The Intimidater

BUGH!

Senjata empuk itu mendarat tepat di landasan yang menjadi target bidikan Lovani. Tak meleset sesenti pun, membungkan wajah tampan itu yang menerbitkan senyum lebar sang wanita.

Tipikal senyum kejahatan yang anggun dan indah. Andai mereka tidak dipertemukan dengan bibit kebencian yang membatasi, mungkin ia akan jatuh cinta pada Lovani, bukan pada wanitanya itu sekarang, Angel.

Bruk!

Tumpuan kepala lembut itu meluncur sejajar dengan tubuhnya. Memunculkan kembali paras tampan itu dalam keadaan buruknya. Tawa licik yang terlepas sudah disimpannya rapat-rapat, sadar bahwa semua orang melihat bolak-balik pada Lovani dan Anja sekaligus.

"Lihat apa? Lanjutkan pekerjaan kalian!" titah Anja menahan emosi.

Suara selantang itu berpatulan pada dinding-dinding rapat hingga kemudian menundukkan kepala para pekerjanya. Beberapa barang yang telah dimasukkan dalam kardus besar itu diangkat keluar berbarengan.

Lovani pun abai akan hal itu. Lebih memilih untuk memakan habis orang di depannya alih-alih mementingkan semuanya. "Kenapa? Anda merasa malu setelah seorang wanita berhasil menjatuhkan wajahmu itu, huh?"

"Kamu wanita yang tidak tahu sopan santun, ya?" sindir Anja telak. "Saya tidak pernah menggunakan kekerasan kepadamu, Nona Lovani. Kalau Anda terus menggunakan kekerasan, apa saya salah jika saya menggunakannya juga?"

"Seorang laki-laki yang pengecut dipersilakan menggunakan kekerasan fisik maupun verbal untuk melawan saya. Saya tidak bermasalah dengan itu," tantang Lovani. Sengaja menyibak kasar selimut di atas tubuhnya agar menghadang Anja sesegera mungkin.

Sungguh pun, Anja jadi terbelalak sendiri melihat pakaian Lovani. Kemeja kebesaran itu entah dimiliki oleh siapa, tapi yang jelas, kemeja itu adalah milik seorang pria. Membaluti tubuh ramping dengan tungkai kaki polosnya.

Sial! Kenapa Anja merasa terjebak oleh perangkapnya sendiri? Susah payah ia menelan salivanya yang tersekat di ujung, sampai tak bisa bereaksi saat Lovani memerangkap tubuh yang lebih besar darinya dengan berani.

Seorang wanita yang bahkan bisa mempertaruhkan segalanya itu selalu sepadan untuk menjadi lawannya. Namun, pertama kalinya, Anja merasa ciut hanya setelah melihat penampilan luar biasanya itu.

Ada apa dengan Anja ini? "Kamu tidak takut ada yang salah paham dengan posisi kita sekarang ini? Terakhir kamu memperlakukan saya sama persis, sekarang kamu juga sama. Kamu tidak peduli tentang pendapat mereka mengenai kamu yang menggoda saya?"

"Tuan menyebut ini menggoda?" tanya Lovani sinis. Memajukan wajahnya, sedikit berjinjit untuk menggapai telinga itu, berbisik sangat kecil. "Saya menyebut ini ancaman."

Seringaian itu secerah mentari yang bersinar di luar. Ia tahu tatapan ini. Tatapan berkabut saat seseorang menginginkan perempuan. Ia tahu, karena ia sering mendapatkan rasa lapar yang sudah pasti tak dapat mereka lampiaskan pada Lovani.

Siapa Lovani, dan siapa mereka? Apa mereka ingin tangan mereka patah saat menjamah tubuh Lovani? Ia pun, bukan wanita yang mudah memasrahkan sesuatu yang bukan kehendaknya. Kalau ia tak mempunyai apa pun lagi di dunia ini, setidaknya ia punya satu. Harga diri.

Dan harga diri lelaki ini ... telah jatuh ke bawah sebelum Lovani sempat menjatuhkannya. Salah siapa? "Anda menginginkan saya, Tuan Anja? Atau diri Anda yang tidak bisa menjaga mata saat melihat seorang wanita seperti ini, hm?"

"Jangan mempermainkan seorang pria, Nona Lovani. Anda bahkan tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan kepadamu."

Sebelum diri Lovani luluh lantak di bawahnya, baiknya Lovani disingkirkannya baik-baik. Tidak baik juga, tapi lebih sopan dari cara Lovani mengusir dirinya dengan makian dan umpatan yang mulai sekarang harus diterima oleh Anja.

Harus ditelannya bulat-bulat jika Anja ingin menjatuhkan Lovani. Membuatnya terikat hingga memeras wanita itu sampai di titik darah penghabisannya. Tidak mudah, tapi semakin banyak tantangan, semakin menarik, bukan?

Malah, dengan perlawan Lovani, Anja merasa dirinya tidak bersalah. Lovani berlaku semaunya, dan semaunya itu yang akan diberikan Anja kepadanya. "Masih beruntung Nona seperti ini kepada saya. Jika Nona berlaku seperti itu kepada orang lain, mereka tidak akan membiarkan Nona."

"Saya bukan orang yang suka dikasihani, Tuan Anja. Jika Anda ingin berbuat kasar pada saya, lakukan! Maka saya akan membalas setimpal dengan apa yang Anda perbuat. Jangan mengotakkan seorang perempuan hanya karena dia lemah, Sialan!"

Di antara dua langkah tegap yang beranjak pergi meski keberatan, suara Lovani masih terperangkap jelas ke dalam telinga sensitifnya. Menyambut ucapan itu separuh-separuh dengan suara serak akibat gairah yang membuncah luar biasa dari dalam dirinya.

Pertama kalinya selain Angel, ada yang bisa membuat Anja menginginkan seorang perempuan lebih dari biasanya. Dan untuk pertama kalinya, ia harus bergerak alih-alih memuaskan dirinya sendiri. "Kalau itu yang Anda inginkan, akan saya lakukan di malam pertama kita, Nona Lovani. Tapi jangan merengek saat hal itu terjadi, hm?"

***

Si brengsek yang satu itu benar-benar membawa seluruh bagian yang tersisa dari apartemen ini! Dibiarkan kosong tak berarti sampai untuk menyantap makanan saja tidak bisa!

Dibukanya ruang lain, sama saja. Alat-alat mandi, pakaian, handuk, tidak ada yang tersisa! Lenyap tak meninggalkan jejak maupun bayangan. Sepanjang mata memandang, hanya ada ruangan putih yang telah lapang. "Brengsek! Anja Gastana brengsek!"

Lalu sekarang ... pilihan apa yang tersisa untuknya? Ia lapar, ia kotor, dan ia sama sekali belum mandi. Dan si pria yang tidak punya hati itu telah membawa barang miliknya pergi, menandaskan apa yang seharusnya menjadi haknya.

Tring!

+6282 ....

[Location sent.]

[Ini alamat rumah saya. Orang-orang saya berada di bawah, menunggu Nona Lovani untuk turun dan mereka akan menjemputmu untuk ke rumah saya. Semua barang-barang Nona berada di sini. Pilahlah sebagiannya, dan akan saya berikan kepada yang membutuhkan. Barang-barang Nona terlalu banyak.]

"Memangnya dia siapa sampai berani menjual semua barang-barang yang kubeli dengan jerih payahku, huh?! Dasar pengatur!" sungut Lovani tak henti-hentinya. Benda pipih itu nyaris retak di tangannya jika saja tidak ada dering lain yang meredakan emosinya.

Saverane Lafael is calling.

Si orang pendiam, lelaki tampan yang selalu mengunci mulutnya, dan kerap menjadi sasaran kekesalan, pengaduan, dan keluhan dari Lovani. Yang disukainya adalah, pria itu cenderung menerima dengan senyuman tipis andalannya.

Orang semacam inilah yang dibutuhkan Lovani sebagai pendamping. Bukan si penyulut kekesalan seperti Anja Gastana itu!

Dering ke tiga, pernapasannya balik ke normal, mendatarkan lagi suara dan emosinya agar tak meninggi. "Ada apa, Rane? Apa terjadi masalah di kantor?"

"Tidak ada masalah, Nona. Tapi ..., apa Nona hari ini tidak masuk kantor? Kepala manager dan berkas-berkas menumpuk untuk ditandatangani oleh Nona, dan Nona tidak ada kabar hari ini. Jadilah saya menelepon Nona, maaf jika tidak sopan," jelas Rane seterang-terangnya.

Sekejap, Lovani menepuk keningnya polosnya. "Saya akan segera ke sana, Rane. Tolong siapkan pakaian yang sekiranya nyaman untuk saya pakai. Sampaikan bahwa saya akan datang terlambat karena masalah pribadi. Terima kasih, Rane."