Rumah Sakit Berisik Tapi Tidak Ada Orang

Veederica :

Selesai makan malam Veederica duduk di ruang tv, dari sana Vanesan sudah mulai aneh. Ia diam saja dengan wajah murung.

"Lo, kenapa Nes? Kesinggung gue soal setan yang Lo bilang?"

Vanesa menggeleng. Rambut panjangnya terurai hampir menutupi wajah, ruangan tv yang redup dari cahaya lampu tidak membuat Veederica curiga saat Vanessa hanya tertunduk.

"Gue tinggal dulu." Veederica pergi meninggalkan Vanessa yang masih diam di depan tv. Veederica sempat menoleh melihat gadis itu yang entah mengapa terlihat berbeda dalam suasana lampu yang temaram. Veederica membuang jauh pikiran anehnya ia pergi ke lantai dua untuk mengambil ponselnya, berbagi chat dengan Dewa. Saya cowok dingin itu tidak kunjung membalas. Veederica membuang ponselnya ke atas ranjang kembali turun ke bawah.

Baru saja membuka pintu kamar, bulu halus di tengkuknya langsung berdiri. Rumah sudah gelap, sepertinya asisten rumah tangganya sudah tidur. Kenapa Vanesa belum naik juga padahal sudah malam?

"Nes… ko ga naik ke atas, Lo belum ngantuk?" Veederica semakin menuruni anak tangga. Ia mengusap tengkuknya yang terasa berat.

"Vanesa!"

Yang dipanggil masih menghadap televisi dengan keadaan menyala. Veederica terus maju hendak menggapai Vanesa.

"Nes! Lo denger gue panggil kan?" Veederica semakin maju, tanganya terulur hendak menggapai bahu Vanesa.

"AAAAA!" Dari ruang lain teriakan Vanesa mengagetkan Veederica.

Pak Toto yang sedang bersantai di belakang langsung berlari. Juga Bii Inah.

"Ada apa ini non?" tanyanya melihat Vanessa yang menggeram di lantai. Veederica masih kebingungan kalau itu Vanessa terus tadi yang nonton tv siapa yang pendahulunya hampir ia gapai.

"Non, ko diem, Non?" Tubuh Veederica diguncang untuk menyadarkan gadis itu.

Vanesa kembali menggeram ingin menyerang Veederica. Ditahan pak Toto. "Eling, neng itu temen sendiri."

Vanesa semakin memberontak semua barang yang ada di dalam ruangan melayang tidak tentu arah lantas meledak di udara. Vas bunga, pajangan pajangan kecil semuanya hancur.

*

Qiana, Pelita di belakangnya Dewa sama-sama berdiri di pintu masuk yang sudah terbuka lebar. Di ruang tamu keadaan sudah kacau. Sofa seperti terlempar begitu saja juga foto yang tertempel di dinding terhempas begitu saja lantas jatuh berserakan. Jeritan kaget Pelita melihat barang rumah seakan bergerak sendiri dengan hembusan angin kencang.

"Kita harus panggil orang pintar, Non!" kata pak Toto mereka bertiga masih bingung melihat Vanessa yang sekarang merangkak di lantai matanya tajam, rambutnya tergerai hampir menutupi semua dataran wajahnya.

"Yah, yah udah deh, jauh nggak tempatnya?"

"Enggak non, saya tinggal dulu." Pak Toto berlalu tergesah menuju rumah orang pintar yang ada di belakang komplek perumahan.

Suara geraman juga cakaran kuku di lantai seraya berkata.

"Bunga Merah..." Kembali terdengar geraman, dari Vanessa. Ia mundur. Matanya masih tajam melihat pada arah Dewa. Kemudian kembali berteriak sedih seakan minta tolong. Air mata Qiana menetes begitu saja ia bisa merasakan emosi lain yang dibawa mahluk itu, ada dendam dan kesedihan. Qian sendiri bingung apa yang dirasakan saat ini. Ini bukan perasaannya. Ia bisa merasakan dimensi lain?

Vanessa menggigit tangan kirinya sendiri, seisi ruangan panik segera berlari mencegah menyakiti dirinya sendiri.

"Nesa! Sadar dong, jangan nyakitin diri Lo sendiri!" Teriak Veederica. Qiana dan Pelita masih memegangi tangannya.

"Dia abis dari mana, Vee? Ko bisa begini?" tanya Qiana panik.

"Kita gak abis dari mana-mana, Qin. Baru selesai makan terus nonton. Pas nonton gue tinggal sebentar pas balik dia diem aja. Terus __" Veederica diam haruskah ia bercerita tentang yang ia lihat. Tapi Ia nanti pasti disangka tidak waras apalagi di sini ada Dewa.

"Ga ada dia udah kaya gini." Veederica sempat melihat Dewa sekilas.

Setelah itu Vanessa tidak sadarkan diri dengan darah yang terus menetes dari pergelangan tangan kirinya.

Dewa berlari menggendongnya menuju mobil diikuti Vederica, Qiana dan Pelita keempatnya segera membawa Vanesa pada rumah sakit terdekat.

"Nesa sadar dong!" Vederica menepuk-nepuk pipi Vanessa.

"Emang tadi lo lagi pada ngapain coba? Sampe kesurupan gini," tanya Qiana.

"Gue nggak ngapa-ngapain Qiana kita baru selesai makan, ini anak memang udah aneh dari siang tadi ceritanya terus ngelantur kalo dia diganggu setan."

Vanessa sampai di rumah sakit, langsung masuk UGD masih belum sadar, tangannya sudah diperban.

"Mamanya nggak bisa ditelepon," Kata Vederica melihat Qiana. "Kita temenin sampe besok pagi, kalo pagi banyak suster yang jaga. Nggak tega gue kalo dia tidur di sini sendirian, gimana Qin?" tanyanya pada Qiana. Ia lah yang bisa diharapkan jika Pelita pasti pulang secara ada adik yang harus jadi tanggung jawabnya.

"Ya udah, lo pulang, Ta?" jawab Qiana, lantas bertanya pada Pelita.

"Iya gue pulang, kasian Tiara nanti." Mutiara adalah adik perempuan Pelita sejak mamanya tidak ada kabar mereka hanya tinggal berdua, tinggal bersama budenya sedangkan ayahnya sudah tidak ada saat mereka kecil.

Semua sudah dapat tugas masing-masing. Dewa masih di luar duduk saat Qiana keluar dari kamar Vanessa, ruangan itu ada empat kamar tidur penghuninya hanya Vanessa.

"Kamu nginep sini, apa pulang Wa?" tanya Vederica.

"Terserah, kalo dibutuhin gue di sini!" ujarnya, tatapnya sedikit melihat Qiana yang dibalas lengosan wajah oleh Qiana. Takut Qiana terlalu percaya diri jika Dewa melihatnya.

Qiana berasa jadi obat nyamuk di antara Dewa dan Vederica. Ia salah tingkah, saat kebetulan matanya beradu pandang dengan mata Dewa, kenapa juga laki-laki itu seperti curi lihat pada Qiana. Jadilah anak remaja yang jomblo ini salah tingkah.

Malam sudah mulai merayap Qiana tidur di atas ranjang yang kosong, di sebelahnya Vanessa tertutup tirai, sayup-sayup ia mendengar obrolan banyak sekali orang, diselingi tawa seorang wanita. 'ada pasien baru? Berisik banget' katanya dalam hati matanya masih terpejam, angin dingin berhembus memaksa matanya terbuka mencari selimut. Namun, saat Qiana bangun yang ia temukan adalah ruangan itu masih hening. Qiana duduk, kembali heran tadi jelas begitu ramai, Qiana turun dari ranjang membuka pintu. lorong-lorong rumah sakit juga sepi tidak ada satupun orang.

"Ngapain?"

Qiana terperanjat. Dewa entah datang dari mana langsung menyapanya, dengan bau kopi yang tercium. "Lo, bikin gue kaget."

"Minum." Dewa memberikan gelas berisi teh hangat, lantas ia duduk setelah gelasnya berpindah tangan pada Qiana.

Sekalipun tersentak, tapi hati Qiana lebih nyaman, ada yang terjaga selain dirinya. Tanpa kata keduanya mulai menyeruput minuman hangat, membunuh waktu sampai mata Qiana mulai terasa berat. Ia masuk, meraih satu selimut lalu kembali keluar menyimpannya di kursi tunggu bermaksud untuk Dewa, malam sudah semakin larut hawa dingin semakin menusuk. Qiana kembali masuk berbaring dengan selimut yang lain sebatas lehernya berkunjung ke alam mimpi.