Ia Merangkak Di Sudut Ruang

Bunyi gorden jendela ditarik menutup cahaya bulan dari luar kaca. Mamanya berdiri melipat tangan di dada. "Kenapa kamu lari? Kemarin Mama harus nyempetin waktu buat jemput kamu, terus makan. Kamu udah gede sekarang Nesa jangan kayak anak kecil, main kabur kaya gitu. Mama udah gak perlu jaga perasaan kamu lagi kamu udah tau ada masalah dikeluarkan kita, Kamu udah bisa liat kaya gimana kelakuan papa kamu. Mama cape Vanessa!" Sesaat mama Vanesa mengatur napasnya dari emosi. Tekanan batin dari perlakukan papa Vanes soal perempuan simpannya sudah menggerogoti jiwa mama Vanesa.

"Dulu Mama pikir bisa bertahan, tapi lama-kelamaan masalah terus menumpuk sampai gak ada jalan keluar. Sekedar nyapa saja udah susah, Nesa. Apa lagi bersama. Mama akan urus kepindahan kamu, kamu ikut Mama! Sekarang Mama pergi dulu masih ada kerjaan, cepet sembuh Vanessa, Sayang!" Mamanya sempat mencium pinggiran kepala Vanessa. Tidurnya menyamping mendengarkan dengan air mata yang terus mengalir. Jika mamanya lelah dengan kelakuan papanya, maka Vanesa lelah dengan perlakuan kedua orang tuanya.

*

Hari sudah sore katanya papa Vanesa akan datang siang tadi, nyatanya sudah hampir senja barulah ia datang beberapa saat yang lalu, sekarang sedang ada di depan Vanesa.

"Papa datang sama siapa?" Vanessa melihat ke arah pintu. Seorang wanita bersandar di sisi pintu, dari cara pakaiannya terlihat ia belum terlalu tua umurnya kira-kira lima tahun diatas Vanessa.

"Temen Papa, kamu kapan boleh pulang? Papa jemput,"

"Mama yang jemput. Vanesa disuruh ikut mama pindah Sekolah ke Singapura."

"Nggak usah, kamu tetap di Jakarta sama Papa, ga usah dengerin Mama kamu. Nesa taukan Mama yang selalu berseberangan sama Papa. Mama kamu harusnya tau bagaimana jadi istri yang baik."

Percakapan keduanya terhenti saat para suster masuk. Papa Vanesa baru bisa datang dihari kedua Vanesar dirawat, pagi tadi mamanya sudah berangkat kerja dan belum kembali sampai malam ini, sedangkan papanya baru saja datang entah dengan siapa.

"Selamat malam Pak. Selamat malam Vanesa. Pergantian sifat Pak, kami suster yang jaga shift malam, kalo butuh apa-apa silahkan panggil kami!"

"Iya terimakasih suster."

"Ya sudah kami tinggal dulu ya Pak," Izin suster itu lagi.

"Papa pergi dulu jangan percaya kata Mama kamu tentang Papa!" Vanessa mengangguk ia tidak percaya keduanya.

Mereka hanya saling membela dan ingin terlihat benar. Vanessa berbaring menyamping. Hening lampu tidur sudah dihidupkan ia melihat jam. Sudah jam sepuluh malam, Mamanya belum juga datang. Angin dingin begitu saja masuk, Vanessa menaikan selimut tidur sampai ke batas lehernya.

Dari ujung sudut ruangan bunyi kursi ditarik. Vanessa menarik selimutnya makin atas dari ekor mata ia bisa melihat ada yang merangkak di sudut bawah, ia makin mengetatkan selimut dan tubuhnya makin meringkuk. Menutup semua tubuhnya dengan selimut merasa makhluk asing itu semakin mendekat.

Sekuat tenaga ia menahan getaran ketakutan, matanya terpejam rapat. Makhluk asing itu terasa semakin mendekat.

"Nesa, kamu kenapa? Badan kamu dingin banget, kamu kedinginan?" tanya mama Vanesa yang bahkan suara pintu dibuka tidak bisa Vanesa dengar.

"Mama." Vanessa mengedarkan pandangan. Tidak ada siapapun di sini.

Dadanya masih berpacu tidak karuan. Ia masih mencari penghuni ruangan ini selain dirinya tadi, Vanessa yakin ada mahluk lain di sini.

"Kamu cari?" Pertanyaan mamanya tidak Vanesa tanggapi ia masih sibuk mengedarkan pandangan matanya pada seisi ruangan.

Qiana:

Tidak berselang lama angkutan kembali datang barulah Qiana dan Pelita naik, keduanya duduk. Pelita di samping kaca jendela dengan susu kotak di tangannya.

"Sudah jam sepuluh masih macet." Pelita protes lagi, mobil berjalan sangat lambat. Ia melepaskan sedotan susu kotak dari mulut. Matanya tidak berkedip saat melihat di pinggir jalanan. "Qiana. Itu mobil tadi kan?" tanyanya ketakutan.

Qiana ikut menoleh melihat keadaan mobil Kopaja yang tadi urung ia naiki, setengah mobil ringsek menabrak mobil besar yang ada di depannya, kedua mobil benar-benar hancur sebagian. Kerumunan orang masih banyak sepertinya masih ada korban yang terjepit badan bus. "Qiana kalo firasat lo bener terus gue gimana?"

"Apanya yang gimana? itu kecelakaan," ujar Qiana.

"Qin, harusnya gue ada di situ, karena gue temen lo jadi gue ikut sama lo, jadi gue gak di situ. Aduh gimana sih gue ngejelasin. Maksudnya gini loh, lo punya firasat, atau indra keenam atau indigo, atau apalah namanya dan itu cuma buat lo doang. Terus gue yang seharusnya ada di mobil tadi dan kecelakaan? Gak jadi karena lo, berarti gue ngelompatin satu takdir dong yang seharusnya ada di mobil itu. " Pelita menggebu menjelaskan apa yang ada di pikirannya dan apa yang ia maksud, apakah nanti seperti film yang ia tonton? Maut akan terus mengintai?

"Jangan kebanyakan nonton horror, otak lu ikutan horror." Pendek saja kata Qiana ia kembali menggeser layar hapenya.

"Qin gue serius. Apa nanti gue akan kembali ngelewatin kecelakaan untuk ganti takdir yang sekarang, dan kalo masih lolos gue akan terus ngelewatin takdir itu sampe? Qiana, gue merinding."

"Udah mau nyampe siap-siap! dibahasnya nanti lagi." Bunyi pukulan jari kernet menandakan Pelita sampai.

"Gue duluan, ati-ati lo." Pelita turun melambaikan tangannya, rumah Pelita dengan kosan Qiana kira-kira berjarak 10 menit, barulah kosan Qiana, kernet kembali mengetuk pintu lantas Qiana turun. Ia berpapasan dengan seseorang, tapi terasa tidak berjiwa anehnya kernet itu juga bisa melihatnya terbukti dari gerakan ia yang menyingkir dari pintu membiarkan orang itu masuk. "Bang saya nggak jadi turun di sini!" Qiana hendak kembali ingin naik.

"Nggak usah ikut campur urusan orang! anak SMA kaya kamu bahanya keliaran malem-malem!" Kernet itu menahan tanganya di pintu, menahan Qiana agar tidak masuk lagi.

"Jadi Abang bisa liat juga?"

"Paling dia numpang mau pulang." Qiana menggeser langkahnya kebelakang, gila memang hanya ingin membuktikan penglihatannya benar, terpintas di kepalanya untuk mengikuti orang itu sampai di mana? Kopaja kembali melaju dengan ia, laki-laki suram, duduk dekat pintu keluar.

Banyaknya penumpang malam itu tidak menggemingkan duduknya. Sampai ia mendekat arah pintu, Kernet kembali mengetuk pintu tanda ada yang ingin turun. "Jo mana yang turun? Nggak ada."

"Maaf bang salah, Yo jalan Banga!" Kopaja kembali melaju. Dengan tatapan kernet tertuju pada sebuah rumah dimana orang itu berdiri di depan rumahnya. Mengetuk.

"Ayah," suara seorang anak perempuan.

"Ibu ayah pulang."

"Loh ayah pulang ko nggak bilang, proyeknya libur?" Orang itu hanya tersenyum lantas duduk di ruang tamu.

"Bikinin teh buat ayah!" perintah sang ibu lalu anak gadis itu kebelakang dengan ceria untuk membuatkan minum ayahnya.