Big Mistake

"Lovani Agastani, anakku, dia adalah Anja Gastana. Pemilik perusahaan sebelah yang sering bersaing denganmu untuk menanjaki peringkat pertama dari bidang kita." Ibunya, Ginara, menyeka sudut bibirnya pelan. "Kalian pernah bertemu beberapa kali, meski belum secara resmi."

Kunyahan Lovani berhenti demi memperdengar lebih jelas ucapan Ginara. Bahkan dengan sengaja, makanan yang belum usai itu, disingkirkan ke tepi. "Bawa semua makanan ini ke belakang."

"Lanjutkan makanannya saja." Ekor mata Anja meruncing licik menghadapi Lovani. Seakan mengejeknya, 'Mana nada tinggimu tadi di telepon? Tidak berani?'

"Tuan Anja yang terhormat," ujar Lovani geram, tetap mempertahankan kemanisan bertabur rasa pahit dalam senyumannya. "Saya tahu Anda berkali-kali mengirimkan rangkaian bunga berisikan penyadap di dalamnya. Jadi, bisakah Anda diam saja?"

"Lovani," peringat Ginara mendelik tak senang. "Bukan begitu caranya berbicara kepada tamu."

"Mama yang mengundangnya, ya, 'kan?" tanya Lovani datar. Sesopan-sopannya Lovani di hadapan mamanya agar citranya terjaga, Lovani tetap memiliki batasnya! "Kalau begitu aku permisi, Ma. Tampaknya pertemuan ini bukan untukku."

Clutch itu telah dibawanya garang. Melipat serbet itu asal, lantas membantingnya dengan perasaan dongkol di atas kursi. Setiap bersitatap dengan adik lelakinya, Levana, perasaan tak mengenakan itu mencuat.

Melihat kedekatan mereka, Lovani sering merasa cemas akan hal tidak jelas. Dan dari ratapan Levana yang kosong … Lovani tahu ada yang berbahaya, apalagi Anja digabungkan dalam satu meja.

Mereka membuat Lovani merasa sesak. Sangat sesak sampai Lovani tidak bisa bernapas dengan lancar, tidak dapat mencerna makanan dengan baik. Mereka bertiga yang memandangi kepergian Lovani adalah iblis!

"Kamu dan Tuan Anja Gastana akan menikah dua minggu lagi." Lalu, Ginara melanjutkan dengan tenang. "Semua persiapan, tamu undangan, termasuk gedung, pakaian, rumah, dan hal lainnya telah disiapkan oleh Tuan Anja Gastana."

Tep!

Kaki kanannya telah menutupi langkah kelimanya. Baru separuh jalan, mimpi buruk lainnya datang menghampiri Lovani lagi.

Seseorang tolong katakan, ini adalah mimpi yang tak akan terealisasi.

Wajahnya tertoleh separuh ke belakang. Gamang memandang ke arah samping, yang membuat punggung tegapnya tak setegar sedari datang. "Mama … bercanda?"

"Kamu tahu, mengucapkan kata pernikahan adalah hal yang paling sakral untuk Mama. Untuk apa Mama membercandai kamu perihal hal ini?" Wanita paruh baya itu menenggak separuh minuman guna membasahi kerongkongan dan mulut manisnya. "Tepat di tanggal lima belas April, kalian akan menikah. Tidak ada yang dapat mengganggu gugat keputusan ini, kecuali Mama dan Tuan Anja."

Langsung, Ginara Chari memalingkan wajahnya dari punggung berbalut gaun merah itu. Mengarahkannya terang-terangan pada Anja. "Tuan boleh membawa Lovani ke rumah Tuan untuk bersiap mengenai pernikahan, tetapi, pastikan dia dapat bekerja dengan baik di sana."

"Kalau begitu saya dan Levana izin permisi dahulu, Tuan Anja."

Seusai memberikan beberapa petuah tidak bergunanya itu, malah di mata Lovani, kepergiannya terasa seperti kabur.

"Duluan, ya, Kak." Levana, adik lelaki yang memiliki paras persis seperti ibunya ikut pergi meninggalkan Lovani sendirian.

Meninggalkan seorang perempuan yang dalam usia matang, dalam usia jayanya, untuk terkurung dalam jalinan bodoh yang dinamakan 'pernikahan'.

Ibunya sendiri, tak menanyakan persetujuan Lovani. Ibunya sendiri, tidak menoleh ke belakang untuk memeriksa apakah anak perempuan tunggalnya itu baik-baik saja.

Sama sekali tidak. Lovani seperti terbengkalai di belakang sana, dengan ratapan kasihan dari Anja, yang Lovani tahu itu sangat dibuat-buat.

"Jadi … di mana tempat tinggal Anda, Nona Lovani?" Pria itu mulai bergerak dari meja bulat besar dan berderap kecil tepat ke tempat di mana Lovani berpijak kini. "Bukankah, tanggung jawab Anda berada di tangan saya."

Dengan cepat Lovani berbalik nyalang. Mengangkat ringan sebelah tangan yang mudah sekali ditangkap oleh lelaki yang berpostur lebih tinggi sepuluh senti darinya. Secepat itu pergerakannya, secepat itu pula refleks yang diberikan oleh Anja.

"Tidak ada yang boleh bermain kasar di sini, Nona Lovani. Bukankah begitu?" Sebelah alis tebalnya menukik naik. Menunduk rendah pada Lovani yang berada di bawahnya. Tepatnya, di telinga Lovani. "Kalau Nona menggunakan kekerasan, maka malam pertama kita tidak akan baik."

BUGH!

"Persetan dengan malam pertama! Saya tidak akan sudi menikah dengan pria bajingan dan brengsek sepertimu, Tuan Anja!" Emosinya yang bergerumul pada akhirnya lepas kendali. Menunjuk jelas ke dada pria yang kini membungkuk dengan erangan kecilnya, serta merta menginjak kaki pria itu dengan high heels tajamnya. "Kupastikan, bahwa pernikahan itu tidak akan berjalan baik! Camkan itu, Tuan Anja!"

Selepas itu, kini tak ada lagi semua yang ditahan demi gengsinya. Persetan dengan semua itu. Melenggos pergi layaknya merak yang mengibaskan ekor indahnya.

Bukan ia yang ditinggalkan lagi, tapi ia yang meninggalkan orang lain. Egonya yang tak pernah ingin mengalah, telah memenangi pertarungan sengit dengan bungkukan pria yang merasakan dua titik sensitifnya diserang.

Di perut, juga kaki sepatu berpantofelnya, berhasil ditembus oleh high heels tajam itu. "Sialan sekali, Lovani Agastani."

***

"Pas sekali kau datang, Rane. Ada beberapa hal yang perlu kau disebarkan kepada tim di bawahmu mengenai koreksian ini, kemudian …."

Hidung tajam Lovani mendeteksi bau asing lain, selain yang berada di sekitarnya. Terbukti kala pandangnya berpindah, ucapannya yang terpotong untung saja belum sepenuhnya keluar.

Keranjang di tangan Rane, serta-merta memenuhi tangan kirinya yang menggendong buket lain. Bunga lavender, rose, dan semua yang lain berpadu jadi satu untuk menyebarkan ranum yang menyenangkan.

Tapi tidak untuk Lovani. Tepatnya, lebih seperti tantangan dan mengejek bahwa Lovani tidak akan bisa bergerak selain dari perusahaannya ini.

Oh, biar Lovani tunjukkan bahwa perkiraan Anja salah besar. "Bawa bunga-bunga itu ke dalam mobil dan persiapkan mobil untuk kukendarai dengan sendirinya. Lalu, laporan-laporan itu bantu aku untuk membacanya dan mengoreksi semuanya."

"Nona ..., tunggu."

Kelopak matanya menyembunyikan sesaat manik berkilau itu. Kemudian ..., meratapi tepat ke arah pria yang membongkar sesuatu di balik bunga-bunga yang bermekaran indah itu. Melepaskan kacamatanya seraya mendongak congkak. "Ada apa, Rane?"

"Tertulis di sini 'untuk calon istriku terkasih, saya berharap Nona Lovani menyukai pemberian saya kali ini, sebab bunga yang lain telah Nona buang. Saya tidak tahu bunga apa yang Nona sukai, jadi saya menggabungkan semuanya jadi satu'."

Bunyi retakan tercipta saat jari-jarinya terlipat ke dalam serius. Kuku-kuku panjangnya menancap ke kulit, tapi diabaikan olehnya. Bahkan, darahnya terasa berjalan dua kali lebih cepat dari biasanya.

Sebagian sklera putihnya telah berurat memerah. Otot-otot leher dan rahang yang mengatup kencang mencanangkan sebentar lagi akan mencapai puncaknya, puncak yang membuat ubun-ubunnya terasa terbakar dan memanas kini.

"ANJA GASTANA SIALAN!" umpat Lovani bertubi-tubi.