Are You Mad?

"Melaksanakan peran sebagai suami istri? Apakah Tuan Anja sedang dilanda oleh kegilaan sekarang ini?"

Baru saja dia duduk di ruang tamu, belum apa-apa dia sudah dihakimi kini. Duduk di sini rasanya seperti masuk ke dalam persidangan. Intens tiada akhir. "Dalam artian saya menafkahi kamu, dan kamu memyetujui apa yang seharusnya kita lakukan saat saya memintanya."

"Tidak setuju!" Kertas itu diterbangkannya nyalang. Mendarat tepat saat Anja menangkapnya dengan hunusan kebencian setajam bilah pisau. "Saya tidak setuju dengan isi perjanjian itu. Ganti!"

"Apa kamu tidak ingin menyerahkan diri kamu pada saya?" tanya Anja tersinggung. "Memangnya saya sebejat apa di mata kamu? Kalau saya bejat, kamu juga bejat karena selalu tidur dengan pria!"

Lovani berdecih risi. "Kebenaran macam apa yang harus saya tunjukkan kepada Anda? Saya tidak sekotor Anda, ya! Jangan berani-beraninya menyebut saya bejat dengan bibir sialanmu itu! Dasar Anda bajingan tidak tahu diri! Pergi! Saya bahkan tidak membutuhkan Anda untuk menafkahi diri saya. Bahkan jika melarat hingga mengemis pun, saya tidak akan meminta bantuan Anda."

"Lovani! Jangan terlalu keras kepala!"

Brak!

"Saya sudah bilang ini yang terakhir kalinya, ya," peringat Lovani berang. "Anda tidak pernah mengindahkan semua peringatan yang saya ucapkan. Lantas, apakah saya harus menuruti Anda sekarang? Menurut Anda ini adil?"

Pena yang tergeletak sedari tadi akhirnya terambil berikut kertas tadi. Lebih tepatnya, merebut secara kasar dari genggaman Anja.

Dari poin satu saja sudah mengesalkan. Alhasil, poin-poin baru dicatat Lovani acak-acakannya. Tergesa, terburu-buru, benar-benar menunjukkan situasi dan kondisinya sekarang ini.

Ya, setidaknya ia masih mau berjuang. Meskipun kesal karena hasil ketikannya sudah dicoret semua, ia akan menunggu perjanjian baru yang akan diumumkan oleh Lovani nantinya.

Kedua kakinya menumpu di atas meja kopi. Bersandar mulai menikmati sandiwara yang ditayangkan di layar depan mereka. Satu-satunya alasan Lovani bertahan di sini, karena series tidak bermanfaat yang muncul di depan sana.

Antara klise, diselipkan adegan-adegan tarik ulur yang membosankan itu. Untuk orang tak sabaran semacamnya, mana bisa ia menyerapnya secara emosional? Terlanjur dongkol akibat terlalu lama bertatapan dan sebagainya. "Yang menjadi tontonan kamu seperti ini?"

"Bukan urusan Tuan," dengkus Lovani dikencangkan. Menekan lebih dalam ujung pena itu untuk memikirkan perjanjian lanjutan yang menguntungkannya.

Pengarahan ujung remote itu menunjuk layar lebar cerah di sana. "Mana bisa pria di dalam drama itu sabar menghadapi sifatmu itu? Kamu adalah orang yang tidak sabar, suka mengancam, dan paling tidak bisa diatur."

"Berisik!" desis Lovani mengetengahkan kedua alisnya. "Tidak bisakah Anda diam saja? Tidak di sini, tidak sedang makan, bahkan sedang beristirahat pun, Anda mengganggu saya!"

"Kamu duluan yang mengganggu saya-"

Tring!

Dua pasang mata itu mengunci sepersekian detik, sebelum memutuskannya ke arah dering ponsel yang bergetar di atas meja. Berbunyi begitu nyaring dan memunculkan seseorang yang sudah dihafalnya di luar kepala.

Jari telunjuk Lovani teracung ke tubuh lunglai di sebelahnya. Kemudian berganti menjadi kepalan yang akan melayang jika saja pria itu macam-macam saat ia sedang mengangkat telepon. "Ya, halo, Rane?"

'Baca.' Demikian gesture yang terucap seraya mengawal keberanjakannya dari sofa L di ruang tamu. Melintasi dapur dan mini bar di sisi kanan, melintasi juga kamar tamu di sisi kirinya, gemulai tubuh rampingnya itu berjalan sangat ringan.

Harusnya Angel bisa berjalan seperti itu. Nyatanya, tidak. Masa depannya hancur. Masa bersinarnya tenggelam. Masa yang paling indah itu luluh lantak karena kaki bagian bawahnya lumpuh total. Selamanya bergantung pada kursi roda.

Dan yang dapat ia lakukan untuk Angel ... hanyalah ini. Hanya sebatas ini. Kekehan mirisnya keluar tanpa dapat dicegah. Dasar pria bodoh yang tidak dapat menjadi tameng bagi wanitanya.

Kertas bertinta hitam mulai dipindainya dalam-dalam. Meresapkan poin menyulitkan apa yang telah diubah Lovani.

1. Tidak ada kewajiban bagi pihak perempuan untuk melakukan apa yang diinginkan pihak laki-laki. Tetapi, jika pihak perempuan sudah bersedia, maka pihak lelaki diizinkan.

Ya ..., cukup adil. Ternyata perempuan itu tidak seegois yang disangkanya sampai tak mengizinkan Anja untuk menyentuhnya. Kepalanya mengangguk setuju, beralih ke poin ke dua.

2. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.

Ps: tidak boleh ada toleransi dan negosiasi di sini. Itu hal yang terpenting bagi saya, juga bagi Anda.

3. Jadwal yang sudah saya tetapkan sebelumnya, harus diikuti dan ditepati. Minggu pertama dan minggu ketiga giliran saya, berikut minggu kedua dan minggu keempat giliran Tuan. Waktu pagi dan malam akan saya berikan toleransi, tapi tidak ketika saya berada di waktu tenang saya.

Cukup adil sebenarnya ..., tapi ada sedikit ketidakrelaan yang mengganjal di dalamnya.

Ia memiliki tujuan tersendiri untuk menikahi Lovani. Namun, jika dilarang mencampuri urusan masing-masing termasuk salah satu prasyarat ... ia jadi sedikit kehilangan jalan mulus yang dibentuknya.

Di sisi lain ..., akan menjadi bumerang untuknya.

4. Jika hubungan semalam, saya tidak peduli. Tapi jika Anda memiliki hubungan spesial, sebaiknya Tuan segera membatalkan pernikahan kita. Bukan tentang perasaan saya, tapi tentang perasaannya.

Deg!

***

"Ah, Rane," sambut Lovani lemas. Tersenyum tipis dan kecil yang dipaksakannya menyungging naik ke atas. Lelah berkutat dengan mata yang panas, baru saja terbangun setelah pintu itu terbuka. "Sudah mendapatkan undangan pernikahannya, Rane?"

"Nona ... benar-benar akan menikah?" Rane menengguk salivanya kasar. Pupilnya bergoyang nanar, tak dapat lagi menyembunyikan hal menyakitkan ini. "Sungguh? Saya tidak salah tanggap akan informasi di dalam sini?"

Senyum yang susah payah diciptakan oleh cetakan otomatis Lovani pun luntur. Suaranya pun mulai tercekat, terurai tanggung-tanggung. Bagian bawah dan atas bibir menekuk ke dalam. Menciptakan warna pucat di sana. "Kenapa nada suaramu berbicara seperti itu, huh? Ini adalah mimpi bagi setiap wanita, bukan?"

"Mimpi mereka," tutur Rane gentar. "Bukan mimpi Nona."

"Nona tidak menginginkan pernikahan ini," lanjut Saverane lagi. Persetan dengan image kuat dan tenang yang dibentuknya. Hatinya gundah dan gelisah. Melaju mendekati nonanya yang ia tahu, Lovani berusaha menahan kepahitan yang hinggap di sana. "Hidup Nona selalu berada di bawah cekalan Nyonya Ginara. Nyonya Ginara berhubungan dengan Tuan Anja Gastana. Pria itu hanya akan membuat hidup Nona di ambang kesengsaraan. Tidak bisakah Nona membatalkannya saja?"

"Hei ..., itu urusan saya, bukan?" Sesaknya beruntun. Bahkan, Saverane tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti ini untuknya.

Memelas, penuh pengharapan, dan luka di dalamnya. Menguarkan raut yang tak akan bisa dilakukan Lovani. Citra dan dirinya tidak terbentuk hanya untuk menangis. "Saya tidak apa-apa, Rane. Ini juga demi masa depan saya, masa depan perusahaan ke depannya."

"Nona," balas Rane hangat. "Bagaimana jika Nona menikahi saya saja? Hidup Nona jauh lebih terjamin dengan saya, dan saya akan memastikan untuk mengurus Nona dengan baik."