Sudah jelas ukuran rumah ini bisa dikatakan luasnya lima kali lipat ketimbang apartemennya itu. Apartemen yang biasa ia tinggali sudah tidak ada. Lenyap tak bersisa akibat kerja sama dua orang ini.
Sungguh. Sangat. Mengesalkan.
Leher Lovani tak perlu repot-repot berputar ke kanan. Ogah, muak, dan sangat membenci Anja sekarang. Padahal, dulu ia tidak begitu mengacuhkan keberadaan Anja. Dahulu, ia tidak sebenci ini pada Anja.
Namun, siapa yang bisa tidak membenci orang yang telah mengganggu hidupnya? Lovani bukan penyabar, bukan juga orang yang ingin kesulitan membersihkan rasa tak menyenangkan ini. Lovani tidak selapang itu untuk menerima semua yang telah terjadi semudah memejamkan mata.
"Turun." Tubuh jangkungnya lebih dulu lolos dari mobil. Kabur secepat kilat setelah ujaran pertamanya tanpa perlu menunggu Lovani untuk keluar.
Pun, wanita itu sama sekali tidak berniat menoleh ke depan rumah Anja. Lebih asyik dengan dunianya sendiri, di mana tidak ada yang dapat mengecoh lamunannya sekarang.
Bebannya berat. Hatinya tidak kuat. Kepalanya putus asa, begitu juga tubuhnya yang remuk redam. Semua memberikan masalah ekstra untuk ditanggung oleh Lovani. Belakang kepalanya bersandar nyaman tanpa terganggu. Besar istana itu tidak menggugah Lovani untuk menjejak di sana.
Klak!
"Saya bilang, turun." Tiba-tiba saja pintu di kiri Lovani membentang lebar. Si pria itu membungkuk, menunduk dengan tilikan tak senangnya. "Kalau kamu tidak bisa menurut, lebih baik kamu tidur di taman nanti."
"Ide yang bagus," ceplos Lovani santai. Merotasi mata kakunya yang ingin-tak ingin terpejam itu. "Saya punya beberapa pertanyaan sebelum masuk ke rumah Anda, Tuan Anja. Dan bila ada satu pertanyaan saja Anda lewatkan, saya angkat kaki dari kawasan rumah Anda selamanya."
Kedutan kening Anja menyatakan ketidaksetujuannya di sana. Namun untuk kesekian kalinya, ucapan itu berhasil tertahan di ujung lidahnya. Sebelum ucapan Lovani menjadi kenyataan, Anja tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memasang jebakan sekarang ini.
Bila pengaduan menjadi sebuah tindakan pengecut, biarkan Anja yang mengambil alih di sini. "Kalau pertanyaanmu mengenai hal yang privasi, saya menolak untuk menjawab. Setujukah dengan hal itu?"
Lovani berdecak mengejek. "Saya bahkan tidak peduli tentang diri Anda, Tuan Anja. Yang saya inginkan adalah kenyamanan dan ketenangan. Jika ada satu hal saja tidak saya dapatkan, saya tidak akan segan-segan menghilang. Mengerti?"
"Sedari awal bertemu dengan saya, kenapa hanya selalu ancaman yang keluar dari mulutmu itu, Nona Lovani?" Sungguh pun, ia ingin tersinggung, tapi ini seperti tabiat yang tak akan bisa dilepaskan dari Lovani. Layaknya satu kesatuan, tak dapat dipisahkan. "Saya berusaha sabar menanggapi kamu, tapi sepertinya kamu tidak pernah mengakui usaha saya, ya?"
"Satu, Tuan Anja. Anda tidak menikahi saya atas dasar cinta. Itu sudah pasti, 'kan?" tanya Lovani menusuk. Kini keduanya saling mengunci, bergulat melalui sengatan statis dengan medium udara. "Jadi, saya tidak tahu sesungguhnya apa niat Anda menikahi saya. Masih baik saya tidak bertanya mengenai itu, bukan? Jadi lebih baik Tuan diam dan terima setiap ucapan saya saja!"
Kedua bibir itu tak sengaja mengencang. Anja terdiam akan ucapan tepat sasaran Lovani. Begitu mengena, tepat di relung hatinya.
Benar. Lovani tidak pernah bertanya apa niatnya Anja bersikeras menikahi Lovani. Wanita itu condong ke arah menerima tanpa bantahan, meski bibir yang jarang sekali tersenyum itu mengucapkan beragam kata-kata kasar beruntun.
Berlaku sebaliknya. Anja tidak tahu kenapa Lovani sangat penurut. Meskipun dengan paksaan, setidaknya wanita itu pada akhirnya mengikuti Anja. Keduanya tak mempertanyakan alasan, tidak juga menyatakan jawaban. Sama-sama terkunci rapat.
"Ke satu. Saya akan tidur di mana?"
Rasanya seperti tengah diwawancara saja. Menunduk bagi tubuh tingginya adalah suatu kesulitan tersendiri. Maka, yang terjadi adalah ia yang melebarkan pintu itu, sementara punggungnya bersandar tepat di sisi bodi mobil.
Menjadikan rumput-rumput dan sebagian bunga, serta bunyi jangkrik di malam hari sebagai perhatian utama yang cukup menenangkan untuknya. "Ada dua. Kamar utama dan kamar tamu. Kamar utama adalah kamar yang saya tempati sekarang-"
"Saya menempati kamar tamu." Lovani langsung menyodorkan jawabannya tanpa ingin mendengar dahulu penjelasannya.
"Bisa tidak jangan menyela?" Ujung sepatu kulitnya menghentak sekali ke tanah. "Kamu itu sangat tidak mencerminkan wanita terhomat, kamu tahu itu, huh?"
Meski terangkatnya kedua bahu itu tak terlihat, Lovani tetap melakukannya. "Lagipula cepat atau lambat Anda akan melihat sifat asli saya. Untuk apa saya menyembunyikannya?"
Dasar wanita serampangan. Semaunya saja dan sangat egois. Tulang jari jemarinya diluruskan. Suara peregangan kecil tercipta akannya. Kebiasaan yang paling sering dilakukan olehnya. "Kedua?"
"Jangan memanggil satu orang pun maid ke rumah ini," kata Lovani mengusaikan segala keluh kesahnya untuk sekarang. "Akan saya buat perjanjian untuk bertugas saling membersihkan di rumah ini. Saya tidak akan menjadi beban untuk hanya sekadar menumpang. Saya tahu diri jika Tuan menyadarinya."
Blam!
"Ah, dan barang-barang itu bisa Tuan buang jika Tuan menginginkannya." Lovani berpaling tipis ke belakang sana. Berganti ia yang meninggalkan Anja, setelah tadi Anja meninggalkannya. "Kebetulan sekali, sejak lama saya ingin menyingkirkannya. Terima kasih sudah menyingkirkannya untuk saya."
***
Tak!
Lampu itu berhasil menyinari seluruh penjuru kamar ini. Kamar tamu apanya? Ini lebih mirip kamar utama ketimbang kamar tamu! Bahkan kasur ini berukuran king size, bukan queen size seperti miliknya di apartemen lama itu.
Tubuh letihnya ambruk tepat ke tengah kasur. Merebah untuk pertama kalinya sejak bertemu dengan kasur. Padahal, dulu ia selalu menempati meja kerjanya, ketimbang untuk bersandar pada benda empuk ini.
Sebab, dipastikan matanya akan memberat secara langsung. Dan ia tidak akan dapat melakukan apa pun untuk mencegahnya.
Hal itu sedang terjadi padanya. Berjuang melawan dirinya sendiri yang memberontak, bahwa banyak pekerjaan yang ditinggalkannya dan belum terselesaikan sampai saat ini. Menanti untuk mengurai ikatan permasalahan itu agar kembali ke tempat semulanya.
Tapi padahal ..., ia tidak pernah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Miris memang.
"Pa ...," gumam Lovani melirih. "Apa salah kalau aku berharap aku menyusul Papa sekarang?"
Ah, sial. Malam adalah waktu terburuk yang pernah ada. Bulir yang diharapkan Lovani tak pernah menghiasi bola mata indahnya, pada akhirnya melapisi sebagai garda terdepan sekarang.
Namun, anehnya, itu tidak pernah mengalir. Selalu terhenti di ujung, seberapa sesak dan letih dirinya. Apa pun yang terjadi, pengaduan itu tidak pernah sampai. Namun, apabila dikabulkan, hati kecilnya jujur saja ketakutan. Ia tidak pernah siap sekalipun ia yang memintanya.
Tak sadar pergerakan otomatisnya meraih laptop dan ponsel. Membuka beberapa laman penting tanpa pemikiran panjangnya lagi.
Aktivitas monoton dan membosankan itu, tak lepas dari celah tempat Anja menjejak sekarang.
Dari awal sampai akhir, Anja melihatnya.