"Kalau saya bilang saya menginginkan kamu untuk malam ini ... bagaimana?"
"Ditolak," sahut Lovani selepas kalimat itu terlontar keluar. Mengembus berpapasan dengan kaca mobil yang berembun. "Saya menolak untuk melakukannya. Pun, saya akan berada di kamar saya sendiri untuk jangka waktu yang lama. Jangan berharap Tuan dapat bertemu saya di rumah ini."
"Hei," protes Anja. Sedikit memalingkan wajah ke kiri, walau diketahui Lovani tidak akan bertatapan langsung dengannya. "Itu kewajiban kamu sebagai seorang istri. Tidak bisakah kamu mengalah saja?"
"Poin nomor satu, itu membutuhkan persetujuan saya, bukan?" sindir Lovani telak. "Saya juga melihat Tuan sudah setuju dengan semuanya. Kenapa sekarang tiba-tiba menagih sesuatu yang di luar dari kesepakatan kita?"
Ban kemudi mobil menjadi sasaran naiknya tingkat kemurkaan Anja. "Sopanlah pada suami kamu mulai dari sekarang! Hidup kamu sudah berada di tangan saya! Ikuti mau saya dan hidup kamu selamanya akan sejahtera, Lovani."
Roda mobil pada akhirnya berhenti bergulir. Bagus! Ia bisa terbebas dari percakapan bodoh ini setidaknya. Si pria pemerintah dan wanita pemberontak mana bisa disatukan?
Gaun itu belum sempat dilepaskannya. Kala turun dari mobil, masih menjuntai indah layaknya pasangan di mabuk asmara. Sementara pakaian simple Anja juga masih melekat. Alih-alih membantu mengangkat ekor gaun itu, yang ditarik dan ditahannya adalah pergelangan yang kian menyulitkan pergerakan Lovani. "Lovani!"
"Apa?" sentak Lovani kembali. "Cukup biarkan saya pergi dan kita usaikan hari sialan ini! Saya sudah cukup hancur karena hidup saya selamanya terkait dengan Anda, jadi biarkan saya pergi, Brengsek!"
Sejujurnya ..., getaran ini terlalu lama disimpannya. Justru, ia takut akan tumpah pada tempat yang tidak seharusnya. Ia takut, dan wajib mengalihkannya pada pekerjaan. Jika saja buliran bening berisi perasaan sakitnya terbiasa untuk keluar ....
Ia bukan seseorang yang tangguh lagi, bukan? "Cukup, lepas!"
"Kalau begitu berikan saya alasan mengapa kamu menolak melakukannya dengan saya. Saya akan memberikan toleransi untuk hari ini, tapi tidak untuk hari-hari esok," ungkap Anja ngotot.
"Saya datang bulan! Puas?!" Sekali tampikan, kini ia berhasil terbebas dari jeratan maut milik Anja. Rambut dan gaun itu berkibar bebas mengudara layaknya seorang pendekar.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa semua yang Anja pandangi sekarang adalah sosok luar biasanya. Mengagumkan, sangat indah, tapi di sisi lain ia terlihat berhati batu dan dingin. Alias ..., dapat dikatakan tidak berhati.
Tring!
Dering itu diyakini berasal dari ponselnya dengan pemilik kontak bernama Angel. Dering ini sengaja disematkan hanya pada nomor itu sejak beberapa tahun yang lalu, dan ia masih belum berniat untuk menggantinya.
"Na ..., seharian ini kamu ke mana aja?" Suara lembut itu sangat menenangkan sebuah hati yang merasa gundah. Mengalun indah bersama gelora yang mendamaikan. "Aku khawatir, Na. Kamu gak bisa dihubungin. Beberapa hari belakangan juga lagi sibuk. Perusahaan ada masalah, ya?"
Pandai-pandai Anja melirik ke arah pintu masuk yang terbentang lebar. Terbesit kecemasan bila saja wanita itu tiba-tiba timbul di sana kembali. Tapi ..., apa peduli wanita itu? Bahkan mereka tidak saling mencintai.
Sepatu berpantofelnya beranjak meninggalkan lobby utama. Sedikit menyepi ke pinggir agar percakapan mereka tetap rahasia. "Maaf, Gel. Iya, aku lagi ada masalah sama perusahaan. Maaf juga gak bisa dihubungin belakangan ini."
"Aku mengerti kalau kamu kabarin aku, Na. Jangan menghilang tiba-tiba. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu," cetusnya lagi. Menjeda sesaat, ia berusaha menjadi topik lain lagi, ketimbang kerinduan ini hanya berisikan permintaan maaf nantinya? "Na ..., bisa ke sini, gak? Menginap gitu misalnya?"
Anja meringis tak bersuara. Melirik takut-takut lagi ke pintu masuk. Wanita itu bisa-bisa menerkamnya kalau tahu di hari pertama pernikahan mereka, Anja malah memilih keluar. Terkesan tidak peduli bukan berarti ia tak akan menjadikan Anja dalam posisi terancamnya, bukan? "Maaf, Gel. Lagi gak bisa hari ini. Mungkin minggu depan, Gel?"
"Yah ...," desah Angel kecewa.
"Sorry banget," sesal Anja dalam. "Aku akan berusaha mengunjungi kamu, Gel. Untuk sekarang sabar dulu, ya? Nanti di waktu yang tepat, aku bakal ada di samping kamu terus setelah aku selesain semua masalah ini. Oke?"
"Kapan, Na?" tanya Angel bergetar. "Kamu tahu aku cuman punya kamu. Kalau kamu menghilang ... a-aku ...."
"Hei, dengar aku Gel," bisik Anja menenangkan, mengalihkan ponselnya pada telinga kanannya. "Aku gak akan menghilang, Gel. Lagipula kamu punya banyak orang di sekitar kamu. Ada temen-temen kamu, ada ibu panti juga, 'kan? Kenapa ngomongnya begitu, hm?"
"Kamu yang paling deket sama aku, Na. Jadi, please. Jangan menghilang, ya? Tetap ada buat aku," pinta Angel putus asa. "Cuman kamu yang gak anggap aku sebagai beban, Na ...."
Anja mengambil napasnya dalam-dalam, kemudian membuangnya serendah mungkin. Ia tidak dapat membebaskan dengkusannya, atau Angel akan tersinggung nantinya. Hati wanita itu sangat rapuh. Kerap menyalahkan diri dan mengatakan bahwa ia adalah beban.
Padahal lumpuh bukan keinginan Angel ..., tapi keinginan .... "Gel, sudahlah. Kenapa dibahas terus, sih? Aku lagi sibuk, duluan, ya?"
"Na? Kamu marah?" tanya Angel lagi.
"Enggak," sahut Anja singkat. "Duluan, ya, Gel. Love you."
Klap!
Peradangan ini terjadi bukan main. Takut menyasar sasaran yang salah, maka terpaksa Anja mematikan sambungan telepon ini.
Ingin tak ingin, sekarang ia harus menuntaskan semuanya secepat mungkin, sebelum Angel, kekasihnya itu tahu apa yang tengah terjadi dan dijalani oleh Anja.
Katakan ia brengsek, tapi ia akan melakukannya demi Angel. Demi wanita yang dicintainya.
***
"Duduk, Lovani. Sarapan," titah Anja tajam. Mendelik tak senang saat wanita itu sama sekali tak mempedulikannya. "Saya sudah membuatkan sarapan untuk kamu, dan sekarang kamu berstatus sebagai istri saya. Saya bilang duduk!"
Lovani membelokkan arah dari meja makan yang seharusnya ditujunya itu. Pergi ke dapur untuk menuangkan susu murni, lalu menenggaknya sembari bertumpu di meja mini bar itu. "Saya tidak sarapan."
"Ya, tapi saya sudah membuatnya. Sekarang duduk!" Anja berseru gemas melihat tingkahnya yang semakin menjadi-jadi. "Kalau kamu tidak duduk, jangan salahkan saya kalau saya menyeret kamu ke meja makan sini, hm? Pilihlah. Duduk berdasarkan keinginan kamu atau duduk setelah saya tarik kamu ke sini?"
Menolak pun, dijamin pria itu akan memaksa Lovani untuk duduk di sini. Siapa juga yang ingin hasil usahanya disia-siakan? Sebodoh, seangkuh apa pun dirinya, ia hanya akan membalas perbuatan tak pantas yang dilancarkan orang itu padanya.
Sedangkan Anja tak melakukan kesalahan apa pun. Mengapa ia harus menginjaknya, dan beresiko merusak mood-nya di pagi hari?
Bruk!
Derit tarikan kursi memekak di ruang tengah itu. "Ini yang terakhir. Jangan membuatkan saya sarapan lagi. Saya tidak terbiasa untuk sarapan pagi. Kalau Anda lain kali membuatnya secara sengaja, maka saya tidak akan segan untuk membuangnya."