Kematian yang Tidak Diduga

"Ia Ibu." Anak perempuan itu ke dapur dengan semangat membuatkan teh untuk ayahnya. Selesai dengan teh ia kembali ke ruang tamu.

"Bu, ayah mana?"

"Di situ."

"Nggak ada Ibu, Ayah, yah. Ayah dimana?" Anaknya terus mencari di dapur sampai ke belakang tapi tidak kunjung ditemukan.

"Tadi ibu tinggal sebentar ke kamar, liat adik kamu nangis. Ayah! Yah!" Wanita itu terus mencari keberadaan suaminya, tapi tidak kunjung ditemukan.

"Terus Ayah kemana dong Bu, masa pergi lagi nggak bilang," ujar anaknya kembali sedih, padahal tadi ia sudah sangat senang bisa bertemu ayah yang sejak bulan lalu pergi bekerja.

Mobil putih bersirine masuk dalam halaman rumah.

Keduanya saling melihat heran.

"Assalamualaikum, apa benar ini rumah bapak Prandi?" tanya seorang laki-laki berbaju perawat.

"Waalaikumsalam, betul pak." Ibunya keluar diiringi anaknya.

"Maaf Bu, kami membawa kabar duka bapak Prandi kecelakaan kerja di proyek dan meninggal dunia. Yang kami bawa jenazah bapak Prandi."

Wanita itu menaikan alisnya tidak percaya, di dalam peti mati adalah suaminya. Bagaiman mau percaya orang barusan pulang.

"Bapak salah alamat pak, suami saya baru saja pulang tadi, ini lagi di belakang," jawabnya lantang dan mengira orang orang ini seenaknya saja mengatakan suami orang meninggal.

"Maaf Bu. Tapi, alamat KTP-nya di sini, mohon ibu lihat dulu jenazahnya." tutur lagi perawat itu.

"Tidak mungkin pak, wong bapak baru saja datang." Perempuan paruh baya itu masih menyangkal, tidak mungkin.

Peti diletakan di bawah, lantas penutupnya dibuka menyisakan selembar kain putih transparan menutupi wajah jenazah.

Dengan tangan bergetar perempuan ayu itu membuka penutup kepalan bersama anak gadisnya saling menguatkan, meski tidak mungkin baru saja Ayahnya pulang jadi tidak mungkin.

Saat kain penutup terbuka sepenuhnya, mereka menangis dengan getaran hati luar biasa namun tidak percaya, tidak mungkin baru saja mereka bertemu sempat mencium tanganya, meski terasa dingin dan kaku.

*

Sore ini Vanessa sudah boleh pulang, Mamanya sedang membereskan barang anaknya di atas ranjang. Sedangkan Vanessa masih duduk mengetik pesan untuk teman-temannya.

"Vanessa pulang sekarang?" Vanessa dan mamanya sama-sama menoleh ke sumber suara papanya berdiri di pintu. Tidak ada binar senyuman layaknya suami istri yang bertemu.

"Iya, Vanessa ikut aku. Ke Singapura!" ketus ibu Vanessa menjawab, bahkan tanpa melihat arah suaminya.

"Apa? Gak usah, Vanessa disini, kalau kamu mau pergi. Pergi sendiri!" papa Vanessa melangkah masuk dengan emosi. Tanganya di pinggang melihat ibu Vanessa tajam.

Ibu Vanessa tidak kalah tajam membalas, kini keduanya saling berhadapan.

"Buat apa? Buat kamu kenalin ke simpenan kamu?" sindir mamanya terang-terangan meski sejujurnya belum menemukan bukti yang nyata.

"Jaga mulut kamu, jangan terus jelekan aku di depan Vanessa."

"Kamu kemarin udah bawa dia ke sini, apa yang harus aku jelekan lagi."

"Dia temanku," hardik papa Vanessa.

"Nesa mau ke toilet." Vanessa turun dari ranjangnya.

Mereka mulai kembali bertengkar didepan Vanessa. Ia pun lupa sejak kapan keadaan ini berawal dan terus berlanjut sampai sekarang. Vanessa menangis tidak tau harus berbuat apa, kepalanya sakit terus berdenyut. Saat ia selesai mencuci wajahnya, dari cermin yang ada di hadapannya sosok itu tertawa puas melihat Vanessa hancur.

Vanessa berteriak melempar cermin sampai hancur, ia mengedarkan pandangan mengelilingi kamar mandi dengan emosi yang meluap-luap tidak terkendali. "Keluar lo, jangan ketawa, gue gak takut, keluar!"

Vanessa kembali berteriak lantas tertawa, akhirnya menangis. Pecahan kaca berserakan di lantai.

"VANESA!" Mamanya berteriak melihat Vanessa hampir mengiris nadinya sendiri.

Vanessa berontak saat papanya coba menarik tubuhnya keluar dari kamar mandi. Vanessa tertawa mengerikan lantas teriak. Suara gaduh dari kamar Vanesa menarik perhatian beberapa orang. Suster masuk membantu menahan Vanesa yang terus berontak, ia ingin lari.

"Kita ikat saja dulu di ranjang, nanti saya coba panggil bantuan." kata suster yang mulai kewalahan tenaga Vanessa seakan berlipat, ia masih kesetanan terus berteriak ingin lari keluar.

"Nesa kamu kenapa? Nesa berhenti, nak!" Vanessa terkikik tertawa menertawakan mamanya.

"Buang merah, jangan ganggu aku!" Vanessa kembali terkikik lalu secara misterius meja dan kursi yang ada di belakangnya bergerak, lampu hidup, mati sendiri.

Sekalipun kaki dan tangannya diikat di atas ranjang ia terus bergerak. Dibantu seorang perawat laki-laki yang memberi Vanessa air putih dalam gelas. Lalu air itu ia basuhkan pada wajah Vanessa. Mamanya menyipit melihat itu. 'masih ada jaman sekarang pengobatan air putih' bibirnya dalam hati.

Vanessa tenang. Sekalipun ia masih bingung pandangannya masih berkeliling ruangan.

"Mama kenapa Nesa diikat?" tanyanya lirih.

"Gak papa sayang, kamu istirahat yah!" tutur sang mama lembut sambil membelai rambutnya.

"Kita kan mau pulang Mam?" pandangan Vanessa kini kosong, jiwanya begitu jauh.

"Kata dokter kamu harus dirawat lagi, belum pulih. Jadi, Nesa di sini dulu, Mama sama Papa nanti kesini tiap hari."

Vanessa mengangguk.

"Yaudah sekarang Nesa istirahat ya!" Angguk Vanessa lagi masih dengan tatapan kosong serta ikatan tangan dan kakinya.

*

Vederica:

"Vanesa." Vederica terus memanggil Vanessa yang terus berjalan menjauh. Sebuah rumah bergaya Eropa kuno. Vederica ada di dalamnya, temboknya sudah berwarna kusam ada beberapa yang sudah terkelupas menyisakan bata berwarna merah. Gelap, hanya remang-remang cahaya dari luar.

Aroma lembab amis bercampur wangi.

"Vanessa lo dimana? Ini rumah siapa?" Vederica terus melihat punggung Vanessa yang akhirnya menghilang dibalik lekukan tembok.

"Nesa." Panggilnya lebih keras, sampai pada belokan tadi seseorang berdiri di sudut gelap, rambutnya sebahu masih memakai seragam.

"Nesa? Nes." Vederica memanggil sosok asing yang ada di sudut.

Sosok asing itu dengan cepat mendekat lantas menegakan kepalanya, mata bulat berwarna hitam pekat dengan kulit pipi putih bias abu-abu.

"Pergi!" katanya di hadapan wajah Vederica.

Vederica berteriak, berlari balik arah tapi tidak kunjung menemukan pintu. Raganya di atas ranjang masih tertahan sosok gelap yang melayang di atas tubuhnya, Vederica sulit untuk bernafas, sosok gelap itu melayang semakin mendekat. Vederica membuka matanya lebar-lebar bersamaan dengan itu pintu tertutup dengan begitu kerasnya.

Brak!

Disela napasnya yang masih memburu. "Siapa itu? Bii?" Vederica turun dari ranjangnya membuka pintu kamarnya perlahan.

Hening.

Teng!

Suara lonceng jam dinding tengah malam berbunyi sekaligus kembali mengagetkan. Ia melihat ke lantai bawah rumah ini masih sepi, lalu siapa tadi yang membanting pintu? Bunyi lonceng kembali menggema dua kali.

Vederica kembali ke kamarnya, lampu kamarnya hidup, ia tidak merasa menyalakan lampu tadi? Vederica duduk di tepian tempat tidur masih melamun, saat asisten rumah tangganya tiba-tiba berdiri di depan pintu.

"Bibi! Bikin kaget aja," ucapnya kesal.

"Maaf Non, bibi mau minum liat kamar non pintunya kebuka makanya bibi ke sini?"

"Mau bibi ambilin minum, Non?" Tanpa menunggu jawaban Vederica wanita yang sudah tidak lagi muda itu berlalu dan kembali dengan segelas air ditangannya.

Saat ia hendak pergi Vederica menahan tangannya.

"Bibi tidur sini aja! di sofa gak papa?"

"Gak papa Non, bibi ambil bantal dulu."

"Pintu sudah dikunci semua bii?"

"Udah Non."

"Ya udah bibi cepet ya ambil bantalnya!"

Wajah Vederica masih pucat, saat asisten rumah tangganya keluar ia sendiri heran Nonanya seperti orang bingun.