"Keliatannya? Gue nggak nyangka Dewa dari luar sombong, dingin lagi. Ternyata...? Aslinya dia romantis banget ..." ujar Vee tersipu-sipu, ala-ala melemah.
Bibir Pelita nyinyir melihat Veederica lebay.
"Sirik lo ya."
"Sory ya... Ratu jomblo ini tidak pernah sirik sama yang namanya pa-ca-ran-" Tangan Pelita seakan ikut mengeja kata pacaran.
"Gue pengen nanya sama kalian? Seudah kita main jailangkung kalian pernah mimpi serem ga? Misal anak sekolah yang diri di pojokan," tanya Qiana keluar dari topik pembicaraan, suaranya lebih dipelankan agar tidak ada yang mendengar.
Mereka saling memandang satu sama lain. "Nggak." Semuanya kompak menggeleng.
'berarti cuma gue doang' batin Qiana.
"Sebetulnya ___" Veederica langsung menyenggol lengan Vanesa ia kembali terdiam.
"Kenapa?" tanya Qiana selidik.
"Mm… gak papa ko." Vanesa menunduk tidak berani melanjutkan perkataannya.
Ditengah pelajaran berikutnya berganti Qiana izin ingin ke toilet ia berjalan sendirian di lorong kelas. Toilet ada di antara kelas dua belas dan ruang Lap. Karena belum jam istirahat toilet sepi hanya ada Qiana di dalam dengan empat baris pintu yang terbuka, udara terasa berbeda saat pertama kali ia masuk tadi. Berkali-kali Qiana menoleh, tidak ada siapapun namun rasanya ada seseorang yang mengikuti.
Satu pintu yang paling ujung bergerak, terbuka tertutup dengan sendirinya terus seperti itu.
Gesekan grendel pintu terdengar berdecit, Qiana masih memperhatikan pintu itu heran. 'angin kenceng banget' komentarnya dalam hati, Kemudian. 'dari mana angin masuk?' balasnya kembali dalam hati. Lantas bulu-bulu halus di tengkuknya kembali berdiri, seketika suasana menjadi tidak nyaman. Qiana mempercepat langkah untuk keluar dari toilet, tiba-tiba saja terdengar bisikan sangat dekat di telinganya.
'Aku, ada di belakang!'
Qiana tidak tahu siapa yang berbisik yang jelas di sini tidak ada siapapun 'mungkin kelas sebelah.' Otaknya masih berpikir logika tapi tidak seiring dengan langkah yang kian cepat. Syukurlah tidak seperti di film-film pintu utama toilet terkunci dan ia terjebak di dalamnya. Karena kenyataan pintunya terbuka dengan mudah dan ia segera menemukan cahaya matahari siang, sekalipun jantungnya masih berdenyut tidak beraturan.
"Aduhh!" jidat Qiana menabrak dada seseorang. "sorry. Ia mengusap dahinya, orang ini kayaknya dari ruang lap masih pake jubah putih."
Mata tanpa ekspresi, datar kalau tadi ia tidak mendengar suara jantungnya pasti Qiana pikir 'ini orang mayat hidup' Qiana menunggu kata. Dewa hanya melihatnya datar, keduanya hanya saling terdiam. Qiana mengatupkan mulutnya ingin pergi meninggalkan Dewa yang masih tanpa kata.
"Sepatu!" Suara dingin Dewa seketika menghentikan langkah Qiana, ada apa dengan sepatunya? Dewa begitu saja berlalu. Tanpa sempat Qiana bertanya ia perlahan menunduk melihat ke arah bawah.
Tali sepatunya lepas.
*
"Sumpah! Baru kali ini gue ketemu spesies model gitu!" Omel Qiana baru saja duduk di kursinya.
"Sejenis apa Qin?" Pelita malah tertawa.
Selain tadi pertama kali melihat mata Dewa yang datar Qiana masih berpikir keras, tadi. Apa? Di toilet? Siapa yang berbisik?
Bell pulang sekolah baru saja berbunyi semua siswa berhambur keluar dari pintu kelas begitu juga Qiana dan yang lainnya mereka saling tertawa kadang menoyor kepala lantas saling berpamitan. Dari kelasnya ke parkiran melewati barisan kelas dua belas dan toilet, barulah ruang Laboratorium. Dari ujung ruang Lap sudah terlihat parkiran, di sana ada seseorang bersandar di kap mobilnya, yang Qian tau itu Dewa cowok pelit suara yang tadi ia tabrak di depan toilet.
Sepertinya ia salah liat? Dewa seakan sedang melihatnya sekarang masih dengan mata datarnya? Tentu saja Vee yang dilihat. Qiana menepis pemikiran sendiri ia terus melangkah melewati Dewa yang sudah disapa Veederica dengan semangat, setelah itu sudah tidak ada lagi suara yang didengar.
"Qin, ngelamun loh? Jadi ke kosan gak?" tanya Pelita dengan menyikunya.
"Iya jadi, Vanesa mana?" Qiana mencari Vanesa yang sudah tidak ada, hanya untuk alasan atas gundah tadi saat rasanya Dewa melihatnya.
"Mm... tuh kan! Kebanyakan mikir, tadi dia pamit udah dijemput ama nyokapnya," jawab Pelita.
"Oohh... Kewarung dulu sabun gue abis!" ujar Qiana lagi. Tidak ada percakapan antara keduanya Pelita mengikuti Qiana dari warung sampai tempat indekosnya, dua sahabat ini sangat dekat dibanding Veederica dan Vanesa.
Sampai di tempat kos. Qiana tidak lupa mengucapkan salam setelah membuka pintu, barulah ia masuk. Di tempat kosnya hanya ada satu kamar, lalu dapur dan kamar mandi. Kosannya berantakan Qiana langsung membersihkan baju yang berserakan di atas kasur.
"Sorry, berantakan." Sunggingan senyum kuda Qiana melihat Pelita dengan tangan penuh baju juga kantong plastik belanjaan tadi.
"Udah tau," kata Pelita mengejek sahabatnya, lantas ia mencari tempat untuk duduk, Qiana dan pelitan sama-sama anak mandiri juga anak dari kalangan biasa.
Qiana berlalu menuju dapur menghidupkan kompor untuk memanaskan air, masih ada mie di lemarinya untuk disantap sore ini, Sekolah mereka berbasis full day jadi hanya mempersiapkan untuk makan malam saja.
"Ta," panggil Qiana di dalam kamar mandi ia lupa kompor tadi masih menyala. "Matiin kompor dulu, gue lupa. Nanggung lagi kucek baju."
"Iya." Pelita berjalan kearah dapur melihat kompor yang Qiana maksud. "Udah mati Qin."
Mendengar Pelita berkata sudah mati Qiana mengeluarkan kepalanya dari balik kamar pintu mandi.
"Masa sih, perasaan belum gue matiin," sesaat Qiana diam.
"Lupa kali, loh kan pelupa. Ya kali ni kopor mati sendiri," hardik Pelita menyadarkan lamunan Qiana.
Qian masih dengan pemikirannya apa memang ia lupa? Rasanya kompor belum dimatikan, karena tangannya tadi penuh dengan tumpukan baju. Iya, mungkin Qiana lupa.
Vanesa :
"Mama udah bilang sama papa kamu, mama minta pisah kamu mau ikut siapa?"
"Nesa gak mau ikut siapa-siapa." suara Vanesa tercekat menahan tangis.
"Kamu harus pilih, mama mau ke Singapura bulan depan. Kalau kamu ikut mama, sekalian pindah sekolah."
"Mahh..." Panggil Vanesa ia menangis sekarang. Jangankan bercerita apa yang ia alami, orang tuanya malah sibuk ingin berpisah. Di balik rok biru panjangnya sekarang, betis Vanesa membiru ada bekas tangan seseorang. Setiap pagi tanda itu semakin bertambah, setelah malamnya ia selalu bermimpi diseret mahluk berkuku panjang berwarna hitam, dengan baju berwarna coklat tanah rambutnya panjang, baunya amis busuk seperti hangus terbakar. Seakan ingin membawanya tenggelam dalam gelap.
Vanesa membuka pintu mobil yang berjalan perlahan. Ia lari tidak ingin mendengar mamanya yang akhirnya hanya membahas kejelekan papa, begitu pula sebaliknya mereka tidak pernah bertanya bagaimana di sekolah, bagaimana teman-temannya dan bagaimana ia hari ini. Bulir kristal baru saja terjatuh dari ekor matanya.
"Nesa, Nesa kamu mau kemana!?" Teriakan mamanya manggil langsung menepikan mobil, ia ingin mengejar anaknya tapi Vanesa sudah menghilang di balik gang-gang sempit pemukiman.