Vanesa Kesurupan Roh menyerupai Pelita

"Nesa, Nesa kamu mau kemana!?" Teriakan mamanya manggil langsung menepikan mobil, ia ingin mengejar anaknya tapi Vanesa sudah menghilang di balik gang-gang sempit pemukiman.

Vanesa terus berlari tanpa tujuan terus masuk melewati gang sepi banyak bekas genangan air jejak hujan entah kapan? Jalan makin lama makin sepi dan menyempit bau tidak sedap makin tercium, cahaya semakin lama semakin temaram Vanesa mulai berlari perlahan menggeser pakaian berwarna coklat yang tergantung. Terus menggeser, ia mulai menutup hidung saat bau amis semakin menyengat.

Sampai di sudut ___

Di Sudut dinding, di atas. Makhluk berkuku panjang merayap mendekati Vanesa dengan rambut terjulur panjang matanya hitam legam dengan mulut terbuka lebar.

Vanesa berteriak ia berbalik arah kembali menggeser semua benda yang menghalangi sampai terjatuh, pandangannya bisa melihat makhluk itu sudah merayap di tanah, ia kembali berteriak bangun lalu kemudian kembali berlari tak tentu arah menyusuri semua gang yang terlihat sama.

Waktu sudah berjalan cukup lama Vanesa tidak juga menemukan arah luar, bajunya sudah kotor, rambut sudah basah oleh keringat ia terus berlari. Makhluk mengerikan itu terus merayap mengikutinya bahkan semakin cepat.

Vanesa berteriak.

Tinn!

Bunyi klakson mobil ada di depannya, mobil berwarna merah.

"Vanesa!" Teriak Veederica dari dalam mobil melihat sahabatnya yang tiba-tiba keluar entah dari arah mana untunglah Dewa tepat menginjak rem.

Veederica keluar dari mobil. "Nesa, ngapain loh di sini?"

"Vee, setan itu ganggu gue terus, lo harus berhenti!" kata Vanesa sambil bergetar panik pandangannya berputar tidak tentu arah.

"Lo, ngomong apa sih? Setan apa?" Veederica mengguncang bahu Vanesa bermaksud menyadarkan. "Lo, dari mana?"

Dewa yang ada di dalam mobil melihat mereka berdebat kemudian kembali membunyikan klakson mobilnya.

Veederica langsung menoleh melihat Dewa dan antrian mobil yang ada di belakang.

"Nggak usah bahas apa-apa ada Dewa, sekarang lo ikut gue dulu!"

Vanesa dan Veederica berjalan masuk kedalam mobil Dewa, Vanesa melihat dari kaca pintu mobil tidak ada gang, hanya ada barisan toko.Tadi ia keluar dari arah mana?

Dewa langsung berlaru.

Saat mobilnya sudah sampai di depan rumah Veederica. Dewa langsung berpamitan. Veederica masih berdiri di depan rumah melihat mobil Dewa semakin menjauh.

"Dia masih aja kaya gitu, bingung gue?"

Veederica masih berbicara, dengan matanya memandang jauh mobil merah itu.

Setelah Vanesa membersihkan dirinya ia duduk menggulung celana tidur bekas tanda biru di betis makin banyak.

"Nesa, makan yuu!" ajak Veederica, Vanesa lantas kembali menurunkan gulungan celananya.

"Loh ko bisa ada di situh? Bukannya dijemput," tanya Veederica langsung saat Vanesa sudah duduk di hadapannya.

"Vee, lo harus berhenti, sebelum diganggu kaya gue sekarang," tutur Vanesa datar tanpa ekspresi.

Veederica mulai jengah Vanesa terus membahas itu. Yang bermain dan bertanya adalah dia sendiri, Vanesa hanya pelengkap dalam permainan, andai pun diganggu harusnya dirinya bukan Vanesa.

"Lo aja yang terlalu penakut jadi berasa kebawa-bawa mulu, coba biasa aja."

Veederica tidak percaya ia malah hanya menggumam santai. Dari arah belakang ada benda jatuh. Veederica dan Vanesa sama-sama menoleh ke arah sumber suara.

"Apa itu, Bi?" tanya Veederica.

"Maaf non panci jatuh." Asisten rumah tangga Veederica datang, membawa nampan lalu ia kembali ke arah dapur dengan perasaan heran, ko bisa panci jatuh? Nggak ada kucing apalagi angin.

Adzan magrib baru saja selesai berkumandang ketika Qiana sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya masih melayang, hari ini banyak yang aneh. Kompor tadi, ia yakin kompor itu belum mati, juga saat di toilet sekolah. Qian masih masuk dalam pikiran saat sosok Pelita lewat di belakang, ia bisa melihat dari ekor matanya. Pelita lewat tapi aneh? Kenapa hanya diam saja. Qiana makin menegaskan pandangan melihat Pelita dari belakang punggungnya, 'apa dia marah? Tidak ditemani kedepan tadi' katanya dalam hati melihat Pelita menghilang ke arah dapur.

Tidak berapa lama setelah Pelita menghilang ke arah dapur, dari arah pintu. Pelita mengucapkan salam, ia baru saja datang.

"Ta, lo dari mana?" Tanya Qiana terbelalak seraya menggeser duduknya agar lebih tegas melihat. Heran, kalau Pelita baru saja datang lalu yang tadi siapa? "Ta. Barusan lo lewat, di belakang gue, pake baju yang sama." Qiana bertanya lagi untuk memastikan.

Sedangkan Pelita masih tidak percaya apa yang dikatakan Qiana, keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. "Ngomong apa sih? Siapa yang lewat? Gue baru masuk."

Angin berhembus kencang dari arah pintu. Membuka pintu sekaligus, diiringi hujan. Hawa dingin menyebar membuat bulu-bulu halus di tengkuk Qiana berdiri.

Ting ... tring ning ... Ting ... Ting .. Trining ... Ting ...

"Hape gue. Di dapur?" Qiana mengerjap, kenapa bisa di dapur? Berkali-kali ia harus menguatkan hati dan logika, mungkin ia lupa. Itu yang terus dirapalkan dalam hati. Tidak mungkin ada roh sejelas itu dilihat dan juga bisa memindahkan hapenya.

Lalu tadi siapa? Berkali-kali pun Qiana membantah kenyataan, tapi matanya jelas melihat itu Pelita.

"Qin, ngelamun lagi, hape lo bunyi!"

Qiana masih sibuk dengan pikirannya saat langkah kakinya menuju dapur, ponsel itu di dekat kompor denting suara dan sinarnya menyala. Qiana melihat nama Vederica di sana. Begitu panggilan diangkat ___

Federica bicara tanpa putus, dengan satu tarikan napas. "Qin, tolong Vanessa Qin, dia kesurupan."

Qiana langsung melempar ponsel itu, kupingnya berdengung menyakitkan, dari seberang sana ada yang berteriak menusuk indra pendengaran bersamaan dengan itu entah dari mana bayangan makhluk membuka mulutnya lebar ada tepat di pikiran Qiana. Ia mundur hampir terjatuh masih melihat ponsel. Pelita yang melihat itu langsung mengambil alih.

"Jangan dipegang, Ta!" larang Qiana pikirannya bingung.

"Halo…. Halo.... Halo…"

Dari seberang sana Vederica terus memanggil.

"Iya, Vee. Kenapa? Gue Pelita." Pelita melihat Qiana, tapi dari matanya ia bertanya?

"Ta, Vanessa kesurupan dia teriak-teriak terus, harus gimana gue? Lo pada kesini yah! bantuin gue!" Vederica mondar-mandir panik, di belakangnya Vanessa dipegang oleh Pak Toto tukang kebun dan bi Ijah asisten rumah tangganya. Vanessa terus berteriak dengan mata terbelalak rambutnya berantakan, suaranya berubah mengerikan.

"Iya. Lo jangan panik gitu dong, gue kesana sekarang." Pelita menutup telponnya, sedangkan Qiana masih terpaku.

"Kita kerumah Vee, Qin."

"Iya, gue ambil tas." Qiana masih tenggelam dalam pemikirannya tadi, sampai ia naik taksi.

*

Qiana dan Pelita baru saja sampai di gerbang rumah Vederica saat bersamaan mobil berwarna merah berhenti, menyorotkan lampunya pada mereka berdua. "Waeyy... Silau!" Teriak Qiana langsung disikut Pelita.

"Jangan barbar deh, itu Dewa." keduanya lantas masuk meninggalkan seseorang di dalam mobil yang terus melihat punggung kecil milik seseorang, sudut bibirnya sedikit melengkung.