BAB 06 : Batas kesabaran

Pagi ini saka sudah siap dengan keberangkatannya ke sekolah, jika ingin tahu dari mana saka mendapatkan baju sekolah padahal bajunya saka ada di rumah, tentunya dari Evans sendiri.

"Vans kemana dia dari tadi, gua dah siap ini." Geruntuk Saka

Saka duduk di depan apartemen, dia menunggu Evans dari tadi. Katanya Evans ada urusan sebentar, dan menyuruh saka untuk menunggu.

Selang beberapa waktu, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di depan saka, membuat saka mengerutkan keningnya?.

"Ayo naik, kenapa bengong seperti itu hm?" Yang ternyata itu adalah Evans sendiri.

"Oh ternyata lu, kenapa lu lama capek gua nunggunya." Ucap Saka

"Maaf saya terlambat datang, tadi ada urusan mendadak."

"Urusan aja terus, gua di lupain dah ayo berangkat." Sambil memasang sabuk pengamannya.

"Baiklah." Evans menjalankan mobilnya, untuk menuju ke sekolah.

Di perjalanan tidak ada obrolan antara mereka, saka hanya terdiam sambil melihat-lihat keadaan luar dari kaca mobil, sedangkan Evans fokus menyetir mobilnya.

"Apa ingin pulang bersama saya setelah selesai sekolah?." Tanya Evans

"Gak perlu lah, gua udah ada tumpangan lu pulang aja, dan gua ucapin makasih dah mau ngurusin gua pas sakit. Sekarang kita gak ada urusan lagi ok, anggap aja ini semua dah berlalu." Jelas Saka

Evans tidak menjawab ucapan saka, ada rasa kecewa di benaknya.

Sesampainya di sekolah Evans membawa mobilnya ke parkiran, orang-orang yang melihat kedatangan mobil asing berbisik-bisik.

"Gua keluar dulu." Ujar Saka, langsung membuka pintu mobilnya.

Semua orang yang melihat saka yang keluar dari mobil itu tercengang, apa lagi ada orang yang cukup disegani keluar dari mobil itu bersamaan dengan saka.

"Bukankah itu saka si murid brandal?"

"Kenapa dia bersama dengan ketua OSIS?."

"Aku tidak salah lihat?."

"Mereka terlihat akrab sekali sepertinya."

Saka yang mendengar semua bisikin itu, memasang wajah datarnya sambil berjalan tanpa mempedulikan di sekitarnya.

Evans yang melihat kepergian saka hanya bisa diam, dia juga tidak ingin lama-lama di tempat yang heboh itu, Evans langsung melangkah menuju kelasnya.

Beralihlah ke saka, yang masuk ke kelas langsung duduk di bangkunya, beberapa murid yang berada di kelas langsung terdiam melihat kedatangan saka dan membuat mereka terheran-heran.

"Eh bro lu kemana aja, baru liat lu dateng sepagi ini kayak tumben gitu?." Hebohnya, langsung ikut duduk berhadapan dengan saka.

Lagi-lagi saka bertemu mahkluk hidup berwujud manusia tapi sifatnya seperti mahkluk astral, namanya Gara si murid yang selalu membuat kehebohan.

"Salahkah saya datang sepagi ini?"Cibir Saka, memutar bola matanya malas.

"Gitu aja lu marah, gua kan cuma terkejot anjrit eh anjrit, Lu ngagetin gua Ron." Gara terkejut karena kejahilan dari Ronal yang tiba-tiba menutup matanya.

"Sorry cuma iseng." Timpal Ronal cengengesan

"Kalo lu pada pengen bermesraan di depan gua, mendingan jauh-jauh sana." Tegur Saka, berekspresi seperti geli.

"Bermesraan palak bapak botak kau, Gua bukan gay masih normal paham!." Bantah Gara yang tidak terima.

"Lu kenapa berpikir negatif gitu sak, kita ini cuma temenan. Apa jangan-jangan lu yang gay, oh atau jangan-jangan lu punya hubungan ama ketos kita itu, tadi pagi gua liat lu keluar dari mobil bareng dia?." Sambung Ronal menatap serius saka.

"Ini yang gak paham situasi." Saka sebenarnya tidak ingin banyak berbicara, ini saja baru mengobrol dengan temannya entah bagi saka teman atau apa.

"Emang apa hubungan lu ama itu orang? Ceritain dong." Ucap Gara langsung penasaran

Saka malas menatap orang yang berada di depannya ini, jika seperti ini mungkin saka memilih bolos saja.

"Gak ada, cuma gara-gara dia nabrak gua jadi dia milih bertanggung jawab ke gua." Singkat saka, entah dua orang itu akan mengerti atau tidak.

"Oh cuma karena kecelakaan."

"Jadi dia cuma pengen bertanggung jawab, sorry gua gak bermaksud gitu tadi." Ronal mengangguk-anggukkan kepalanya paham dengan perkataan saka.

"Sekarang lu berdua pergi, gak usah ganggu ketenangan gua disini."

"Yaelah baru aja kita ngobrol, malah maen ngusir aja lu."

"Yaudah lah gar, kita pergi dulu mungkin bentar lagi bel mendingan kita ke kantin gar yok!." Langsung menarik tangan Gara untuk menjauh dari saka.

"Papa saka gak semangat sekolah, kalok papa gak ada kayak gini." Batin Saka, sambil mengusap wajahnya yang lelah.

Karena terus-menerus menguap saka memilih tidur saja, jika ada guru maka tidak apa baginya tidak penting.

Bermimpi~

"Saka jangan menangis ini hanya luka kecil, nah sudah aku tempelkan plester di lukanya apa masih sakit saka?."

"Hiks...umm tidak! Saka takut, saka tidak mau memanjat lagi nanti saka jatuh lagi."

"Kan sudah dikatakan, kamunya saja yang nakalnya kelewatan."

"Hehehe! Tapi saka gak dapet deh buahnya."

"Sudahlah, ini sudah ada kamu ambil saja ini manis."

"Apa apelnya memang manis?."

"Memangnya ada apel rasanya pahit? Jika tidak selain manis dan masam."

"Saka belum pernah merasakan apel pahit, memang ada ya?."

"Tidak ada saka, mana ada apel rasanya pahit."

"Gak ada kayaknya, ummm!...rasanya manis-manis asam enak."

"Sudah di bilang, pasti manis."

"Kamu gak mau apelnya?, Ini makan ya nanti saka gak mau lagi makan apel kalok kamu gak makan juga."

"Jangan begitu, ini aku makan satu."

"Nah gitu, hahahaha...kamu lucu!"

Terbangun~

"Saka saka, cepat bangun kamu." Tegur seorang guru sambil menarik-narik telinga saka.

"Enghh!" Saka mengerjapkan matanya tidurnya merasa terganggu

"Saka, saya seorang guru disini kamu seharusnya bisa menghormati saya. Dari tadi saya menahan diri untuk tidak membuat perhitungan dengan kamu, ini sekolahan dan di sekolahan punya aturan seharusnya kamu sebagai salah satu murid di sini, tahu akan aturan-aturan yang berlaku di sekolah ini. Bukannya seperti ini, tidur di kelas mengabaikan guru yang sedang mengajar di depan, saya disini sudah lebih dari dua puluh menitan paham kamu saka!."

"Sudah ibu berbicaranya?." Tanya saka dengan nada dingin

"Dasar kamu saka, saya bisa berbuat kasar sama kamu jadi jangan macam-macam." Ancam gurunya

"Kasar ya sudah lakukan saja, saya tidak peduli dan bukan urusan saya."

"Ada apa dengan kamu saka, saya juga terkadang lelah menghadapi murid seperti kamu ini jadi saya tidak segan lagi."

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi saka, Saka yang mendapatkan tamparan itu hanya diam.

"Bahkan guru mapel lainnya, juga lelah menghadapi sikap kamu yang dari dulunya selalu berbuat sesuka hati."

Plak!

Lagi-lagi sebuah tamparan keras mendarat di pipi saka yang sudah di tampar dua kali itu, sedangkan saka masih terdiam dengan tertunduk menatap lantai.

"Sebenarnya kamu dari dulu sudah keluar dari sekolah ini, kamu itu adalah orang yang tidak berguna bagaimana kamu membangun pontensi kamu jika seperti ini kelakuan kamu, kamu itu orang rendahan yang masuk ke sekolah ini dengan beasiswa, apa yang bisa di harapkan dari orang seperti kamu ini.!"

Plak!

Dan lagi tamparan keras itu di layangkan pada saka. Sedangkan saka masih terdiam.

"Stop buk, kenapa ibu terus menamparnya, Ibu boleh saja menegurnya tapi tidak juga merendahkan seperti itu." Ucap Gara dengan lantang, langsung berdiri dari duduknya.

"Diam kamu gara, saya disini adalah guru, kamu hanya seorang murid."

"Tidak peduli, Saka adalah teman saya jadi apa salah jika saya membelanya?." Lanjut Gara

Para murid yang berada di dalam kelas itu hanya diam dan menyimak pertengkaran antara murid dan guru.

Gara sebenarnya cukup panas mendengar kata-kata yang keluar dari mulut gurunya itu tadi.

"Saya menyesal mengajar di kelas ini, semua muridnya sama saja. Tidak tahu sopan santun." Ucap sang guru lantang.

"Lalu kenapa masih mengajar disini, bukankah seorang guru harus mampu sabar menghadapi sikap para muridnya walaupun nakal, kami nakal juga memiliki sopan untuk berbicara dengan guru." Ucap Gara dengan nada tinggi

"Kesabaran seorang guru juga ada batasannya gara, jangan membuat saya juga ingin menampar kamu."

Kelasnya hanya ada keheningan seketika, saat gurunya berbicara seperti itu.

"Ya saya tahu anda juga memiliki batas kesabaran, tapi kenapa tadi ibu merendahkan saya memang saya masuk ke sekolah ini menggunakan beasiswa, lalu apa salahnya?." Sekarang saka yang membuka suaranya.

"Sama saja kamu itu tetap orang yang tidak berguna, orang rendahan, mungkin kamu adalah beban bagi keluarga kamu. Mungkin ibu kamu berpikir dia menyesal sudah melahirkan orang seperti kamu, dari dulu sampai sekarang saya tidak pernah melihat orang tua kamu datang ke sekolah ini, apa jangan-jangan kamu anak yatim-piatu." Ujar sang guru

Saka menatap marah gurunya, ada juga seorang guru yang berani berucap seperti itu merendahkan muridnya sendiri?.

"TUTUP MULUTMU!" Ucap saka dengan nada tinggi dengan perasaan yang sangat marah.

Suara itu menggema di ruang kelas itu, membuat perhatian di sisi kelas lainnya.

"ANDA BOLEH MERENDAHKAN SAYA! TAPI JIKA ANDA MEMBAWA NAMA KELUARGA SAYA, MAKA SAYA TIDAK TERIMA DENGAN HAL ITU!" Suar tinggi saka membuat perhatian para-para murid lainnya dan beberapa guru ingin melihat.

Sedangkan guru yang tadi, langsung terdiam seperti mati kutu. Ucapan saka yang terdengar marah dan dingin, membuat sang guru itu sedikit takut.

"Apa yang terjadi disini, Buk Meldi?." Tanya salah satu guru

Sedangkan orang yang ditanya terus terdiam, matanya tidak bisa teralihkan karena tatapan kemarahan Saka.

"Saka tenangkan dirimu, ceritakan ada apa sebenarnya?." Tanya seorang guru lainnya sambil memegang bahu saka agar kembali tenang.

"Ada keributan apa ini?." Tanyanya dengan suara khasnya yang dingin dan

meintimidasi