Berulang kali napasnya terdengar bergetar. Entah mengapa rasanya mendengar ujaran MC di depan sana menyesakkan untuknya. Menunggu waktu bergulir melambat, merangkak bak kura-kura yang lelah, dan suara yang terdengar menggema di sekelilingnya.
Tangannya dingin, tetapi tubuhnya hangat. Aliran darah menanjak pelan-pelan sampai isi kepalanya seakan ingin meledak. Pasokan oksigennya berkurang tipis-tipis, seolah menyingkir dan membuatnya menderita.
Pernikahan akan menyenangkan jika dilaksanakan dengan penuh sukacita. Berbeda halnya dengan seseorang yang merasakan matanya berkunang-kunang. Menggelengkan kepalanya guna mengusir kepeningan itu, tak terlalu berguna.
"Nona Lovani?" sambut Rane berbisik pelan. Menegapkan lagi bahu yang sempat lunglai tersebut. "Apa Nona baik-baik saja? Wajah Nona tidak tampak sehat."
"Saya baik-baik saja," sahut Lovani mencoba bernapas seperti biasanya. "Hanya gugup ..., ditambah sedikit kelelahan. Tidak ada yang serius. Kenapa kamu ada di sini, Rane? Apakah bangku tamu tidak cukup?"
Rane menggeleng kecil. Melapisi kedua tangan membekunya ke dalam saku celananya. "Hanya ingin menemui Nona ... di belakang panggung? Saya tidak tahu kapan lagi memiliki kesempatan ini. Jadi ... izinkan saya menemani Nona untuk sekarang."
Kini kaki itu sepenuhnya berpaling pada seorang pria pendiam. Mau tak mau, rautnya mulai dipancari sinar kebahagiaan akan keberadaannya. Merasa lebih rileks, nyaman ..., juga tahu bahwa ia tidak sendiri. "Sejak kapan kamu menjadi seseorang yang tidak lagi pendiam, Rane?"
"Mungkin sejak dulu," jawab Rane tak keberatan. "Tapi mungkin Nona yang tidak pernah melihat saya."
Pembawaannya yang tenang mengandung kalimat-kalimat tersirat tak dapat diraba atau terendus oleh indra tajamnya. Dalam sekali, tenggelam dan terseret oleh arus lautan berpasir emas.
"Boleh saya memeluk Nona sebelum pelukan itu dilarang?" tanya Rane mengulas sebuah ketulusan di dalamnya. "Sebelum suami Nona kelak akan memukul saya karena panas di hatinya?"
"Dia tidak akan, Rane, tenang saja," sahut Lovani berkaca-kaca. "Kami tidak menikah berdasarkan cinta. Ini hanya agar kedua perusahaan dapat menjalin hubungan yang baik saja. Hubungan kami tidak akan lebih dari itu."
Rane mendekat dalam waktu yang pendek. Berdiri nyaris sama rata karena Lovani yang mengenakan high heels tinggi. "Kuharap juga begitu, Nona. Jadi ... bolehkah?"
Lovani mengangguk kecil. Baru tangannya merentang agar dapat meraih tubuh perkasa itu, Saverane telah berpindah di balik punggungnya.
Merengkuh serta menghidu aroma parfum yang memang Rane hadiahkan untuk nonanya itu. Merebaknya wewangian yang ingin Rane hirup setiap malamnya sampai bosan. Walau sekarang harapan itu pupus .... "Saya selalu ingin melakukan ini dengan Nona dahulu. Sekarang keinginan saya tercapai, saya harus melepas Nona."
"Rane ...."
"Mari kita sambut mempelai wanita kita!" Sorak sorai tamu undangan di dalam menggema dahsyat sampai bibir kelu Lovani merangkap rapat. Ia sama sekali tidak peduli akan pintu yang sudah memunculkan deritnya.
Ia lebih takut lagi Rane akan menjauh darinya. "Jangan berkata seperti itu, Rane."
"Lovani Agastani!" sambut MC itu nyaring, diikuti oleh keterbukaan pintu kayu lebar itu.
Kegesitan Rane akibat bekerja di bawah Lovani membawa keberuntungan baginya. Pria itu mula-mulai menggenggam lengan, terseret turut sampai menyisakan kaitan telunjuk mereka. Bayang-bayangnya nyaris tak kelihatan lagi.
"Sampai jumpa, Nona Lovani. Semoga Nona hidup berbahagia," ucapnya penuh sukacita.
Persis di ujung kalimat, kemeriahan yang menyambut Lovani. Kemeriahan di antara kehampaan yang dirasakannya seketika. Kemewahan yang tak berarti di dalam hidupnya. Terangnya mencolok matanya, bertabur warna emas seperti gaunnya ... dan mata Rane.
Iringan lagu yang terdengar memaksa Lovani berjalan lambat. Instrumen romantis yang tak menyentuh hatinya sama sekali. Pemusik-pemusik handal pemain orkestra indah bermain setulus hati, sementara dirinyalah yang tidak tulus sama sekali.
Begitu juga orang yang berada di depan sana. Memandangnya datar, tanpa cinta layaknya Lovani adalah benda hidup. Memakai tuxedo formal berwarna putih, namun dengan penampilan pangeran berdarah dingin.
"Keduanya bertemu dalam jarak waktu dua minggu, dimulai dengan sedikit percikan asmara, hingga keduanya dapat menyatu di depan panggung sana! Sebagai seorang suami istri yang sah di mata hukum, juga agama."
Euforia dirasakan Lovani di sekitarnya. Sorot mata memuja tak lengkang dari indra sensitifnya. Namun, sepasang mata ini hanya akan tertuju pada Anja Gastana.
Dan apa yang dikatakan tadi? Percikan asmara? Bullshit! Ini adalah percikan kebencian! Tidakkah yang lain dapat melihatnya? Pernikahan ini hanya dijadikan alat olehnya! Pernikahan ini telah diperalat oleh manusianya!
"Mau mengambil tangan saya, hm?" Anja merunduk separuh tubuh. Mengulurkan tangan kanannya, selagi tangan kirinya terlipat di belakang tubuh. "Perlu bantuan?"
Lancar sekali Lovani melemparkan pancaran berkilat penuh dendamnya itu. Sedikit meraih tangan Anja, kemudian menariknya dalam waktu seketika. Dalam waktu sesingkat itu, Lovani menyempatkan berbisik, "Sepertinya Tuan Anja melupakan siapa saya, bukan? Biar saya ingatkan kali ini, Tuan Anja."
"Nona Lovani Agastani dan Tuan Anja Gastana! Mari kita sambut, pengantin baru kita hari ini!" Sang MC meramaikan suasana dengan riuhnya ribuan tepuk tangan yang berpadu menjadi satu. Tersenyum lebar, tak seperti dua orang di atas podium yang memaksakan senyum.
Anja merengkuh rapat pinggang Lovani, sementara Lovani mencengkram kesal kemeja belakang pria itu. Sekali memberi hantaman, Anja meringis, namun lebih kuat merapatkan pinggang langsing itu.
Ibaratnya, keduanya saling menyakiti di depan umum, bersama senyum lebar yang diupayakan dapat menghibur tamu-tamu undangan sekalian.
Mereka berdua sudah seperti pemeran film yang mewajibkan keduanya bersandiwara. Malah, penampilan serasi keduanya sangat mulus, layaknya berakting natural.
"Kedua mempelai, dipersilakan untuk berdiri berhadapan, karena sebentar puncak acara yang ditunggu-tunggu akan dimulai."
Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk berhadapan. Masih saling menggenggam kencang-pelan untuk mengadu kekuatan satu sama lain. Memberi kesan seolah keduanya dipenuhi oleh taburan cinta.
"Kedua mempelai diperbolehkan untuk mencium pasangan masing-masing!"
Memangnya hal ini membutuhkan instruksi, hm? Bagi Lovani yang tidak akan bisa diperintah, apalagi oleh Anja, seorang pria bejat yang tidur bersama wanita, dan masih menjejak di pernikahan suci ini, biar Lovani beri pelajaran.
"Saya Lovani Agastani, Tuan Anja." Dimulai dari mengusap sensual janggut-janggut tipis yang tumbuh di sekitar dagunya, Lovani mulai membelai lembut bibir itu.
Lihat, 'kan? Malah pria itu yang terkaku di seberang sana. "Sebuah kehormatan bagi Tuan untuk dapat disentuh oleh saya, bukan? Mungkin semua sentuhan itu tidak akan berarti karena Tuan sudah merasakan sentuhan saya."
Terbius oleh tekad, retinanya ditembus dengan mudah ke belakang. Tak pernah Anja merasakan sentuhan sedalam, sedamba, dan seingin Lovani. Wanita itu sangat pandai membuai seorang pria.
"Lovani Agastani, pemimpin perusahaan ternama yang menduduki peringkat pertama. Anda membuat saya kehilangan satu cinta saya, saya membuat Anda kehilangan semua orang yang Anda cintai."
Usai perkataan kilat, kemeja Anja ditarik agresif untuk dapat merajai bibir lembut Anja.
Cup!