Main Hati

“Aku sudah selesai makan, mau ke toilet, dan tak sengaja melihat kalian di sini, jadi sebagai kawan, tentu saja aku menyapa kalian. Ngomong-ngomong terima kasih tawarannya, Jel. Tapi sayangnya aku tidak tertarik!”

Candra seolah memanasi mereka berdua.

“Kamu! Apa kamu masih menyimpan rasa bencimu untukku!” seru Jelita menatap Candra. Menelisik, mencari kebohongan di bola matanya.

Sungguh Jelita kecewa, tak ada tatapan penuh cinta yang terlihat di mata Candra seperti dulu, saat dia begitu menyukai Jelita. Entah kenapa Jelita merasa kecewa, padahal dia lebih menyukai Bisma ketimbang Candra.

“Aku tidak mau membuang waktu dan energiku untuk membenci seseorang, Jelita. Kamu tahu itu. Kita sudah lama berteman jadi kamu tahu bagaimana watakku,” ucapnya santai. Dia melenggang pergi meninggalkan Bisma dan juga Jelita.

Bisma menoleh menatap Jelita, “Apa kamu kecewa karena dia sudah tidak mencintaimu lagi? Jadi sebenarnya siapa yang kamu pilih di antara kami, Jel. Tolong, kamu pastikan hatimu dulu, dan tolaklah perjodohan yang Mami kita lakukan.”

Jelita menatap sengit ke arah Bisma. “Bagaimana bisa kamu mengatakan itu padaku, Bisma, kamu nggak punya hati!”

Bisma menggoyangkan gelas margaritanya. “Kamu tahu bagaimana perasaanku, jadi aku memberikan kamu kesempatan, padamu, Jel. Aku tahu ada kecewa yang memancar dari bola matamu ketika Candra mengabaikan kamu. Apa sekarang kamu baru sadar kalau kamu menyukainya?”

“Shut your mouth! Kamu hanya ingin aku menghindar darimu bukan, dan membatalkan perjodohan kita?”

Jelita yang kesal meninggalkan meja Bisma, moodnya terjun payung, setelah mendengar perkataan Bisma barusan. Dia memilih pulang tanpa berpamitan dengan Bisma yang masih meneguk Margarita miliknya. Bisma tak memintanya tinggal, dia malah membiarkan Jelita pergi begitu saja.

Dia senang Jelita pulang sendiri. Itu artinya dia bisa langsung datang ke rumah kekasihnya, Hayu. Keluar dari VV lounge and bar, dia mengarahkan kemudinya menuju Perumahan Melati.

Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya, hampir pukul sembilan malam, itu artinya dia hanya punya kesempatan sebentar untuk berbicara dengan kekasihnya. Dia melajukan kendaraannya di atas rata-rata agar cepat sampai di sana.

Ponselnya berdering.

‘Mami calling’

Bisma mengabaikan panggilan maminya, kalau sampai maminya tahu Bisma ke rumah Hayu, pasti semuanya akan berbuntut panjang. Yang ada dia akan diomeli dan tak jadi bertemu dengan Hayu.

Sampai di depan rumah Hayu, Bisma bergegas turun dan melangkah menuju pintu, mengetuknya beberapa kali.

Tok..tok..tokk!

Ibu Hayu membukakan pintu, dia tersenyum menatap calon menantunya itu.

“Kenapa datang malam-malam, Nak. Ayo masuk, Ibu panggilkan Hayu dulu.”

“Sudah malam, Bu. Sebaiknya saya menunggu Hayu di teras saja. Saya tidak mau pak RT datang menggerebek kami,” canda Bisma pada Ibu Hayu.

Ibu Hayu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia memang tahu Bisma suka bercanda dengannya.

Beliau melangkah menjauhi Bisma dan memanggil Hayu, mengetuk pintu kamar anaknya dengan lembut. Meskipun kamar Hayu terbuka, dia tidak mau lancang, masuk begitu saja, dia takut mengganggu putrinya.

“Masuk saja, Bu.”

“Nduk, Bisma sudah menunggumu di bawah. Cepatlah temui dia, kasihan kalau harus menunggu lama.”

Dengan enggan Hayu meninggalkan kamarnya, dia tidak mau terjadi adu mulut di rumah. Dia takut ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Bergegas Hayu turun, melangkah meninggalkan ibunya dan menghampiri Bisma yang duduk di teras.

Bisma yang melamun terjengit kaget saat Hayu sudah berada di hadapannya.

“Yu, kamu marah padaku?”

Hayu menggeleng, untuk apa dia marah, toh kenyataannya memang Hayu tak bisa lagi menjalin hubungan sehat dengan Bisma. Bisma memegang tangan Hayu.

“Jangan menyerah, aku mau kamu berjuang demi kita, please. Bantu aku meluluhkan Mami, mungkin dengan kamu yang sering datang ke rumah, membantunya masak, atau membuat kue kering. Dia sangat menyukai hobinya itu, Yu.”

Hayu merasa tertohok dengan perkataan Bisma, membantu maminya masak. Feel like go to hell, dalam hati dia mengumpat kekasihnya yang tak tahu diri, dia takut mereka merendahkan Hayu lagi.

“Bagaimana cara kamu membantuku, Bis. Sementara kamu semakin dekat dengan Jelita Manjalita,” ucap Hayu ketus.

Bisma tertawa terbahak-bahak, “Kamu cemburu? Aku masih mencintaimu, aku cemburu melihat kedekatan kamu dengan Candra.”

“Kamu gila! Aku dengan Candra hanya atasan dan sekretaris! Bukan seperti kamu dan Jelita!”

“Pelankan suaramu, kamu mau Ibu mendengar perkataan kamu,” bisik Bisma.

Hayu diam, pikirannya menerawang, apa dia mencoba saran Bisma dulu, untuk sering datang ke rumah Bisma. Mencoba meluluhkan mami Bisma dan membuktikan bahwa dia bisa menjadi calon menantu yang baik.

“Hayu, Yu. Kenapa melamun?”

“Aku berpikir untuk mencoba ide yang baru saja kamu ucapkan.”

Bisma tampak bahagia mendengar perkataan kekasihnya itu, “Besok hari Minggu, aku akan menjemput kamu dan membawamu ke rumah, rencananya besok Mami akan membuat cookies, aku jemput kamu jam sembilan pagi, bagaimana? Deal?”

Hayu mengangguk, sejujurnya ada sedikit keraguan di hatinya, dia takut hatinya tidak sekuat semen tiga ban yang kokoh itu. Tapi tekadnya kuat, dia akan mencoba sebisa yang dia mampu. Pantang menyerah sebelum berperang.

“Aku pulang dulu, jangan lupa besok aku menjemput kamu. Tidur yang nyenyak, perjuangan akan kita mulai besok pagi,” ucap Bisma mengelus rambut Hayu yang terasa lembut dan harum.

Hayu termangu, namun sejurus kemudian dia sadar saat kalimat menyebalkan dari mulut Bisma itu keluar. “Jangan terlalu dekat dengan Candra di luar pekerjaan, aku nggak suka!”

Bisma melangkah pergi meninggalkan halaman rumah minimalis itu, masuk ke dalam mobilnya dan kembali ke jalanan. Dia bahagia Hayu mau menuruti permintaannya. Ponselnya berdering, Maminya menelepon dia lagi. Memasang Wireless earbuds.

“Halo, Mi. Bisma lagi di jalan. Sebentar lagi sampai di rumah.”

Maminya berdecak kesal, “Kenapa kamu tidak mengantarkan Jelita pulang ke rumah! Sudah berani kamu melanggar perintah Mami, apa ini karena perempuan itu!”

Bisma mengumpat Jelita dalam hati, entah apa yang dikatakan Jelita pada maminya, hingga maminya menelepon dan mengatakan bahwa dia tidak mengantar jelita.

“Mi, Mami percaya dengan Bisma atau Jelita? Anak mami aku, lho. Bukan Jelita. Bukannya aku tak mau mengantarkan Jelita pulang, Mi, tapi Jelita memilih untuk pulang sendiri. Bisma nggak minta Mami percaya, tapi coba Mami pikirkan lagi seperti apa anak Mami ini!”

“Jangan meneriaki Mami, Bisma. Di mana sopan santun kamu pada orang tua. Mami nggak mau tahu, dalam waktu dua puluh menit, kamu harus sudah sampai di rumah!”

Teriakan maminya yang bagai petasan menggaung di telinganya. Dia bahkan sempat memegangi telinganya yang berdengung karena teriakannya yang membahana itu.

Dengan kecepatan penuh dia melesat. Sampai di rumah, maminya sudah menunggunya di pintu sembari berkacak pinggang. Seseorang yang bersembunyi di belakang maminya keluar, menatap tajam ke arahnya.

-bersambung-