BAB 29 : Maaf Evans

Segelintir angin menemani sepi meratapi nasibnya sendiri yang berpikir bahwa selama ini dia sering kali membuang waktu hanya untuk berada di lingkup dunia yang sunyi.

Berapa banyak hari-hari yang berlalu, pergi begitu cepat. Betapa bodohnya selama ini dialah yang membuat hidupnya sendiri berada di jalan yang tidak tentu arah.

Dia menggerutu dalam diam, memukul kepalanya yang begitu banyak pertanyaan. Dada yang terasa sesak, isak tangisan mulai pecah tanpa bersuara.

"Papa maafin saka ya, anak papa ini gak berguna banget dia selalu cengeng setiap hari selalu nangis. Anak papa ini orangnya lemah hahaha!."

Aliran air matanya membasahi pipi, ia tahu begitu sulit menahan suara tangisannya. Kenapa ia harus menangis, padahal ini masih di sekolah bagaimana jika orang lain melihat?.

Terbayang wajah ayahnya yang pucat terbaring di rumah sakit, dadanya semakin sesak. Dimana ia harus bersandar?.

"Kenapa aku harus takut, kenapa aku harus takut melangkah, mencoba mengubah kehidupan ini. Jika ada maha kuasa menemaniku?." Guma saka, tatapan sendu terlihat dari sorotan matanya, ia menundukkan kepalanya mencoba menahan isak tangisan.

Desiran angin menerpa kulit saka, angin sedang ingin bermain dengan dirinya ternyata. Lihatlah rambutnya menjadi berantakan karena hembusan angin.

Rasa nyaman, tenang dan damai ini membuat dia kembali membangun rasa percaya diri.

Saka membuka kancing bajunya satu, agar semilir angin menerpa rongga-rongga raganya yang kosong, ia berpikir apakah harus berdamai dengan keadaannya ini?.

Terlihat seseorang berjalan menghampiri saka, melangkahkan kakinya dengan perlahan agar tidak terdengar oleh sang empu yang sedang merasakan kedamaian itu.

"Hapus air matamu, apa kamu ingin membuat mata mu bengkak?."

Saka kaget ia mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang berbicara. Ah, lihatlah seorang laki-laki dengan kemeja putih dengan lengan panjang yang terlipat rapi, sorot mata yang damai apa lagi senyum tipis yang lembut, dan terlihat kerutan di dahi yang khawatir.

"Vans?."

"Sedang apa kamu disini, kenapa menangis?." Tanya Evans dengan nada suara yang khawatir, sambil menyodorkan sebuah saput tangan putih pada saka.

Sedangkan saka langsung memasang wajah datarnya, dengan cepat ia menghapus air matanya menggunakan tangan tanpa menerima saput tangan dari Evans, mengapa orang ini bisa disini?.

"Ambil ini agar cepat kering." Evans menjongkokkan dirinya, sambil memberi uluran tangan yang ada saput tangannya.

"Ngapain lu disini!." Ketus saka, memberi tatapan datar pada Evans.

Evans yang mendengar ucapan saka yang ketus hanya bisa memaklumi, ia harus bersabar dengan hal seperti ini.

"Gua tanya lu ngapain disini, gak masuk kelas?."

"Saya yang harus bertanya itu, kenapa kamu disini padahal jam pelajaran sudah dimulai."

"Males!."

"Apa saya melakukan kesalahan, kamu terlihat seperti tidak suka dengan kehadiran saya disini?."

Evans dan saka saling berhadapan, tatapan mereka saling bertemu. Evans, dirinya melihat jelas dari mata saka. Saka sedang merasa kesepian, sedangkan saka dia tidak suka dengan tatapan Evans yang seperti menelisiknya.

"Lu ngapain segala disini coba, bisa pergi gak lu!."

"Meninggalkan kamu yang sedang kesepian ini?."

Saka terdiam dengan ucapan Evans yang menyebutkan kesepian apakah ia tidak bisa mendapatkan ketenangan, kenapa orang yang menyebalkan seperti Evans ini harus berada di hadapannya, apa lagi Evans tadi melihat dirinya menangis.

Rasa yang bercampur aduk hadir di benak saka, dia ingin berteriak sekarang dengan keras, dia ingin menangis, dia ingin meluapkan emosinya saat ini. Andai rasa rindu pada ayahnya di tunda dulu, mungkin dia tidak akan menangis tadi. Sungguh terlihat seperti orang lemah.

"Bisa pergi gak, gua butuh ketenangan sekarang!.'' Air matanya mulai mengalir deras, ini memalukan sekali!.

Evans mengacak rambut Saka lembut, lalu tangannya turun ke pipi saka untuk menghapus air matanya. Ia tersenyum, wajah yang mulus, pipi yang lembut, bibir yang terlihat menahan luapan emosi sangat jelas untuk Evans.

"Bisa berhenti gak!." Lirih saka, air matanya semakin deras untuk keluar.

"Lu seneng liat gua nangis, lu bisa liat kelemahan gua sekarang, apa gua cowo yang lemah di depan lu, gua kayak anak kecil yang cengeng lemahkan. Jawab Vans!."

Evans menangkup wajah saka, ia menggelengkan kepalanya. Ini bukan seperti saka, seperti orang lain.

"No, why are you talking like that. It's not that you look weak, but you are a strong person." Jawab Evans halus, dengan jarinya masih terus menghapus air mata saka.

"Hahahaha lucu, omongan lu bener-bener lucu bisa-bisanya semudah itu ngomong!."

"I'm worried to see you like this."

Saka yang mengerti dengan kalimat khawatir itu, emosinya mulai menjadi-jadi. Khawatir adalah kalimat orang yang saka anggap brengsek.

"Alasan lu kenapa bisa gitu, jangan aneh-aneh!." Saka melepaskan tangan Evans dari wajahnya, menatap Evans dengan marah.

Evans tahu, saka sepertinya tidak suka dengan sikapnya yang seperti ini. Karena salahnya sendiri waktu itu, mengungkapkan bahwa dia hanya akan menaruh harapan pada saka seorang.

Tapi bagaimana?, Evans telanjur menaruh rasa pada saka. Dia kagum dengan sosok saka, mulai dari sikap, ucapan, wajah, dan segalanya Evans kagum dan sangat menyukainya.

"Saya boleh jujur." Evans membuang nafas berat, apa ini saatnya?.

"Kalo boleh jujur ya, bisa gak lu pake bahasa aku-kau atau gua-lu gak usah saya-kamu. Gua kadang risih dengernya."

Saka bangkit dari duduknya, ia terus menatap Evans dengan marah.

Evans juga ikut bangkit, dia mendekati saka. Jantungnya mulai berdetak lebih kencang dari pada biasanya, apa saatnya?.

"Baiklah, karena aku menyukai mu." Ucap Evans, hal hasil membuat saka mematung di tempatnya dengan diam.

Saka tidak salah dengarkan?, Menyukai ini kata yang sulit untuk di percaya dengan logika. Apakah Evans sudah gila, dia dengan beraninya mengatakan kalimat seperti itu pada dirinya apa lagi ini ke laki-laki, jika perempuan tidak masalah.

"Lu gila?." Saka memasang wajah tidak percaya, menatap Evans.

"Ya kau mungkin menganggapnya gila,and this is honest!."

"Jadi bener lu gay dan ini karena gua, apa cuma soal berita hoax itu?."

"No!, Aku benar-benar menyukai mu. Hanya saja ini susah untuk di ungkapkan dengan kata-kata, but believe me i did say it honestly!" Evans menatap saka dengan penuh harapan.

"Andai kau tahu dengan siapa ini, yang sedang kau ajak bercanda. That's impossible for me!"

Evans terpaku dengan tatapan ketidak percayaan itu, nada suara yang terdengar berbeda. Sekarang aura pun terasa berbeda.

"Dari pada aku membuang waktu karena mu, lebih baik aku habiskan dengan belajar. Maaf aku tidak ada rencana membangun hubungan seperti ini dengan mu."

Saka berlalu dari tempat pohon rindang itu, meninggalkan Evans yang terdiam dengan ucapan saka barusan.

Kalimat yang terdengar menusuk hati, membuat Evans menyeringai dengan tatapan dinginnya.

Memang itu terdengar menyakitkan, tapi kenapa bagi Evans ada hal yang tidak dia ketahui tentang saka.

Lihatlah tadi sikap yang berubah dengan cepat, dalam sekilas waktu mengatakan kalimat yang membuat siapapun tidak akan percaya mendengarnya.

"Belajar kau bilang?" Evans terkekeh kecil, tidak percaya dengan ucapan saka.

Dia membalikkan badannya, melihat punggung saka yang sudah berlalu jauh dari dirinya.

"Tidak di sangka, kau semakin menantang ku. Ini pertama kalinya aku mendapatkan tolakan yang begitu halus, astaga ini semakin membuat diriku menggila!."

Evans tersenyum miring, sambil melangkah pergi dari tempat itu. Ada hal baru yang akan menantangnya.

***

Dia mengutuk dirinya sendiri, apa yang dia lakukan tadi. Tindakan sekilas itu akan membuat siapapun merasa mendapatkan kejutan.

"Apa yang aku lakukan tadi, orang itu benar-benar hampir membuat ku emosi. Untung aku langsung yang mengambil alih." Guma-Nya

"Jika bukan aku, mungkin wajah orang itu sudah hancur lebur."

Dia terus mengguma tidak jelas sambil melangkah menuju toilet, untuk membasuh mukanya agar lebih tenang kembali.

Dia menatap dirinya di cermin. Huh, ini hampir membuatnya kembali kacau. Apa-apaan orang itu tiba-tiba mengatakan hal yang sulit di cerna oleh otak, menyukai seseorang memang wajar tapi kenapa harus pada dirinya?.

"Tadi orang itu bernasib baik, jika itu Akarya mungkin orangnya sudah terkapar tak berdaya, untung diriku. Ayolah, kenapa akarya harus bersikap seperti itu!."

"Jika dia tidak menjadi nakal membuat para guru jengah ini tidak akan seperti ini, apa yang akan terjadi nanti?."

"Huh, bahkan ini sudah melewatkan tiga jam pelajaran. Aku harus kembali ke kelas."

"You idiot, fuck you indeed huh!"Umpatnya

Lalu dia melangkah pergi dari toilet, hari-harinya sudah mulai sial. Apa lagi nanti yang terjadi, dia terus meracau tidak jelas sambil menuju ke arah kelasnya.

Sesampainya dirinya di kelas, malah mendapatkan teguran dari guru sedangkan dirinya hanya bisa maklum. Sungguh di cap murid brandal di sekolah tidaklah indah.

"Dasar kamu saka, dari mana saja kamu!."

"Maaf pak saya tadi ketiduran." Dia menjawab dengan cengengesan

"Alasan saja, sekarang kamu duduk dan kerjakan soal halaman dua puluh empat latihan lima satu itu!."

"Baik pak."

Dia sedikit membungkukkan badannya, berjalan di hadapan guru dengan sopan.

Pak guru yang mendapat hal positif itu, hampir tidak percaya. Seringnya anak yang bernama saka ini berjalan dengan angkuh jika di hadapan guru.

"Astaga sak lu dari mana aja." Celetuk Gara, lalu saka hanya membalas dengan cengiran dan sambil duduk di bangkunya.

"Benar-benar merepotkan!"