Bila tadi pagi Lovani seakan wanita yang tak bisa dihentikan, kesan itu akan terhenti di depan penjelajahan seorang wanita tak sepadan dengannya.
Lovani jauh berada di bawahnya. Dan wanita itu selalu berada di atas angannya. tak akan tergapai, tak akan terlampaui. Selalu bergerak di bawah bayang-bayang darinya, tidak bisa melepas dan terikat dalam jalinan transparan yang mengukungnya rapat.
Ketakutan Lovani tak akan pernah berubah baik untuk dahulu maupun sekarang. Tetap sama dan konstan. Malah, seiring berjalannya waktu, cemas dan khawatir, serta-merta perasaan takut itu membesar.
Seperti sekarang ini. Diam membeku tanpa gerakan yang berarti. Canggung dan gugup melirik ke arah Ginara Chani yang meneruskan perederan mata jelinya pada setiap titik di sudut apartemen ini. "Ma ... apa tujuan Mama ke sini?"
"Kapan kamu akan pindah dari apartemen kumuh ini?" Pancaran matanya membeliak ke sembarang arah. Mulai memutari bola matanya malas. "Sudah tujuh tahun, kamu masih berada di sini. Sekarang pindah ke rumah calon suamimu itu."
"Ma!" sentak Lovani memelas. Dengan sengaja meletakkan cangkir kepulan asap yang sama sekali tak dapat dinikmatinya barang sekejap. "Lovani tidak pernah menyetujui pernikahan ini! Malahan Mama yang paling tahu mereka adalah perusahaan nomor dua yang bersaing dengan kita! Bisa-bisanya Mama menikahkan aku dengan musuh sendiri?"
"Itu musuh perusahaan, bukan musuhmu." Ginara mendengkus remeh. Melakukan hal yang sama seperti yang telah Lovani lakukan. Meletakkan cangkir itu tanpa minat kembali ke wadahnya, melipat kedua sikunya di depan dada. "Perusahaan kita akan semakin besar jika peringkat satu dan peringkat dua berkolaborasi, Lovani. Mengalahlah."
Dentuman dadanya menjadi pengaruh paling besar dari pengangnya telinga ini. Telinga yang tak dapat melakukan tugasnya dengan baik, tak lagi mampu menangkap informasi yang .... "Sepertinya Mama salah berbicara. Iya, 'kan?"
"Untuk hal seperti ini saja kamu tidak tahu, Lovani. Apa kamu adalah pemimpin yang cocok untuk sekarang?" tanya Ginara tajam.
Menyikut sebagian hatinya yang tertatih. Berdarah tanpa diobati. Pun, membiarkannya tercecer di sepanjang jalan yang sudah maupun belum dilewatinya.
Tapi Lovani akan tahu kedepannya, kalau ia akan berakhir mengenaskan. "Ma! Lovani ini sudah bekerja tujuh tahun dan membawa perusahaan ke arah yang lebih baik! Terkadang kita tersalip, baiklah, itu kesalahan Lovani, tapi apa harus seperti ini, Ma?"
"Di bawah kepemimpinan Lovani, tidak ada yang buruk, Ma. Semua berjalan sesuai harapan, semua berjalan sesuai keinginan para pemegang saham, investor, dan pelanggan yang tak menginginkan adanya kerugian."
Lantas, Lovani terburu-buru bergerak tepat ke sebelah Ginara. Menangkup tangannya yang sedikit keriput dan renta. Mengurungnya agar tak dapat menampik. Terlihat ekspresi tak senang Ginara, tapi Lovani sama sekali tidak peduli.
Dikeluarkannya pemelasan yang tak pernah bekerja untuk Ginara. Simpuhan lutut yang tak pernah dilangsungkannya, harus dilakukannya sampai-sampai menimbulkan desis tak nyaman dari Ginara.
Baiklah. Mamanya yang menang, dan Lovani yang kalah perihal harga diri. Tapi, apa pedulinya saat ia bisa menyelamatkan yang lebih besar dari ini?
Tak segan, bibir kemerahan itu ditempelkan pada punggung tangan sang ibu. Lagi dan lagi, Ginara seakan menunjukkan tindakan penolakannya. Belum sampai di sana, Lovani menariknya tepat di depannya lagi.
Tangan ini dingin. Dingin karena suhu udara, dingin karena tangan yang dulu mengasuhnya, telah berubah jadi tangan terkejam yang pernah ada.
"Mama lihat aku, 'kan?" tanya Lovani berkaca-kaca. "Mama tahu perusahaan itu jiwa aku. Perusahaan itu cinta pertamaku. Bisnis adalah hidupku, dan aku tidak akan bisa melepaskannya, Ma. Aku hidup karena itu. Aku dibesarkan karena itu."
"Mama juga harusnya tahu tidak ada yang lebih pantas dariku, Ma," tutur Lovani melanjutkan bergetar. Tak sadar, tingkahnya yang ingin menarik perhatian itu malah menjatuhkan selolos bulir.
Sebab yang dikatakannya bukan main-main semata. Ia sungguh-sungguh. Perkataannya itu meluncur mulus tanpa terencana terlebih dahulu. "Mama ... Levana masih butuh belajar, Ma. Aku butuh satu tahun kerja kerasku untuk membuktikannya, dia akan membutuhkan waktu lebih, Ma. Kenapa masih mengatakan hal itu?"
"Mama juga yang pernah berkata," lanjut Lovani menjeda sekian detik. "Tidak ada yang bisa dipercayai selain darah daging sendiri. Bukankah itu sudah membuktikan bahwa hanya aku, Ma?"
Sinisnya ratapan itu kerap menjalar hingga ke punggung tangan yang melepaskan kurungan panas itu. Ginara melirik datar. Memandanginya tanpa hasrat dan minat. Bahkan, tak meminta buah hatinya untuk bangkit. "Kalau begitu buktikan."
"Kau bilang kau pemimpin yang baik, bukan? Dengan semua kepongahanmu bahwa tidak ada yang bisa mengalahkanmu, teruslah begitu. Lalu, adikmu yang akan menjadi lawan bersaingmu kelak," balas Ginara tak memberikan Lovani istirahatnya.
Tas bahu kecil merah seperti bunga mawar tersampir kembali di atas bahunya. Beranjak berdiri mengabaikan banyak permohonan dan lontaran kalimat tersebut. Semua sudah terbaca, dan semua sudah ia ketahui. Untuk apa ia mendengarkan tangisan ini? "Mungkin kalimat itu cocok untukmu. 'Saat kau sedang berhenti, ada seseorang yang sedang mengejarmu'."
"Dan satu lagi, Lovani," cetus Ginara melanjutkan. "Pemimpin yang baik akan mengerahkan semua tenaganya untuk perusahaannya. Baik mengenai finansial, atau masa depan pemimpin itu sendiri."
"Levana bersedia. Bagaimana denganmu?"
***
"H-hei! Apa apaan ini?!" jerit Lovani tertahan. Tergopoh-gopoh menarik selimut tebal yang separuh mengekspos kakinya.
Rasanya, Lovani ingin gila saja sekarang! Bayangkan, beberapa orang serempak masuk ke dalam kamar pribadinya, mengambil benda-benda baik yang tengah dipajang, disimpan di lemari, dan berbagai kepentingannya juga!
Sial, sial, sial! "SIAPA KALIAN?! BERANINYA KALIAN MASUK KE DALAM KAMAR PEREMPUAN!"
Tak ada yang mempedulikan teriakan di atas kasur itu. Hendak melolong meminta bantuan, tapi sama sekali tidak bisa. Telinga mereka ditulikan, dan sekiranya itu, ia tahu ada dua pelaku yang menjadi target tuduhannya.
Mamanya dan Anja Gastana si brengsek itu. "Untuk siapa kalian bekerja, huh? Jika tidak mau menjawab, kupatahkan tangan dan kaki kalian-"
"Kejam sekali, Nona Lovani?"
Oh, sial. Si brengsek yang satu itu lagi! Apa tiada hari tanpa pengganggu sepertinya di hidup sempurna dan tertata Lovani?! "TUAN ANJA GASTANA!"
"Ya, Honey?" Senyum bejatnya dengan tarikan alis itu tercipta karena Lovani, dan hanya diperuntukkan untuk wanita itu saja. Tidak ada yang lain.
Hanya dengan begini Anja dapat memperlakukan seorang wanita berbeda dari yang lain. Wanita tangguh yang tidak ada takutnya, di dalam sebuah kamar sedang yang dipenuhi oleh para lelaki, dan wajah beringas acak-acakan yang tak tahu malu untuk terangkat begitu tinggi.
"Ah ... aku jadi sudah tidak sabar untuk pernikahan kita, Nona Lovani." Penekanan kata-kata diberikannya saat mencapai ujung kalimat itu. Pelupuk abu-abunya menyipit guna memfokuskan Lovani dalam bingkainya. "Bagaimana kita akan memulai malam setelah pernikahan kita ... lalu selanjutnya untuk membangun kasih kita, dan kemudian ...."