Berulang kali Lovani mengatur deru napasnya agar dapat membaik. Meskipun tidak sepenuhnya, seharusnya ini sudah terdengar seperti sedia kala. Seperti ia yang baik-baik saja dan tidak ada masalah.
Ya, Lovani harus seperti itu. Lovani dituntut seperti itu. Demi dirinya sendiri. Demi segalanya yang sudah terlalu banyak menjadi pertaruhannya.
"Halo, Ma?" sapa Lovani tenang. "Maaf aku terlambat mengangkat telepon dari Mama. Ada beberapa hal yang harus aku urus, dan aku baru saja melaksanakan rapat bulanan. Selain itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Tegang kala tidak ada jawaban yang seharusnya didapatkan dari ibunya. Tegang kala Lovani harus diam-diam menenggak salivanya yang tercekat di ujung. Kala harus mengatur napasnya sendiri agar terkontrol dan terarah.
Ibunya pandai membaca situasi dan kondisi. Berapa sentimeter jarak bibir gemetar Lovani berbicara, seberapa jauh Lovani menjauhkan ponselnya, ibunya sangat tahu itu.
Dan yang dapat dilakukan Lovani hanya diam dan membaca situasi. Bila buruk, ia tidak selamat. Bila baik, ia mungkin saja akan selamat. Tidak ada yang dapat menjadi jaminan untuk kehidupan Lovani. Bahkan, ia tidak dapat menjamin dirinya sendiri.
"Hm. Kamu berkeringat sekarang. Bicaramu cenderung tidak jelas dengan sedikit gemetar di ujungnya. Perkara rapat, Mama rasa, kamu tidak menjalankannya dengan baik. Jadi letak tidak khawatirnya ada di mana?"
Sejenak Lovani menahan napas selama beberapa detik. Seberapa banyak Lovani mengusahakan agar tidak ketahuan, pada akhirnya semua usahanya adalah kesia-siaan belaka.
Lovani selalu berakhir di bawah serangan dari mamanya. Bahwa ia tidak cukup baik untuk mendudukinya. Untuk sebab itu ia semakin berambisi, dan tidak terkalahkan. Ya, hanya itu sisi positif yang Lovani dapatkan.
Napasnya terbuang lancar ke bawah. Mencoba untuk tetap tenang walau di bawah tekanan. "Mama benar. Rapat tadi tidak lancar karena ada sedikit hambatan tidak terduga. Beberapa orang yang tidak bekerja dengan baik sudah kuletakkan di garis merah. Apabila ada di garis hitam, mereka akan diberhentikan sebelum waktu kontrak. Mama tenang saja, semuanya berada di tanganku."
"Seorang pemimpin yang baik seharusnya dapat menduga hambatan itu, Lovani," ujar Ginara menyindir secara tak langsung. Begitu halus dan menyelekit tepat di dalam hatinya. "Kau tahu apa yang sedari dulu kutanamkan kepada dirimu, Lovani."
"Iya, Ma." Nada suaranya terdengar lesu dan menurut, tapi itu tidak berlangsung lama. Sebab Lovani harus terus meyakinkan mamanya.
Walau itu cenderung tidak berpengaruh terlalu banyak. "Mama tenang saja. Percayakan semuanya pada Lovani, Ma. Lovani bisa mengatasinya, dan Lovani akan selalu mengatasinya seperti biasa. Kejayaan akan berada di tangan kita-"
"Tangan perusahaan ini," koreksinya menekankan. "Dan Lovani, persiapkan waktumu jam sembilan malam nanti. Ada yang perlu Mama bicarakan denganmu. Jangan terlambat, kalau bisa datang lebih pagi. Tempat sudah Mama reservasi, begitu juga adikmu akan datang."
Adik? Adiknya itu akan datang? "Ma, tapi-"
"Perintah Mama adalah sebuah perintah untukmu dan masa depanmu," sela Ginara langsung. Tak memberikan jeda, menembak tepat sasaran di relung terdalam Lovani.
Dentuman itu menyakitkan untuknya. Sangat menyakitkan.
Di atas langit, masih ada langit. Kalimat kelam itu sangat pantas disematkan terhadap dirinya yang sering menakuti bawahan, tapi ia sendiri takut terhadap atasannya. "Baik, Ma. Jam sembilan malam hari ini. Sampai bertemu di sana, Ma, juga sampaikan salamku kepada Levana."
"Hm."
Bruk!
Berbicara kepada Ginara selalu menghabiskan tenaganya. Sangat-sangat menghabiskan tenaganya sampai untuk bergerak pun tidak bisa lagi. Kepalanya bersandar kelelahan di atas lipatan lengannya sendiri.
Betapa lelahnya Lovani berdiri tegap di sini, dengan lingkungan sekelilingnya yang terus berjalan tanpa menunggui dirinya.
"Rane," panggil Lovani melalui interkomnya. "Tolong bereskan tempat ini. Bila Nyonya Ginara berkunjung untuk melihat-lihat, tolong katakan sejujurnya tentang apa yang terjadi di tempat ini tanpa membuat citraku buruk."
"Baik, Nona Lovani. Akan saya sampaikan pada pekerja lainnya untuk mengatakan hal sama seperti perintah Nona," jawab Rane patuh.
Pip!
Kemeja dengan jas hitam yang membentuk tubuh rampingnya sudah terpasang kembali dengan rapi. Tak meninggalkan sebuah jejak pun, menatap ke sekeliling dan sudut-sudut dari ruangan ini, sangat tidak bercela.
Pun, tubuhnya tetap dipaksa bergerak walaupun menolak. "Tiga jam untuk beraksi."
***
Bersolek di depan cermin rias bukanlah kebiasaan dari seorang Lovani Agastani yang memiliki paras luar biasanya. Tanpa bedak, tanpa foundation, tanpa lipstick, Lovani sudah sangat mencolok dengan tinggi semapainya.
Apalagi semua itu berpadu menjadi satu? Dengan dress merah ketat miliknya, off shoulder yang menggoda, ditambah bibir merah yang setiap mengatup dan terbuka mengundang lirikan para lawan jenis, lalu clutch kecil sebagai pelengkap penampilannya saat ini?
Satu kata mendeskripsikan Lovani. Ia adalah makhluk tersempurna. Ia adalah seseorang yang sangat memukau, dan tak perlu banyak bicara untuk menyatakan eksistensinya di dunia ini.
Hidup yang sempurna, bukan? Jabatan tinggi, uang yang banyak, dihormati, belum lagi undangan yang berdatangan dari pria-pria ternama yang melamarnya.
Sayang, semua diabaikan Lovani yang akan terus berjalan sendiri ke depan. Tak membutuhkan siapa pun, baik pria ataupun wanita di sisinya.
Seperti sekarang ini. Langkah anggun dan gemulainya melangkah selepas keluar dari kamar kecil. High heels-nya telah berpadu tanpa canggung di atas karpet merah yang seolah menyambut dirinya di sana.
Seorang ratu sedang berjalan. Bukankah begitu? "Atas nama Nyonya Ginara Chari?"
"Nona Lovani Agastani?" Terlihat bulatan indah itu nampak semakin indah adanya kala terkejut. Kemudian, menunduk kembali untuk menyambutnya. "Mari saya antarkan Nona ke kursi Nona. Yang lain telah menunggu."
Sikunya terlipat di sisi kiri dan kanan tubuhnya sembari memegangi clutch-nya di depan dada. Perbandingan telak untuk semua wanita. Hanya segelintir yang dapat mengimbangi tubuh Lovani, tapi tidak ada yang dapat menandingi kerampingannya.
Benar-benar definisi wanita idaman. Semua mata akan selalu tertuju kepadanya.
Kecuali dua orang, dan satu orang brengsek yang membuat senyum angkuh Lovani luntur seketika.
Dan kepongahan beserta keberangan itu mencuat terus terang. Tanpa terkendali, tanpa bisa diatur. "Ma? Selain Levana, siapa yang ada di sana?"
Tentu, Lovani sudah tahu pria bermata abu sama persis dengannya. Sangat tahu, dan lebih dari sekedar tahu. Memiliki genetik yang hampir serupa, dengan sifat yang kurang lebih sama. Perbedaannya, si hama itu tidak lebih pintar darinya.
Tetap saja. Merupakan polusi mental untuk dirinya yang ingin menjalani malam dengan damai! "Ma?"
"Kamu tidak mengenalinya, Lovani?" Sebuah kerutan tercipta kala Ginara berucap santai. Menyiapkan serbet untuk di pangkuannya untuk fine dining. "Sekedar informasi, kamu sudah terlambat semenit, dan kami telah datang duluan. Jadi, jangan membuat kekacauan dan duduk saja sekarang."
"Ma!"
"Jangan menaikkan intonasimu seperti itu! Kamu tidak terlihat ataupun terdengar seperti wanita terhormat, Lovani!" cecar Ginara tajam. "Duduk. Sekarang juga."