus.”

“Mamimu bilang kamu akan ditarik ke perusahaan Papimu, jadi sebelum kamu keluar aku akan mencari pengganti, dan tolong sebelum aku menemukan penggantimu, kamu masih harus datang bekerja.”

Bisma berdecak kesal, rahangnya mengetat, dia tak ingin keluar dari perusahaan Candra, apalagi Hayu juga bekerja di situ, keinginan Maminya memang tak bisa di ganggu gugat.

Bisma menyugar rambutnya frustrasi, “Lalu kamu bilang apa? Ini pasti ada hubungannya dengan Hayu, aku tak mau keluar dari sini, Ndra. Aku nyaman bekerja di sini.”

“Percuma kamu bilang begitu padaku, nggak akan ngaruh juga, aku hanya mengatakan apa yang kanjeng mamimu bilang padaku, jadi kalau kamu mau banding, sebaiknya kamu bilang dengan Mami kamu sendiri.”

Candra mulai paham, apa yang dipikirkannya sungguh terjadi, mami Bisma tidak merestui hubungannya dengan Hayu. Candra tidak kaget dengan hal itu, bagi keluarga Candra status sosial itu nomor satu.

“Aku hanya mau menyampaikan itu saja padamu,” ucap Candra berdiri dari duduknya dan hendak membuka pintu. Sesaat ia menoleh ke arah Bisma.

“Bis, bis malam, kalau kamu nggak bisa memperjuangkan Hayu, biar aku saja yang memperjuangkannya.”

Bisma melotot ke arah Candra, hendak mengumpat Candra. Sayangnya, belum sempat Bisma membuka mulutnya, pintu sudah tertutup dengan keras.

Blam..!

Bisma kaget, “Untung aku nggak punya penyakit jantung, dia ingin aku mati!”

Bisma mengelus dadanya, memikirkan apa yang dikatakan Candra padanya. Dia harus menelepon maminya untuk memastikan perkataan candra padanya, dia nggak mau kembali ke perusahaan papinya.

Mengambil ponselnya, dan menekan nomor maminya. Dia tak sabar, ingin berbicara dengan maminya. Beberapa kali deringan tetap sama saja, tak di jawab. Bisma yang kesal pun melempar ponselnya sembarangan. Dia berdiri dari kursi kebesarannya, mendekati jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Matahari mulai redup, sedikit demi sedikit kembali ke peraduannya. Bisma menatap awan yang berarak di langit biru. Melihat burung-burung beterbangan kembali ke habitatnya Membayangkan dia bisa sebebas mereka tanpa aturan ini dan itu.

Bisma mengerang kesal dengan hidupnya yang selama ini banyak aturan ini dan itu, tidak boleh ini dan itu. Terkadang ingin berontak, tapi dia tak mungkin melakukan itu. bagaimanapun dia anak-satu-satunya, dia tak tega menyakiti maminya.

Mengingat bagaimana perlakuan maminya pada Hayu ketika mengajaknya datang ke rumah membuat hatinya ngilu. Dia tak menyalahkan maminya tapi juga tak tega melihat perlakuan maminya pada calon istrinya itu. Mau membela pun Bisma tak mampu melakukannya, dua-duanya orang yang sangat dia cintai. Maminya yang berjuang melahirkannya, bertaruh nyawa untuknya.

Hayu, wanita yang selama ini menemaninya, sosok tangguh dan dewasa yang mampu membuatnya berpikir agak jernih dibanding kekasihnya yang dulu yang sama-sama kekanakan.

Bisma melipat tangan di dada, dia lupa jika tadi sempat mengiyakan ajakan Jelita. Tapi juga berjanji dengan kekasihnya untuk bertemu sepulang jam kantor. Hayu sama dengan Candra, mereka tidak suka mencampur-adukan urusan pribadi dan pekerjaan.

Melirik jam di pergelangan tangannya, hampir waktu pulang. Dia menarik nafas berat, seberat beban pikirannya, yang tak menemukan solusi meskipun sudah berpikir sejak tadi, dia bahkan lupa jika harus menyiapkan laporan untuk akhir bulan. Meskipun punya sekretaris dia tidak suka menyuruh sekretarisnya itu yang mengerjakan laporan keuangannya, dia hanya menyuruhnya membantu saja. Kalau soal pekerjaan Bisma memang berdedikasi tinggi, itulah kenapa Candra mau saja menerima dia menjadi bagian dari perusahaannya.

Bisma keluar dari ruangannya hendak menemui Hayu, sayangnya orang yang baru saja dia pikirkan itu terlihat sedang bersama seseorang.

-bersambung-