Do What You Want

Klak!

Ini adalah pemandangan paling tak ingin dilihatnya. Paling membuatnya naik pitam bahkan hanya dengan melihat seorang lelaki menyelimuti tubuh tidak berdaya Lovani di sana. Di sofa, berbaring memunggungi Anja.

Kaki lancangnya bergerak cepat demi menyingkirkan selapis kain tipis yang berniat menutupi tubuh itu. Belum mendarat, sudah ditarik dan dihempas Anja kasar. "Apa yang kau lakukan, huh? Sudah kubilang jangan menyentuhnya!"

"Apa Tuan bisa tenang sedikit?" Rane menyingkir tanpa minat. Meski begitu, setidaknya jarak ini dapat sedikit menenangkan Anja yang tak dapat mengontrol suaranya. "Nona Lovani baru saja tertidur. Bisakah Tuan mengecilkan suara Tuan?"

"Sudah kubilang jangan menyentuh apa yang akan menjadi milikku!"

Bentakan itu tak bereaksi banyak pada pria tenang itu. Memandangi lurus, lebih cemas lagi sewaktu-waktu Lovani akan terbangun, alih-alih mencemaskan dirinya sendiri. "Entah kabar itu benar atau tidak, saya hanya ingin keamanan dan keselamatan Nona Lovani."

Grep!

Cengkraman mematikan itu tak banyak membawa ulah bagi Rane. Sedikit terkejut, pula balas mencengkram pergelangan Anja yang menarik kerah kemejanya kasar. "Jangan ... bangunkan Nona Lovani."

Bugh!

Setiap kali nama Lovani disebut oleh mulut kurang ajar pria yang tak diketahui namanya itu, memicu gelora tak terdefinisikan darinya. Merasa bahwa hanya ia yang pantas menyebut nama itu di bawahnya, tidak ada yang lain lagi selain dirinya. "Brengsek!"

"Ada apa?"

Atensi kedua pria itu spontan beralih pada si wanita yang bahkan tak terkejut lagi. Terlihat tak peduli, tapi baik Rane, maupun Anja dapat melihat kepedulian terselubung di baliknya.

Tubuhnya ditegapkan di sofa. Memeluk lebih rapat lagi jas hitam di bahunya. Mencegah lebih banyak lagi udara dingin merayap masuk ke dalam tubuhnya tanpa seizin darinya. Kelopak matanya menyayu, terpaksa terbuka untuk melihat kedua pria itu. "Berisik sekali."

Gesit Rane bangkit dari posisi tersungkurnya. Merapikan sebagian pakaiannya, membungkuk hormat pada Lovani. "Maaf telah menciptakan kegaduhan ini, Nona. Saya izin permisi dulu kalau begitu."

"Di sini saja," cetus Lovani pelan. Lelah, bergerumul dan bertengkar dengan batinnya sendiri, ditambah dengan pekerjaan tak habis-habisnya membuat ia meringis akan isi kepalanya sendiri. "Anda, Tuan Anja, Anda yang pergi dari sini."

"Saya datang ke sini untuk menjemput Anda!" tuntut Anja. "Ikut pulang bersama saya, atau rumah saya selamanya akan terkunci untuk Anda, dan Anda tidak bisa lagi menemui barang-barang kesayangan Anda."

"Kau kira ancaman itu akan berlaku untuk saya?" sindir Lovani tenang, tapi menusuk. Telah bangkit walau tahu sedikit lagi ia akan tumbang. Tetap memancarkan aura terang yang tiada akhirnya itu. "Ambil saja semuanya jika Anda menginginkannya. Ambil alih apartemen saya jika itu yang Anda inginkan. Ambil hati ibu saya jika itu yang Anda mau!"

Lovani berdiri tegap usai mematenkan kaki kanan di sebelah kaki kirinya. Melipat kedua tangan angkuhnya di atas dada. "Saya bukan tipikal orang yang akan terbujuk dengan hal itu, Tuan Anja. Bahkan ketika saya tidak memiliki rumah lagi, rumah Anda tidak akan menjadi salah satu tujuan saya."

Hanya sampai pernikahan. Hanya sampai pernikahan saja Anja mau dipermalukan seperti ini, di depan karyawannya sendiri, di depan Ginara Chari, bahkan di depan bawahan dari Lovani sendiri.

Hanya sampai pernikahan ia akan menjaga citranya dengan baik. Setelah itu, Lovani akan ia cekik sampai tidak dapat bernapas lagi. Ratapan semacam itu yang terpancar saat Anja berusaha menetralkan pernapasannya. "Jangan sampai saya melibatkan Ibu Anda di sini, Nona Lovani."

"Hanya seorang pengecut yang seperti itu," jawab Lovani tak acuh. Pergi ke sisi belakang Anja, menarik lembut Rane untuk pergi ke sofa sana. "Keputusan ada di tangan saya. Untuk sekarang, sebaiknya Anda pergi alih-alih membuat keributan di sini. Saya mempunyai urusan lebih penting di sini."

***

Ketiga jarinya bergantian mematuk tak sabar ke roda kemudi. Berbunyi beriringan berkali-kali, menciptakan bunyi konstan pengang di telinga. Entah kenapa, hatinya gelisah tak menentu kali ini.

Menghadapi Angel, ia merasa begitu tenang dan damai adanya. Tapi lain halnya dengan dia! Lovani bahkan tak membiarkan hatinya beristirahat dan tenang sekejap pun. Apakah penantian dua minggu ini akan sepadan dengan setahun yang akan ia habiskan untuk menghancurkan wanita ini?

Pun, Anja layaknya mempertaruhkan wajahnya sendiri. Terkadang bingung ingin menempatkannya di mata akibat terlalu banyak diejek, direndahkan, dan dicaci maki oleh Anja. Meskipun ia brengsek, ia masih tahu batasan untuk tidak terang-terangan membalas Lovani.

Biarkan mengalir seperti air, tapi riak yang diciptakan Lovani bagai ombak yang menghancurkan aliran itu, sialan!

Hampir tiga puluh menit, wanita itu nampak di bawah gelapnya malam. Tentu, bersama seseorang yang menyulut kobaran api tak pastinya itu. Ia tidak suka kalau Lovani nyaman dengan pria lain, dan akan memiliki pria lain nantinya!

Klak!

"Cepat masuk!" Lepas semua penantian bermenit-menit lamanya ia di dalam mobil. Paras tampan itu bagaikan singa yang akan menghabiskan pasangan lain dari harimau wanita itu. "Masuk, Nona Lovani! Berhentilah bermain-main atau aku akan ke sana dan menarikmu masuk ke dalam mobil!"

Keduanya tampak tak mempedulikan Anja yang marah-marah sendiri di samping mobil. Terus bercengkrama dengan ekspresi tenang dari Lovani, dibalas dengan sedikit menyempitkan ekor matanya.

Sekali pandang, akan tahu siapa yang memiliki rasa untuk siapa. Sejak pertama bertemu saja, Anja sudah tahu siapa yang memendam rasa di sana. Apakah Lovani tidak sadar akan itu? "Nona Lovani!"

"Ya, ya! Berisik sekali!" balas Lovani mengembus kasar. "Saya duluan, Rane. Tentang laporan dan berbagai yang belum selesai, kirimkan melalui email nanti. Terima kasih."

Wanita itu berjalan mundur ke belakang, lantas melambai dengan senyum kecil miliknya. "Dan terima kasih untuk tehnya tadi sore. Saya akan membalas sebisa saya nantinya."

Rane tak membalas lambaian itu. Hanya senyum tulus yang tercipta untuk Lovani, kemudian membalik tubuhnya tenggelam di balik pilar tinggi di parkiran.

Sementara itu, Lovani berjalan ogah-ogah ke tujuan yang sejujurnya, ia sangat terpaksa itu. Melihat wajah Anja saja sudah mual. Tapi apa daya, tampaknya ia memang akan menghabiskan sebagian harinya dari sini, lalu mencari cara untuk kabur dari genggaman-

"Jangan berpikir untuk kabur, Nona Lovani." Anja mendahului percakapan. Aroma maskulin dan mint menyeruak kala Anja mengempaskan kembali bokongnya mendiami kursi pengemudi. Menarik sabuk pengaman dan men-starter mobil secepat kilat.

Berada satu mobil dengan orang yang bukan wanitanya adalah hal yang cukup menyesakkan juga untuknya. Tapi bukan hanya berlaku bagi Anja, Lovani pun merasakan hal yang sama.

Kalau ia tidak tahu tata krama, mungkin ia akan memilih kursi penumpang di belakang sana! Namun demi kenyamanan telinga dan kepalanya, alangkah lebih baik untuk tidak memantik kobaran lagi malam ini.

Lovani membuang pandangnya ke parkiran yang hampir kosong itu. Memposisikan dagunya yang bertopang tangan agar tak berhadapan dengan Anja. "Ya, lakukan sesukamu saja."