Koin di tangan Qiana berputar, terus saja berputar melingkar, koin itu tidak mau berhenti ke tempatnya. Qiana kebingungan apa yang harus dilakukan, siswa lain terus saja berdatangan mengelilingi mereka sampai harus menarik meja untuk berdiri melihat Qiana dan yang lainnya.
"Bunga, kamu marah? " Qiana bertanya ditengah suara gaduh siswa lain yang terus saja berkata tidak percaya.
"Ya."
Koin kembali berputar. Semakin kencang Veederica dan Vanesa mulai panik mereka ingin melepaskan jarinya dari koin. Tapi ingat apa yang dikatakan Qiana sebelum permainan dimulai tidak ada yang boleh melepaskan jarinya, kecuali koin sudah masuk pada tempat yang kosong.
Koin terus berputar Qian mulai bingung apa yang harus dilakukan sedangkan siswa lain semakin banyak berdatangan tidak menutup kemungkinan guru juga akan datang.
"Bunga, sekarang kamu pulang yah!" perintah Qiana lagi dengan panik.
"tidak!" Koin kembali berputar.
"Nanti ada guru, kamu pulang dulu!"
"tidak!"
Qiana kembali terdiam roh itu menolak untuk pulang telunjuknya mulai lelah terus berputar. Bagaimana caranya roh ini agar pulang, suasana semakin tidak terkendali bukan hanya anak siswa kelasnya sekarang dari kelas lain pun ikut berdatangan.
"Nanti kita main lagi! Sekarang kamu pulang dulu!" pinta Qiana akhirnya, apakah roh bisa dibohongi? Qiana juga belum tahu yang penti situasi ini harus ditangani lebih dulu.
Koin berhenti lalu bergeser.
"Ya!"
Rasanya keadaan tidak mencekam tadi.
Saat koin sudah kembali pada tempatnya barulah Qiana lega, permainan usai. Sekalipun masih ramai di sana ada kelegaan dimata Qiana. Ia melihat tajam sesi kelas dibalas tawa para anak laki-laki yang mengganggu permainannya.
Semuanya bubar meninggalkan kelas berjalan ke arah pintu.
Qiana paling belakang tiba-tiba saja angin berhembus kencang, mengibarkan rambutnya dan membuat bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. Qian sedikit menoleh pada sudut ruangan, di sana berdiri siswi lain yang asing untuk Qiana. Rambutnya sebahu dengan poni menutupi mata, ia sedikit menunduk jadi Qiana tidak begitu jelas melihat wajahnya, ada yang aneh, siswi itu seakan tidak 'berjiwa'
Qian kembali berjalan meninggalkan sosok asing yang dilihat 'mungkin anak kelas lain' ujarnya dalam hati.
"Qin, mana kertas tadi sama koinnya?" pinta Veederica.
"Buat apa, Vee?" Qiana tetap memberikan pada Veederica.
"Nggak, cuma pengen nyimpen. Sore balik bareng gue?" tawar Veederica.
"Gak usah."
"Okey deh, gue duluan ya." Qiana melambaikan tangan melepaskan kepergian Veederica.
Qiana adalah anak yang ceria, cantik, dan mudah bergaul kesehariannya sama seperti anak lain, hanya saja? Ia memiliki hal yang berbau supranatural. Tapi Qiana percaya bahwa ada makhluk dari dimensi lain, kita cukup menghargai keberadaan mereka, itu saja.
Qiana anak sulung dari dua bersaudara. Ayah dan ibunya adalah guru sedangkan adiknya Shilla masih di kelas tujuh.
Hidupnya berubah setelah permainan memanggil roh di sekolah, tidurnya tak lagi nyenyak mimpi terus diganggu oleh anak sekolah berseragam putih abu-abu rambut sebahu tertunduk murung, dari samping pinggangnya ada dau tangan berkuku hitam dan panjang merayap lalu anak itu mengangkat wajah, membuka mulut lebar dengan mata yang berwarna hitam pekat.
Qian terbangun dari tidur dengan bunyi alarm yang mengagetkan, napasnya berat keringat mengucur dari semua sisi dahi.
"Sialan, mimpi lagi!" Hampir setiap hari mimpi yang sama terus muncul dan ia pasti akan terbangun saat alarmnya berbunyi. Seakan itu adalah penyelamat kala kesadaran tidak mampu Qiana raih.
Qian melihat jam dinding, jam enam pagi, semalam tidur jam berapa? Kenapa badannya masih saja merasa lelah?
Dari ujung selimut yang menutupi kaki ada yang bergerak terus mendekat sampai pada betisnya. Qiana menarik pelan-pelan selimut, ingin tau apa yang bergerak di bawah kakinya ___
"Miyaong-miyaong." Qiana tersenyum langsung menarik 'Miska' dalam dekapan, kucing kampung berbulu putih abu-abu itu menempel manja padanya. Qiana sudah memiliki kucing itu semenjak kos di sini. Qiana memutuskan untuk kos sendiri semenjak kelas sepuluh, hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke sekolah. Qiana terbiasa berjalan kaki dengan anak lain yang sama-sama kos di tempat ini.
"Qin, tungguin gue dong!" Pelita baru saja sampai. Keduanya berjalan bersama masuk pintu gerbang.
Dari belakang bunyi klakson mobil berwarna merah. Qiana dan Pelita sama-sama menoleh, di dalamnya ada Dewa yang mereka tau anak 12 yang mengherankan ada Veederica di samping anak itu. Tersenyum bangga sambil melambaikan tangan.
Dewa sedikitpun tidak menoleh ia memang terkenal dingin juga sombong selain terkenal karena garis wajahnya yang memikat kaum hawa. Yang bisa dekat dengannya bisa dihitung terlihat dari ia yang tidak memiliki banyak teman, tapi tidak mengurangi eluan suara para siswi termasuk di kelas Qiana, mereka akan rela menunggu Dewa lewat hanya ingin melihat bagaimana anak lelaki itu terlalu misterius.
"Gue duluan ya!" pamit Veederica. Mobil berjalan pelan berlalu masuk.
"Oke." Qiana melihat Pelita. "Itu Dewa kan, kakak kelas yang katanya nggak punya temen?"
"Iyah, ko bisa ama Vee ya? Padahal dulu Dewa gak pernah respon perasaan Vee loh. dia udah suka dari kelas sepuluh," tutur Pelita, tetap melangkah pada halaman sekolah.
"Mungkin baru sekarang tuh kanebo kering sadar," kata Qiana dengan kikikan kecil mereka semakin masuk kedalam halaman sekolah.
"Qin, lo ngerasa ga ada yang aneh sama Vanesa, Vee juga? Mereka kaya menghindar gitu dari kita, mesti so sibuk," selidiki Pelita ala-ala detektif penuh curiga.
"Ya ialah mereka sibuk nggak kaya kita."
"Jomblo sejati," ucap keduanya sambil tertawa terbahak, tangan keduanya terulur lalu kembali ditarik manja alat tos cantik.
Pelita menautkan tangannya di sikut Qian mendekati kelas mereka masih dengan tawa.
Di dalam kelas ada Dewa pemandangan yang aneh menurut anak lain, gosip sudah menyebar ke seantero sekolah Vee adalah kekasih Dewa, cowok ganteng yang tidak bisa diajak berteman, ditambah tidak ada bantahan dari keduanya.
Bel Sekolah berbunyi anak perempuan yang tadi saling berbisik akhirnya bubar diiringi suara Dewa berpamitan.
"Gue ke kelas." Sekalipun katanya pacaran tapi, Dewa tetap saja berbicara dingin dan misterius.
"Pulang jemput gue!" Tidak ada kata yang Dewa keluarkan tapi Veederica tau Dewa pasti akan menunggu di parkiran saat pulang sekolah nanti, sudah beberapa hari ini selalu seperti itu, sekalipun Dewa masih pelit dengan suaranya.
Pelita duduk di samping Veederica. "Udah jadi bener?" tanyanya serius.
"Keliatannya? Gue nggak nyangka Dewa dari luar sombong, dingin lagi. Ternyata...? Aslinya dia romantis banget ..." ujar Vee tersipu-sipu, ala-ala melemah.
Bibir Pelita nyinyir melihat Veederica lebay.
"Sirik lo ya."
"Sory ya... Ratu jomblo ini tidak pernah sirik sama yang namanya pa-ca-ran-" Tangan Pelita seakan ikut mengeja kata pacaran.